Alasan Negara Maju Alami Kematian Tinggi Akibat Corona COVID-19

Menurut para pakar, ada beberapa faktor mengapa negara lain dalam kelompok negara kaya mengalami kegagalan yang begitu buruk akibat Corona COVID-19.

diperbarui 22 Mei 2020, 07:03 WIB
Diterbitkan 22 Mei 2020, 07:03 WIB
Ilustrasi Virus Corona 2019-nCoV (Public Domain/Centers for Disease Control and Prevention's Public Health Image)
Ilustrasi Virus Corona 2019-nCoV (Public Domain/Centers for Disease Control and Prevention's Public Health Image)

Canberra - Virus Corona COVID-19 berat untuk ditangani. Kisah para dokter dan perawat yang senantiasa menjalankan tugasnya menyelamatkan nyawa sungguh menginspirasi.

Koridor-koridor rumah sakit penuh dengan ketakutan. Jasad-jasad korban bergelimpangan, bahkan ada yang dikuburkan bertumpuk-tumpuk dalam satu lubang.

Semua ini terdengar seperti kejadian ratusan tahun lalu. Atau, jika terjadi sekarang, tempatnya di negara yang jauh.

Tapi ini benar-benar terjadi. Kekayaan dan obat-obatan modern yang dimiliki negara-negara "dunia pertama" ternyata tak dapat mencegah penyebaran Corona COVID-19 yang mengerikan bagi warganya.

Kita sudah tahu penyebab utamanya: respons yang lambat, kurangnya alat tes dan alat pelindung diri (APD) di banyak negara. Dalam hal ini, Australia menjadi contoh keberhasilan di antara negara-negara kaya.

Menurut para pakar, ada beberapa faktor mengapa negara lain dalam kelompok negara kaya mengalami kegagalan yang begitu buruk.

Data dari Universitas Johns Hopkins di Amerika Serikat mengungkap sejumlah hal. Tapi mungkin yang paling menyolok adalah AS, Inggris, Italia, Prancis, dan Spanyol kini memiliki 70 persen dari total kematian COVID-19 di dunia.

Semua negara itu kaya dan memiliki sistem kesehatan yang canggih. Meski persentase kematian sudah menurun, namun pukulannya sudah begitu berat, dan bahkan potensi ancaman di masa depan tetap nyata.

Negara seperti Rusia dan Brasil sekarang terancam masuk dalam negara-negara yang paling parah tersebut.

Sementara banyak negara miskin dan berpenghasilan menengah, sejauh ini selamat dari kondisi kematian seperti yang dialami negara-negara kaya.

Tidak ada penjelasan tunggal untuk memahami hal ini. Namun ada beberapa pengamatan umum yang masuk akal.

Negara-negara yang paling terpukul merupakan negara yang paling banyak pergerakan manusianya secara internasional, dengan bandara-bandara tersibuk di dunia, dikunjungi ratusan juta penumpang setiap tahun.

Warga dari negara-negara kaya banyak melakukan perjalanan internasional dan menikmati hubungan perdagangan global terutama dengan China, tempat wabah ini bermula.

Perjalanan internasional ini tidak diragukan lagi telah menyebarkan Virus Corona COVID-19 dengan cepat dan efisien.

Faktor ini mengurangi kesempatan merespon penyebaran virus bagi kota-kota kosmopolitan seperti New York, London dan Paris.

Posisi mereka sebagai pusat internasional, justru membawa malapetaka.

Kurangnya perjalanan ke negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah membantu menjelaskan mengapa umumnya mereka selamat dari virus, setidaknya pada hari-hari awal pandemi.

Menurut Profesor Tony Blakely, ahli epidemiologi dari University of Melbourne, faktor ini menjadikan negara-negara tersebut memiliki lebih banyak waktu dalam merespon virus.

"Virus itu datang dari China dan menyebar ke negara-negara Asia Timur, kemudian dengan cepat menyebar ke Eropa dan Amerika Utara daripada misalnya ke India atau Afrika," katanya kepada ABC seperti dikutip, Jumat (21/5/2020).

Dr Abrar Chughtai dari UNSW Sydney sependapat bahwa rendahnya jumlah "penyebar" dapat menjelaskan mengapa beberapa negara selamat sejauh ini.

"Untuk memulai pandemi Virus Corona COVID-19, diperlukan sejumlah kasus penyebar dalam masyarakat," katanya.

"Di Australia kita tidak memiliki jumlah penyebar yang tinggi. Tapi hal itu terjadi di AS dan negara lainnya, mungkin karena perjalanan internasional yang tinggi," katanya.

Namun keuntungan negara-negara lain akibat kurangnya faktor perjalanan internasional dapat menghilang dalam beberapa minggu mendatang.

 

Dampak Kesehatan dan Demografi

Liputan 6 default 5
Ilustraasi foto Liputan 6

Tak seperti flu Spanyol 100 tahun lalu yang membunuh jutaan orang berusia muda dan sehat, pandemi kali ini lebih banyak mengorbankan orang berusia tua.

Profesor Blakely mengatakan, faktor usia dan bertambahnya populasi yang menua, merupakan salah satu faktor besarnya dampak COVID-19 pada beberapa negara.

"Kemungkinan kematian setelah terinfeksi virus sangat bervariasi berdasarkan usia," katanya.

"Dari yang sangat kecil untuk usia di bawah 20 tahun, peluangnya satu per 10.000, kemudian naik 10 persen bahkan mungkin 15 persen, bagi yang berusia lebih dari 80 tahun," jelasnya.

Profesor Blakely mengatakan struktur usia yang lebih muda dari beberapa negara berpenghasilan rendah dan menengah mungkin mendorong berlakunya "kekebalan kawanan" atau herd immunity.

Menurut Mary-Louise McLaws dari WHO, usia merupakan faktor yang sangat penting terkait COVID-19.

"Di Italia, mereka memiliki proporsi populasi lansia tertinggi di Eropa," katanya kepada ABC.

"Jadi, sekitar seperempatnya berusia 65 tahun ke atas, dan tentu saja, tingkat merokok sangat tinggi, ditambah tingkat komorbiditas yang juga tinggi," jelasnya.

Hal itu terkait dengan pengalaman dan kesiapan mereka. Bagi negara-negara Asia berpendapatan menengah, pandemi kali ini bukan yang pertama.

Flu babi pada tahun 2009, flu burung pada tahun 1990-an, dan SARS pada tahun 2003 terkonsentrasi di Asia, memberi pengalaman bagi Korea Selatan, Malaysia, Hong Kong dan Taiwan dalam menangani virus berbahaya.

Mereka lebih cepat menutup perbatasan, lebih cepat melakukan pengujian massal, dan menerapkan prosedur pelacakan lebi efektif.

Profesor Blakley menilai paparan negara-negara ini terhadap SARS telah mempersiapkan mereka menghadapi pandemi kali ini.

"Mereka sudah memiliki sistemnya. Mereka tahu apa yang harus dilakukan. Mereka bertindak cepat," katanya.

Profesor Jodie McVernon, direktur epidemiologi pada Doherty Institute, mengatakan negara-negara seperti Hong Kong, Singapura dan Korea Selatan memiliki kapasitas laboratorium yang besar, yang merupakan elemen penting dari respon awal.

"Penutupan perbatasan secara dini telah mengurangi risiko infeksi kasus impor dan merupakan pembeda utama antara respon Australia dengan AS dan Eropa," katanya kepada ABC.

 

Apakah Negara-Negara Barat Lalai?

Ilustrasi Covid-19, virus corona
Ilustrasi Covid-19, virus corona. Kredit: Gerd Altmann via Pixabay

Menurut Profesor McLaws, kurangnya pengalaman beberapa negara maju dalam mengahadapi pandemi mungkin turut berperan. Selain faktor kepemimpinan dan pemerintahan.

"Salah satu alasan mengapa Taiwan berhasil menanganinya adalah karena mereka menyiapkan ventilator sejak dini, langsung menutup perbatasan dengan China setelah mendengar apa terjadi di sana," katanya.

"Mereka sadar ini adalah bencana besar dan langsung memesan ribuan unit ventilator," jelasnya.

Prof McLaws menambahkan, WHO mengumumkan darurat kesehatan masyarakat pada 30 Januari, jadi seharusnya tidak satu pun dari 194 negara yang bisa berdalih tidak tahu.

"Jadi bagi negara-negara yang mencoba berdalih bahwa mereka tidak punya waktu mempersiapkan diri, itu bukan alasan yang jujur," katanya.

"Mereka tidak perlu menunggu sampai 11 Maret, ketika sampai WHO menyebutnya pandemi," tambahnya.

Secara singkat, tidak. Begitu banyak variabel, dengan kapasitas, kemampuan, dan kejujuran yang sulit dipastikan.

Di Inggris, kematian di fasilitas perawatan lansia dan di rumah tidak dicatat selama berminggu-minggu.

Para ahli demografi juga membantah angka kematian Rusia yang relatif rendah, mengingat tingkat kematian Moskow untuk April saja tampaknya naik hampir 20 persen.

Menurut penelitian Johns Hopkins University, lebih dari 16 persen dari semua pasien yang terinfeksi COVID-19 di Belgia telah meninggal.

Di Prancis 15,3 persen, Inggris 14,1 persen, Spanyol 11,9 persen, dan Swedia 12,3 persen.

Menariknya, meski AS memiliki angka kematian aktual tertinggi, rasio kematian terhadap COVID-19 yang tercatat adalah 5,5 persen. Di Australia, hanya 1,5 persen.

Profesor McLaws mengakui angka kematian seringkali dihitung secara keliru dan dalam beberapa kasus, mungkin lebih tinggi.

Kelihatannya ada pandemi yang tidak dilaporkan di negara-negara berkembang, yang akan kian lebih jelas seiring berjalannya waktu.

"Virus ini sudah ada di Afrika, tapi mereka tidak memiliki sistem pengawasan yang baik," kata Profesor McLaws.

Profesor McVernon mengatakan kemiskinan atau tingkat pendapatan yang rendah tidak selalu menjamin terjadinya bencana.

Menurut dia, beberapa negara berpenghasilan rendah seperti Vietnam dan Thailand berhasil mengatasi penyebaran COVID-19, sementara negara-negara seperti Kamboja dan Papua Nugini hanya mengalami kasus sporadis.

Wakil pejabat medis tertinggi Australia Paul Kelly menjelaskan, pengujian dan data mungkin menimbulkan kesan bahwa ini penyakit orang kaya, karena jumlah kematian terbesar terjadi di negara-negara kaya.

"Pengujian itu sangat membantu, namun tidak semua orang yang terinfeksi di dunia telah diuji," katanya.

Sikap negara-negara yang cepat berpuas diri dan terlalu percaya diri telah menyebabkan puluhan ribu warganya kini meninggal, di samping faktor demografi dan komorbiditas.

Jadi jika kita menganggap virus ini penyakit orang kaya, itu tak sepenuhnya tepat. Negara-negara kaya seperti Australia, Selandia Baru, Jerman dan Yunani mampu menekan penyebarannya melalui tindakan sulit di awal.

Meski lockdown dan penutupan pembatasan sudah berlangsung cukup lama, tapi sebenarnya ini baru permulaan.

Negara-negara seperti Australia telah berhasil dengan baik, namun tidak dijamin akan di masa depan. Perjalanan kita masih dipenuhi kabut tebal.

Namun dari sudut pandang saat ini, foto-foto dokter dan perawat yang terpukul, ambulans yang menunggu berjam-jam di UGD, dengan jelas menunjukkan kegagalan yang dialami negara-negara yang seharusnya justru paling siap.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya