Akibat Ulahnya, Joe Biden Nilai Donald Trump Tak Patut Dapat Pengarahan Intelijen

Joe Biden menilai bahwa pendahulunya, Donald Trump tidak seharusnya mendapat akses terhadap briefing intelijen.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 07 Feb 2021, 07:00 WIB
Diterbitkan 07 Feb 2021, 07:00 WIB
Presiden AS Joe Biden menyampaikan pidato tentang kesetaraan rasial di Ruang Makan Negara Gedung Putih pada 26 Januari 2021, di Washington.
Presiden AS Joe Biden menyampaikan pidato tentang kesetaraan rasial di Ruang Makan Negara Gedung Putih pada 26 Januari 2021, di Washington. (Foto: AP / Evan Vucci)

Liputan6.com, Washington D.C - Presiden Joe Biden mengatakan pendahulunya Donald Trump seharusnya tidak diberi akses terhadap briefing intelijen karena "perilakunya yang tidak menentu".

Mengutip BBC, Sabtu (6/2/2021), AS memiliki tradisi yang mengizinkan mantan presiden diberi pengarahan tentang masalah keamanan negara - sebagai rasa hormat yang diberikan oleh petahana.

Tetapi ketika ditanya oleh CBS News apakah Trump akan menerima kesempatan yang sama, Presiden Biden berkata "Saya kira tidak".

Dia mengutip bahwa "perilaku tidak menentu" Trump menjadi alasannya untuk menolak akses tersebut. 

Ikuti cerita dalam foto ini https://story.merdeka.com/2303605/volume-5

"Saya kira dia tidak perlu mendapat pengarahan intelijen," kata Biden dalam wawancaranya sejak menjadi presiden.

Dia menolak untuk berspekulasi tentang apa ketakutan terburuknya jika Trump diizinkan melihat laporan rahasia, tetapi dia menyarankan mantan presiden itu tidak dapat dipercaya untuk menyimpan informasi rahasia untuk dirinya sendiri. 

"Apa gunanya memberinya briefing intelijen? Apa dampaknya sama sekali, selain fakta bahwa dia mungkin terpeleset dan mengatakan sesuatu?" kata Biden.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

Pertama Kalinya

Presiden AS Donald Trump (AP PHOTO)
Presiden AS Donald Trump (AP PHOTO)

Langkah tersebut adalah pertama kalinya seorang mantan presiden dikecualikan dari tradisi diberikan akses lanjutan ke briefing, menurut New York Times.

Trump berseteru dengan komunitas intelijen selama empat tahun masa kepresidenannya dan melalui enam direktur intelijen nasional. Dia mempertanyakan laporan oleh badan-badan AS bahwa Rusia ikut campur dalam pemilihan 2016, dan menyerang kepala intelijen karena "sangat pasif dan naif" atas Iran.

Pada 2017, ia mengungkapkan informasi yang sangat rahasia kepada menteri luar negeri Rusia tentang operasi ISIS yang dianggap sebagai pelanggaran kepercayaan oleh banyak orang di komunitas intelijen AS.

Selama wawancara CBS, Presiden Biden ditanyai tentang persidangan pemakzulan yang dihadapi Trump di Senat AS atas perannya dalam kerusuhan di Capitol pada 6 Januari. 

Biden mengatakan dia "berlari sekuat tenaga untuk mengalahkan" Trump dalam pemilihan "karena saya pikir dia tidak layak menjadi presiden", tetapi dia akan meninggalkan Senat untuk memutuskan apakah Partai Republik harus dilarang memegang jabatan publik lagi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya