Liputan6.com, Washington, D.C. - WHO meminta agar negara-negara tidak lagi menerapkan lockdown sebagai tindakan utama untuk mencegah COVID-19. Organisasi Kesehatan Dunia itu berargumen lockdown yang dijadikan cara utama membendung virus tersebut bisa memperparah kemiskinan.
Rekomendasi baru WHO itu disambut baik oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menyebut WHO sama saja mengakui bahwa kebijakannya yang menolak lockdown itu benar. Selama ini Trump menolak lockdown karena takut angka pengangguran naik.
Baca Juga
[bacajuga:Baca Juga](4380017 4380702 4380303)
Advertisement
"World Health Organization (WHO) baru saja mengakui bahwa saya benar. Lockdown membunuh negara-negara di dunia," ujar Donald Trump via Twitter, seperti dikutip Selasa (13/10/2020).
Seraya menyindir lockdown, Donald Trump berkata jangan sampai obat justru lebih buruk dari masalahnya. Donald Trump pernah berkata bahwa lockdown bisa menyebabkan orang depresi hingga bunuh diri.
Trump lantas meminta agar negara-negara bagian di AS yang masih menerapkan pembatasan sosial agar segera membuka diri.
Beberapa daerah AS yang masih menutup diri adalah seperti Michigan, California, dan New York. Donald Trump secara spesifik meminta agar New York kembali membuka bisnisnya.
Indonesia sejauh ini juga belum mengambil langkah lockdown secara total. Presiden Joko Widodo lebih memilih aturan pembatasan tersebut versi mini atau lokal.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Indonesia Pilih PSBB Dibanding Lockdown, Akankah Juga Picu Kemiskinan Tinggi?
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak merekomendasikan lockdown sebagai solusi utama pengendalian COVID-19 karena dianggap dapat memicu kemiskinan yang tinggi. Dikhawatirkan, orang yang miskin akan semakin miskin.
Menurut Utusan Khusus (Special Envoy) dari pemimpin WHO, David Nabarro, lockdown berdampak terhadap masyarakat dengan kondisi ekonomi rentan. Masyarakat pun bisa semakin miskin.
Senior Research Fellow The SMERU Research Institute Asep Suryahadi menduga, alasan WHO menekankan agar lockdown tidak dijadikan solusi utama untuk mengatasi pandemi COVID karena telah melihat dampaknya terhadap masyarakat.
"Kemungkinan karena mereka melihat bahwa lockdown yang berkepanjangan berdampak buruk terhadap orang miskin," kata Asep kepada Health Liputan6.com melalui pesan singkat, Senin 12 Oktober 2020.
Lain halnya dengan negara-negara di dunia, Indonesia menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Data Satuan Tugas Penanganan COVID-19 per 12 Oktober 2020, sejumlah daerah memberlakukan PSBB.
Sebut saja DKI Jakarta, yang kini memasuki masa PSBB Transisi pada 12-25 Oktober 2020. Lalu ada Banten dengan PSBB dari 21 September-20 Oktober 2020.
Lantas apakah PSBB yang diterapkan di Indonesia dapat 'mengendalikan' kemiskinan? Asep menjelaskan, dampak PSBB pun dialami masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah.
"Indonesia sejak awal menghindari lockdown dan memilih PSBB. Karena memang sebagian besar penduduk Indonesia hidup dari sektor informal, sehingga mereka akan sangat kesulitan memperoleh penghidupan kalau diterapkan lockdown secara penuh."
"Walaupun demikian, PSBB tetap berdampak negatif terhadap penduduk kelompok bawah. Seperti terlihat dengan meningkatnya angka kemiskinan. Tetapi, kalau Indonesia memilih lockdown, kemungkinan kenaikan angka kemiskinannya akan semakin besar," imbuhnya.
Advertisement