Liputan6.com, Ramallah - Pihak Palestina mengklaim belum diajak berkonsultasi tentang konferensi rencana perdamaian Timur Tengah yang dipimpin Amerika Serikat di Bahrain bulan depan. Hal itu disampaikan oleh Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh baru-baru ini.
Washington mengumumkan perihal konferensi pada Minggu, 19 Mei 2019 menggambarkannya sebagai pembukaan dari proposal yang telah lama ditunggu-tunggu oleh Presiden AS Donald Trump untuk "menyelesaikan konflik Israel-Palestina."
Advertisement
Baca Juga
Dalam sebuah pernyataan bersama dengan Bahrain, Gedung Putih mengatakan pertemuan di ibu kota Bahrain, Manama, akan memberi kesempatan kepada pemerintah, sipil dan pemimpin bisnis untuk menggalang dukungan bagi inisiatif ekonomi yang bisa dimungkinkan dengan perjanjian damai.
Tetapi para pejabat Palestina mengatakan pertemuan 25-26 Juni tidak akan membahas masalah-masalah inti politik konflik, yakni perbatasan akhir, status Yerusalem, atau nasib para pengungsi Palestina.
"Kabinet tidak diajak berkonsultasi tentang pertemuan yang akan berlangsung, tidak tentang substansi, maupun waktunya," kata Shtayyeh, sebagaimana dikutip dari situs Al Jazeera pada Selasa (21/5/2019).
"Setiap solusi untuk konflik di Palestina harus bersifat politis ... dan didasarkan pada mengakhiri pendudukan," tambahnya.
Palestina Tidak Akan Berpartisipasi
Para pejabat Palestina juga menyatakan tidak akan menghadiri pertemuan pada Juni mendatang.
"Tidak akan ada partisipasi Palestina dalam pertemuan di Manama," kata Majdalani, yang juga merupakan anggota komite eksekutif payung Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), mengatakan kepada kantor berita Reuters.
"Setiap orang Palestina yang akan berpartisipasi berarti akan berkolaborasi dengan Amerika dan Israel," lanjutnya.
Palestina, yang memutuskan hubungan dengan Amerika Serikat lebih dari setahun yang lalu, telah berulang kali menyatakan kekhawatiran bahwa Gedung Putih akan mencoba untuk "membelinya" dengan sejumlah besar investasi sebagai imbalan untuk membekukan tuntutan mereka atas kemerdekaan.
Mereka juga menyampaikan keprihatinan bahwa Washington berusaha untuk mengumpulkan dukungan dari negara-negara Arab lainnya untuk menekan Palestina agar menerima rencana yang mereka anggap tidak dapat diterima.
Pada Minggu, para pejabat AS mengatakan konferensi Bahrain akan mencakup perwakilan dan eksekutif bisnis dari Eropa, Timur Tengah dan Asia, serta beberapa menteri keuangan.
Rencana perdamaian akhirnya diharapkan untuk menampilkan proposal untuk pengembangan ekonomi regional yang akan mencakup Mesir, Yordania dan Libanon.
Advertisement
Benarkah AS Mampu Menjadi Mediator?
Saat ditemui baru-baru ini, Duta Besar Palestina untuk Indonesia Zuhair Alshun menyayangkan sikap Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump. Menurutnya, presiden nyentrik Negeri Paman Sam itu tidak bisa bertindak netral dan berkontribusi pada mediasi.
"Amerika Serikat tidak pernah berpihak pada Palestina," kata Dubes Zuhair.
Zuhair menggarisbawahi langkah kontroversial Trump, di antaranya mengakui secara sepihak Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Rabu, 5 Desember 2019. Sebuah langkah yang dikecam dunia, termasuk Presiden Prancis Emmanuel Macron, Arab Saudi, Mesir, dan Yordania.
Ia juga menyoroti kedekatan antara presiden nyentrik Negeri Paman Sam dengan Perdana Menteri Israel yang baru saja terpilih untuk kelima kali masa jabatannya, Benjamin Netanyahu.
Untuk diketahui, terpilihnya kembali Netanyahu sebagai perdana menteri Israel menjadi tantangan tersendiri.
Hanan Ashrawi, anggota komite eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) mengatakan kemenangan petahana Israel mengubah seluruh strategi pencapaian perdamaian.
"Mereka telah membatalkan perjanjian apapun. Mereka telah menolak solusi dua negara. Mereka benar-benar meniadakan persyaratan perdamaian. Mereka benar-benar melanggar hukum internasional. Sekarang kita membutuhkan strategi baru untuk menangani masalah ini," tutur Hanan.
Tak hanya itu, menjelang pemilu Netanyahu mengatakan jika terpilih kembali, ia akan menganeksasi pemukiman di Tepi Barat. Selain itu, sang petahana mengatakan tak akan membiarkan pembentukan negara Palestina terjadi.