Faktor Kunci Pemicu Erdogan Menang Pemilu Turki dan Berkuasa 3 Periode: Agama, Pragmastisme, Strongman

Recep Tayyip Erdogan melanjutkan 20 tahun kekuasaan di Turki. Ia sah jadi presiden Turki untuk periode ketiganya pada Sabtu 3 Juni 2023.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 05 Jun 2023, 18:35 WIB
Diterbitkan 05 Jun 2023, 18:35 WIB
Erdogan Terpilih Jadi Presiden Turki di Pilpres 2023
Presiden Turki dan calon presiden dari Aliansi Rakyat Recep Tayyip Erdogan memberi isyarat kepada pendukungnya di istana kepresidenan, di Ankara, Turki, Minggu, 28 Mei 2023. (AP)

Liputan6.com, Jakarta - Recep Tayyip Erdogan (69) telah resmi dilantik jadi presiden Turki untuk periode ketiga-nya. Ia kembali berkuasa tiga periode per Sabtu 3 Juni 2023.

Recep Tayyip Erdogan berhasil kembali melanjutkan era setelah 20 tahun kekuasaannya di Turki.

Erdogan mendapatkan persaingan kuat dari kubu nasionalis-sekuler dalam pemilu yang berlangsung pada akhir Mei 2023. Pada akhirnya, Erdogan berhasil menang di putaran kedua setelah ia menjalin koalisi dengan seorang tokoh kanan-jauh Sinan Ogan.

Pakar Hubungan Internasional (HI) dari Universitas Bina Nusantara, Lili Yulyadi Arnakim, menilai sosok Erdogan yang Muslim konservatif namun pragmatis menjadi kunci popularitasnya di kalangan para pemilih.

Protes dari oposisi bahwa ada kecurangan dan politik uang juga diredamkan oleh antusiasme pendukung terhadap kemenangan Erdogan.

"Erdogan secara social capital-nya kuat, khususnya di kalangan Muslim yang konservatif, termasuk pada konservatif kanan, sehingga kepemimpinan dia sangat didukung oleh Muslim," ujar Lili Yuldadi Arnakim saat dihubungi Liputan6.com, Senin (5/6/2023).

"Kita bisa lihat bagaimana masyarakat Turki itu mendapat kabar kemenangannya, dan dia sangat welcome, happy semua. Itu artinya Erdogan memang sangat mempunyai pengaruh di kalangan Muslim. Yang tidak suka dengan Erdogan, khususnya adalah nasionalis-sekuleris, yang menuduh macam-macam. Tapi walhasil, semua keputusannya (pemilu) itu diterima, dan tidak terlalu signifikan kecurangan-kecurangan, atau tuduhan dari para oposisi. Khususnya dalam isu money politics," Lili menjelaskan.

Inflasi Meroket, Tapi Kepercayaan Tetap Kuat

Kondisi Turki saat ini sedang inflasi parah dan mata uangnya terus melemah. Situs Statista menyorot bahwa inflasi di Turki meroket tinggi hingga 43,81 persen per 2023. Meski demikian, pemilih tampaknya masih percaya bahwa Erdogan bisa memperbaiki situasi.

Lili menyorot bahwa hal itu tidak lepas dari sosok Erdogan yang pragmatis, terutama dalam hubungan internasional. Erdogan punya relasi dengan negara-negara Muslim, Uni Eropa, Amerika Serikat, Rusia, hingga Timur Tengah. 

"Erdogan sangat pragmatis, kemudian pendekatannya kepada Muslim countries sangat dekat, sehingga di situ dia 'main mata'. Satu, dia masuk negara EU, dan juga dengan NATO bermain, yang kedua dia 'bermain mata' juga dengan Muslim countries, Arab countries. Target di situ dia akan mendapatkan dukungan-dukungan dari investasi-investasi Arab dan Middle East. Itu saya pikir yang sangat membantu Erdogan," jelas Lili.

Selain itu, Erdogan juga menunjuk sosok populer sebagai menteri keuangan yang baru: Mehmet Simsek.

Pemilihan Simsek dinilai menandakan bahwa Erdogan kembali ke kebijakan yang ortodoks. Lili yakin bahwa Simsek setidaknya bisa mengurangi inflasi Turki.

"Penunjukannya Mehmet Simsek sebagai menteri keuangan itu adalah yang disukai pasar keuangan. Dia mengumpulkan kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintahan Erdogan," jelas Lili.

"Dengan penunjukan Mehmet Simsek sebagai menteri keuangan, saya kira ini akan meningkatkan confidence masyarakat, khususnya investor, kepada Turki," imbuhnya.

Strongman di Demokrasi

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Dok: Kemkominfo TV

Erdogan sering disebut sebagai sosok "strongman" oleh media-media Barat.

Istilah "strongman" memiliki konotasi yang negatif karena merupakan pemimpin yang bertindak kasar terhadap oposisinya. 

Pada Maret 2023, Foreign Policy menjadikan Erdogan sebagai contoh bahwa "strongman" itu sebenarnya lemah dan tidak membawa stabilitas. Hal itu karena lambatnya respons pemerintahan Erdogan saat gempa Turki.

"Erdogan, dalam 20 tahunnya sebagai pemimpin, telah menghampakan institusi-institusi di negaranya dan menempatkan para loyalis yang tak kompeten di posisi-posisi kunci untuk memusatkan kekuasaan di tangannya sendiri. Ini membuat Erdogan sebagai orang terkuat di negara tetapi membuat negara tidak berfungsi," tulis Foreign Policy.

Lili Yuldadi Arnakim menilai bahwa sosok "strongman" tetap memiliki daya tawar tinggi di demokrasi. Erdogan pun masih memiliki reputasi sebagai figur yang bisa meningkatkan kepentingan negaranya di dunia internasional.

"Dia punya leadership untuk negara-negara Muslim, sehingga Turki menjadi contoh dari segi bagaimana transformasi yang lancar, sukses, walaupun dengan beberapa kooptasi atau kudeta dilakukan, mereka masih mampu menguasai politik Turki. Ini yang saya lihat bagaimana figur itu masih penting," jelas Lili.

Selain itu, Lili turut menyorot posisi Turki yang menjadi negara pendapatan menengah dengan pengaruh yang diperhitungkan di dunia. Dan menurutnya hal itu terjadi akibat dipengaruhi sikap pragmatis Erdogan. 

"Turki punya leverage banyak, punya kelebihan banyak dari segi power. Walaupun dia middle-income country, tapi dia bisa mempengaruhi Eropa, dan juga Middle East," Lili menjelaskan. 

Infografis Tips Pilih Masker Medis Asli dan Aman Cegah Covid-19. (Liputan6.com/Niman)
Infografis Tips Pilih Masker Medis Asli dan Aman Cegah Covid-19. (Liputan6.com/Niman)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya