Liputan6.com, Teheran - Kantor Kejaksaan Kriminal Teheran telah diarahkan untuk bersiap menjatuhkan hukuman retribusi yang akan membuat negara membutakan tiga orang yang dihukum karena pelanggaran yang membuat korban mereka kehilangan penglihatan.
Surat kabar Hamshahri Teheran, mengutip rferl.org, melaporkan pada 2 Agustus 2022 bahwa hukuman tersebut terkait dengan tiga kasus terpisah. Salah satunya melibatkan seorang wanita dan dua lainnya dilakukan pria.
Baca Juga
Kantor berita Iran, Rokna menambahkan dalam sebuah laporan bahwa hukuman itu akan dilaksanakan dalam waktu dekat.
Advertisement
Dalam ketiga kasus tersebut, para terpidana terlibat dalam pertengkaran di mana seorang korban akhirnya kehilangan penglihatannya.
Hukum Islam menganut gagasan "eye for an eye" atau mata dibayar mata di bawah prinsip Qisas. Korban atau keluarga mereka memiliki keputusan akhir dalam kasus tersebut dan dapat menghentikan hukuman.
Penerapan hukuman fisik di bawah hukum Islam, termasuk cambuk, amputasi, dan pembutaan, kontroversial di Iran, di mana banyak warga mengkritiknya sebagai tidak manusiawi dan biadab.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Hukuman Semacam Itu meningkat Sejak 2015
Hukuman retribusi semacam itu dulunya jarang terjadi tetapi frekuensinya meningkat sejak tahun 2015.
Kelompok hak asasi manusia mengatakan hukuman itu melanggar hukum internasional dan termasuk penyiksaan dan perlakuan kejam, terhadap mereka yang dihukum sementara mengharuskan dokter untuk melakukan prosedur seperti itu melanggar kode etik medis.
Di masa lalu, para pejabat Iran telah mengakui bahwa sulit untuk menemukan profesional medis yang bersedia melakukan hukuman.
Amnesty International mengatakan hukuman itu mengekspos "kebrutalan total sistem peradilan Iran dan menggarisbawahi pengabaian mengejutkan pihak berwenang Iran terhadap kemanusiaan dasar."
"Menjatuhkan hukuman pembalasan yang kejam dan tidak manusiawi bukanlah keadilan," kata kelompok hak asasi itu.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Kata 'Maaf' Bebaskan TKI Masamah dari Hukuman Mati di Arab Saudi
Ghalib Nashir Albalawi hanya mengharap rida Allah ketika memberikan maaf kepada Masamah binti Raswa Sanusi, TKI asal Desa Buntet, Cirebon, dalam sebuah persidangan banding di Tabuk, Arab Saudi pada 13 Maret 2017 silam.
Sidang banding kala itu urusan hidup atau mati bagi Masamah, karena ia terancam dieksekusi (qisas) usai dituduh menghilangkan nyawa anak Ghalib yang masih bayi pada Februari 2009 lalu.
Tapi, kalimat maaf yang keluar dari mulut Ghalib kala sidang banding itu pun bak senjata pamungkas. Otomatis membatalkan Masamah dari jerat tali gantung.
"Tanazaltu laha liwajhillah (aku memaafkannya karena mengharap pahala dari Allah)," ucap Ghalib di persidangan sambil terisak dengan suara terbata-bata.
Dengan sedikit terkejut, hakim menanyakan secara berulang kepada Ghalib terkait pernyataan pemaafan (tanazul) terhadap Masamah.
Ghalib menyampaikan bahwa dirinya dengan penuh kesadaran dan ikhlas telah memaafkan Masamah tanpa syarat dan tanpa meminta uang diyat sama sekali. Dia hanya berharap kebaikan serta rida Allah buat dirinya dan Masamah.
Menurut ketentuan hukum pidana berbasis syariah di Arab Saudi, pelaku kasus pembunuhan yang didakwa qisas hanya bisa terbebas dari hukuman itu jika mendapatkan pemaafan dari para ahli waris korban.
Hukum Sadis Lainnya
Mengutip Merdeka.com, pada 1808, Gubernur Jenderal H.W. Daendels yang dikenal kejam itu mengintrodusir jenis hukuman mati ala Eropa. Yaitu dibakar hidup-hidup dengan tubuh diikat di tiang. Melalui sebuah plakat tertanggal 22 April 1808, Daendels juga mengakomodasi sebuah tata cara hukuman mati lokal, yaitu dieksekusi dengan keris atau sangkur.
Namun jenis hukuman paling mengerikan adalah yang diberlakukan Kesultanan Mataram. Ada dua opsi yang harus dipilih seorang terkena vonis hukuman mati: diadu dengan harimau jawa atau lewat picis. Serat Sekar Setaman, buku koleksi Museum Sanapustaka, Keraton Surakarta, menyebut picis sebagai bentuk hukuman yang membuat terhukum mengalami siksaan rasa pedih yang terkira. Jenis hukuman ini, konon sudah diberlakukan oleh orang-orang Majapahit.
Terdakwa yang kena picis akan digiring ramai-ramai ke alun-alun kota oleh para algojo. Di depan ribuan pasang mata, sang pesakitan diikat di tonggak kayu atau pohon. Lalu tubuhnya disayat-sayat dengan pisau, dan lukanya diolesi air garam serta asam. Begitu seterusnya, sampai ia menemui ajalnya. Bayangkan betapa pedihnya. Terhukum akan berada dalam situasi di mana mati terasa lebih “melegakan” ketimbang hidup.
Atas usul Gubernur Jenderal T.S. Raffles (1811-1816) yang berkuasa atas nama Kerajaan Inggris, hukum picis bersama hukuman yang mempraktikan aksi potong-memotong anggota tubuh lainnya lantas dihapus oleh Sri Sultan Paku Buwono IV pada 18.
Advertisement