Liputan6.com, Mississippi - Medgar Evers, seorang aktivis HAM Amerika Serikat tewas ditembak di depan rumahnya sendiri. Penduduk asli Mississippi itu meregang nyawa pada 12 Juni 1963.
Melansir Grunge, Jumat (9/6/2023), pria kulit hitam Amerika itu mengaku, daripada takut dibunuh orang Jepang dan Jerman, ia merasa takut kepada orang Mississippi.
Baca Juga
“Sekarang setelah Jerman dan Jepang tidak membunuh kami, tampaknya orang kulit putih Mississippi akan melakukannya,” ucapnya suatu waktu, mengutip Asosiasi Nasional untuk Kemajuan Orang Kulit Berwarna (NAACP).
Advertisement
Seorang veteran Perang Dunia II, Evers dan teman-temannya justru mendapat perlakuan tak mengenakkan. Ia pernah mendapat ancaman dengan todongan senjata.
Insiden itu menjadi titik balik bagi Evers untuk aktif dalam gerakan hak-hak sipil. Ia kemudian menjabat sebagai sekretaris lapangan negara bagian pertama NAACP di Mississippi.
NAACP menjelaskan bahwa perjuangan Evers melawan rasisme institusional mengakibatkan banyak ancaman pembunuhan berdatangan kepadanya.
Istri Evers, Myrlie Evers-Williams, mengatakan kepada media NPR, “Medgar menjadi nomor satu di daftar 'orang yang harus dibunuh' di Mississippi.”
Rabu 12 Juni 1963 itu menjadi hari penuh terakhir Evers. Seseorang benar-benar mengancam dan mengambil nyawanya.
Beberapa saat setelah tengah malam, Evers hendak pulang ke rumahnya.
Ketika ia keluar dari mobil, Evers ditembak dari belakang. Ketiga anak dan istrinya mendengar suara tembakan tersebut.
Mereka kemudian melaporkan bahwa Evers telah meninggal kehabisan darah di depan rumah mereka.
Evers sempat dilarikan ke rumah sakit untuk segera mendapat pertolongan.
Namun, nasib berkata lain, Evers meninggal di umurnya yang baru berusia 37 tahun.
Dibunuh Mantan Marinir AS
Sejarah menyebutkan bahwa Evers dimakamkan dengan penghormatan militer penuh di Arlington National Cemetery.
Polisi menemukan sebuah senapan hanya berjarak 150 kaki dari tempat Evers ditembak dan FBI kemudian mulai menyelidiki pembunuhannya.
Museum Nasional Perang Dunia II menyebutkan bahwa sidik jari pada senapan tersebut membantu proses penyelidikan.
FBI mengonfirmasi bahwa senapan itu milik Byron De La Beckwith, mantan Marinir AS dan dikenal supremasi kulit putih.
Aparat menegaskan bahwa pembunuhnya adalah Beckwith, “Punya motif dan dilaporkan menanyakan tentang alamat rumah Evers sebelum penembakan.”
Selain itu, Beckwith mengalami cedera mata yang menurut dugaan penyelidik diakibatkan oleh senapan yang menghantam wajahnya.
Beckwith didakwa dan ditangkap atas pembunuhan Evers.
Namun, sangat mengecewakan karena persidangan Beckwith gagal dan ia bebas.
Beckwith mengikuti dua persidangan terpisah dengan semua hakimnya adalah laki-laki kulit putih.
Menurut Universitas Medgar Evers, dalam persidangan itu Beckwith dengan keras membantah telah membunuh Evers.
Advertisement
Pelaku Menolak Tuduhan
Beckwith mengatakan bahwa senjatanya telah dicuri dan menolak tuduhan yang diberikan kepadanya.
Museum Nasional Perang Dunia II menulis bahwa dua petugas polisi bersekongkol dengannya.
Petugas polisi itu menyatakan bahwa mereka melihat Beckwith berada 100 mil (161 km) dari rumah Evers pada malam pembunuhan.
Selama 30 tahun berikutnya, Beckwith hidup bebas. Ia bahkan menikmati bualannya bahwa ia telah membunuh Evers.
Selama itu pula, istri Evers terus percaya bahwa suatu saat pembunuh suaminya akan berada di balik jeruji besi.
Pada tahun 1989, NPR menyebutkan bahwa seorang jurnalis, Jerry Mitchell, menemukan bukti bahwa pemerintah negara bagian Mississippi telah bersekongkol untuk menutup kasus tersebut dan membebaskan Beckwith.
Hakim pada pengadilan Beckwith ternyata telah diatur.
Menggunakan penemuan itu, Evers-Williams meminta FBI untuk membuka kembali kasus tersebut.
Beckwith akhirnya kembali ditangkap dan diadili. Usahanya untuk melarikan diri dari perbuatan kejinya itu pun sia-sia, ia dijatuhi hukuman seumur hidup.
Ditangkap 30 Tahun Kemudian
Tiga puluh tahun setelah pembunuhan tersebut, barulah Evers mendapat keadilan, Beckwith akhirnya dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman seumur hidup pada tahun 1994.
Pekerjaan Evers dengan NAACP termasuk mengatur demonstrasi atau boikot, pemilihan, dan masih banyak lagi.
Selain itu, disebutkan pula bahwa Evers sangat terlibat dalam isu desegregasi sekolah, taman, dan pantai di Mississippi.
Ketika Emmett Till, seorang anak laki-laki Afrika-Amerika, dibunuh Evers menyerukan hukuman mati tanpa pengadilan.
Buzzfeed menyatakan bahwa ia membantu kasus tersebut dengan memastikan saksi kulit hitam yang melapor mendapat perlindungan.
Lahir pada tahun 1925, Evers dihadapkan pada rasisme dan kekerasan sejak awal hidupnya. Sejak masih bersekolah, seorang temannya keluarganya bahkan digantung.
Mulai dari sekolah menengah Evers telah bergabung dengan NAACP.
Setelah kepergian Evers, keluarganya melanjutkan perjuangan sang mendiang aktivis terhadap hak-hak sipil.
Kakak laki-lakinya, Charles Evers, mengambil jabatan di NAACP sementara Evers-Williams menjadi ketua pertama NAACP.
Advertisement