Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Luar Negeri RI mengambil tindakan untuk menolong para petani buah asal Indonesia yang terjebak utang di Inggris. Kisah mereka diberitakan media Inggris, The Guardian.
Para Pekerja Migran Indonesia (PMI) tersebut bekerja sebagai pemetik buah musiman. Namun, mereka diminta bayar berbagai macam hal oleh rekruter di Indonesia. Bukannya untung, mereka malah terjebak utang.
Advertisement
Baca Juga
Direktur Perlindungan WNI Judha Nugraha berkata pemerintah melalui KBRI London telah berkomunikasi langsung dengan para pekerja musiman tersebut.
Salah satu tindakan yang diambil adalah pemulangan para pekerja musiman tersebut agar mereka tidak terjebak di Inggris, serta hak-haknya terjamin.
"KBRI London telah lakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan kami antara lain meninjau langsung dan berdialog dengan para PMI di perkebunan, berdiskusi dgn pemilik serta manajemen perkebunan, bentuk satgas khusus KBRI serta mengawal pemulangan para PMI pada saat berakhirnya masa kontrak," ujar Judha Nugraha dalam keterangannya, Selasa (27/9/2022).
Pihak Kemlu RI dan KBRI London juga memastikan ketersediaan hotline Kekonsuleran seluas-luasnya apabila terdapat pertanyaan atau distress call yang masuk dari para PMI.
Aspirasi para PMI juga ditampung, serta meminta pihak perekrut pekerja, AG Recruitments, supaya tetap memfasilitasi PMI, serta menjamin mereka mendapatkan alternatif pekerjaan dalam koridor kontrak selama menunggu masa kepulangan
"Sebagai catatan, Inggris saat ini adalah salah satu negara tujuan penempatan PMI sejak 31 Maret 2022. Tercatat 1.308 PMI bekerja di sektor perkebunan Inggris," ucap Judha.
Laporan Sebelumnya
Pada Agustus 2022 dilaporkan bahwa yang bekerja sebagai pemetik buah di daerah Kent, Inggris, dilaporkan terjebak utang hingga puluhan juta rupiah. Mereka dimintai uang oleh para broker, meski majikan mereka di Inggris tidak mengetahui hal tersebut.
Berdasaran investigasi The Guardian, Senin (15/8), para tenaga kerja itu memetik buah beri di pertanian Clock House. Pertanian itu menyalurkan buah ke supermarket besar seperti Marks & Spencer hingga Sainsbury’s.
Bukannya bekerja dengan untung, WNI itu malah harus membayar duit ke broker. Akibatnya, mereka jadi terjerat utang. Padahal, Inggris punya aturan hukum yang melarang meminta uang ke pekerja karena mencarikan pekerjaan. Para pegawai dari Indonesia didatangkan untuk mengganti pekerja dari Ukraina dan Rusia.
Utang-utang itu berasal dari biaya penerbangan, visa, les bahasa yang tidak diwajibkan, hingga jutaan rupiah untuk akomodasi di Jakarta saat menantikan visa. Utang harus dibayar hingga 800 poundsterling per bulan.
Penyaluran pekerja ini dilakukan oleh AG Recruitment dari Inggris. AG lantas minta bantuan ke Al Zubara Manpower. Namun, Al Zubara juga meminta bantuan pihak ketiga (broker) untuk mencari tenaga kerja.
The Guardian melihat bukti utang sejumlah 4.400 hingga 5.000 poundsterling kepada WNI. Nominal itu setara Rp 78 juta hingga 89 juta. Uang itu ditagih oleh para broker yang merekrut pekerja di Bali. Para broker itu yang menyalurkan pegawai ke Al Zubara.
Namun, The Guardian menyebut bahwa Al Zubara juga menagih 2.500 poundsterling (Rp 44 juta) kepada pekerja yang tidak melalui broker. Biaya itu termasuk biaya pelatihan dan visa.
Pakar hak migran berkata situasi jeratan utang itu malah membuat situasi mirip kerja paksa. AG berkata Kementerian Ketenagakerjaan RI menyebut Al Zubara bekerja secara legal. Meski demikian, otoritas tenaga kerja di Inggris menginvestigasi kasus ini.
Advertisement
Kebingungan
Pihak-pihak yang terlibat pun tampak kebingungan atas kasus ini. Clock House mengaku "sangat prihatin" dan berkata tidak akan mau membuat perjanjian dengan pihak terkait apabila mengetahui hal tersebut.
Clock House merekrut pekerja musiman untuk memetik buah seperti rasberi, stroberi, beri hitam (blackberry), dan plum.
Sementara, pihak AG mengaku tidak punya pengalaman merekrut dari Indonesia, sehingga meminta tolong Al Zubara Manpower. Managin director Douglas Amesz berkata tidak tahu bahwa para broker meminta uang ke para pegawai.
Seorang agen freelance yang mengurus rekrutmen Al Zubara di Bali mengakui bahwa banyak broker yang tidak mengikuti aturan. Ia juga mengakui ada broker yang meminta uang dari para pekerja, meski jumlahnya beda-beda.
Upah dari Clock House adalah 10 poundsterling per jam. Satu bulan, para pekerja bisa mendapat sekitar 2.000 poundsterling (Rp 35,6 juta).
Pihak AG pun berjanji akan kooperatif dengan Gangmasters and Labour Abuse Authority (GLAA) yang menginvestigasi kasus ini di Inggris.
170 WNI Terlantar Usai Dijanjikan Bekerja di Pekebunan Inggris
Warga Indonesia yang bermimpi bekerja di Inggris diketahui telah membayar deposito hingga 2.500 pound sterling atau setara Rp 40 juta kepada sebuah agen di Jakarta untuk "menjamin" pekerjaan di pertanian Inggris yang belum terwujud.
Para ahli ketenagakerjaan mengatakan bahwa deposito dianggap sebagai biaya pencarian kerja, yang ilegal di Inggris dan Indonesia.
Seorang pekerja mengatakan kepada The Guardian bahwa ia membayar uang muka sebesar £1.000 (Rp 16 juta) pada Juli kepada sebuah agen di Jakarta untuk menjamin pekerjaan di bidang pertanian dengan perekrut dari Inggris, tetapi ia bahkan belum melakukan wawancara kerja.
Dia mengatakan, telah menjadi salah satu dari beberapa orang yang dibiarkan menganggur dan kehabisan uang dengan harapan mendapatkan pekerjaan pertanian di Inggris.
"Kami berhenti bekerja untuk bisa serius mengikuti proses rekrutmen untuk mendapatkan pekerjaan baru yang lebih baik. Sekarang kami menganggur dan nasib kami semakin tidak jelas," katanya.
Advertisement