Dinilai Merusak Reputasi Raja Thailand, Aktivis Pro-Demokrasi Divonis 4 Tahun Penjara

Kasus terhadap aktivis Thailand Arnon Nampa berkaitan dengan pidato yang disampaikannya dalam protes pada 14 Oktober 2020.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 27 Sep 2023, 10:09 WIB
Diterbitkan 27 Sep 2023, 10:09 WIB
Raja Maha Vajiralongkorn dan Ratu Suthida menyapa pendukungnya di Bangkok, Thailand, Minggu, 1 November 2020.
Raja Maha Vajiralongkorn dan Ratu Suthida menyapa pendukungnya di Bangkok, Thailand, pada Minggu, (1/11/2020). (Dok. AP / Wason Wanichakorn)

Liputan6.com, Bangkok - Seorang aktivis pro-demokrasi terkemuka Thailand divonis empat tahun penjara atas pidatonya selama protes yang menyerukan reformasi monarki negara itu.

Arnon Nampa, seorang pengacara hak asasi manusia, berada di garis depan gerakan protes yang meletus pada tahun 2020, ketika ratusan ribu orang turun ke jalan menyerukan perubahan ke arah demokrasi, termasuk peran Kerajaan Thailand.

Protes tersebut berujung pada diskusi terbuka dan belum pernah terjadi sebelumnya mengenai perilaku dan status monarki, sebuah topik yang sebelumnya dianggap terlarang untuk menjadi perdebatan publik.

Kerajaan Thailand dilindungi dari kritik dengan undang-undang lese majeste yang ketat, yang mana setiap penghinaan terhadap anggota monarki dapat mengakibatkan hukuman penjara hingga 15 tahun.

Menurut Pengacara Hak Asasi Manusia Thailand (TLHR), sejak protes tahun 2020 yang menyerukan agar undang-undang tersebut dicabut, undang-undang yang sama telah digunakan terhadap setidaknya 257 orang, termasuk anak-anak. Para pengunjuk rasa telah dituduh atas berbagai dugaan pelanggaran, mulai dari mengenakan pakaian mewah dan crop top yang dianggap menghina monarki, mengunggah di media sosial, dan menyebarkan kartun satir.

Hukuman yang dijatuhkan kepada Arnon pada Selasa (26/9/2023) adalah yang pertama dari 14 kasus lese majeste yang dihadapinya. Dia meminta jaminan sementara dia mengajukan banding terhadap keputusan pengadilan.

Ketika dia tiba di pengadilan pada Selasa, Arnon mengatakan kepada Reuters bahwa dia tidak menyesali "pengorbanan pribadi demi kebaikan yang lebih besar".

"Protes pemuda telah menciptakan sebuah fenomena yang telah mengubah Thailand hingga tidak bisa kembali lagi," kata Arnon, seperti dilansir The Guardian, Rabu (27/9). "Saya yakin bahwa masyarakat menjadi lebih percaya diri terhadap kebebasan dan kesetaraan mereka dan siap untuk mengubah negara menjadi lebih progresif."

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Dinilai Merusak Reputasi Raja

Putri Kerajaan Thailand
Putri Thailand Sirivannavari Nariratana (kiri) dan Bajrakitiyabha saat mengikuti prosesi kremasi almarhum Raja Bhumibol Adulyadej di Bangkok, Thailand (26/10). Mereka Berdua adalah putri dari Raja Thailand, Maha Vajiralongkorn. (AFP Photo/Anthony Wallace)

Kasus terhadap Arnon berkaitan dengan pidato yang disampaikannya pada 14 Oktober 2020. Dalam pidatonya, dia menyerukan reformasi monarki dan mengatakan kepada massa bahwa jika ada perintah untuk menindak pengunjuk rasa pada hari itu maka perintah tersebut hanya akan datang dari raja.

TLHR mengatakan bahwa jaksa menilai pernyataan Arnon merusak reputasi raja.

Arnon dijatuhi hukuman empat tahun penjara dan denda 20.000 baht atas pidatonya. Dia membantah niatnya untuk mencemarkan nama baik raja dan mengatakan bahwa komentarnya hanya bertujuan untuk mencegah tindakan keras polisi terhadap pengunjuk rasa.

Undang-undang lese majeste Thailand telah dikritik oleh kelompok hak asasi manusia internasional dan pakar PBB.

Partai progresif Move Forward, yang memenangkan kursi dan suara terbanyak dalam pemilu tahun ini, telah berjanji untuk mengubah undang-undang terkait. Namun, kekuasaan mereka dihalangi oleh para senator yang ditunjuk oleh militer, yang dengan keras menentang segala upaya untuk melemahkan lese majeste dan memandang monarki sebagai pilar utama masyarakat Thailand yang harus dilindungi.

Move Forward dan mantan pemimpinnya Pita Limjaroenrat sendiri menghadapi kasus hukum atas janji kampanye mereka untuk mengubah undang-undang tersebut, setelah ada dugaan bahwa kebijakan itu merupakan upaya untuk menggulingkan rezim pemerintahan demokratis dengan raja sebagai kepala negara.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya