Liputan6.com, Kuala Lumpur - Pengadilan tinggi Malaysia pada Jumat (9/2/2024) menyatakan membatalkan belasan hukum syariah yang diberlakukan di Negara Bagian Kelantan. Pembatalan tersebut dilakukan lewat sebuah keputusan yang dapat memengaruhi hukum syariah serupa di wilayah lain di negara mayoritas muslim tersebut.
Malaysia mengadopsi sistem hukum dua jalur, di mana hukum pidana Islam dan hukum keluarga berlaku bagi umat Islam sejalan dengan hukum sekuler. Hukum Islam diberlakukan oleh badan legislatif di tingkat negara bagian, sementara hukum sekuler disahkan oleh parlemen Malaysia.
Baca Juga
Pengadilan Federal yang beranggotakan sembilan orang, dalam keputusan 8-1, menyatakan 16 undang-undang dalam hukum pidana syariah Kelantan "batal dan tidak sah", termasuk ketentuan yang mengkriminalisasi sodomi, inses, perjudian, pelecehan seksual, dan penodaan tempat ibadah.
Advertisement
Ketua Hakim Tengku Maimun Tuan Mat, yang memberikan keputusan mayoritas, mengatakan negara bagian di wilayah timur laut tersebut tidak memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang itu. Pasalnya tugas membuat undang-undang berada di bawah wewenang parlemen.
"Inti dari ketentuan-ketentuan tersebut adalah hal-hal yang berada di bawah daftar federal, yang hanya dapat dibuat oleh parlemen," kata dia seperti dilansir VOA Indonesia, Sabtu (10/2).
Menggemparkan Kalangan Muslim Konservatif
Kelantan, yang terletak tepat di selatan Thailand di utara Malaysia, diperintah oleh Parti Islam Se-Malaysia (PAS). Partai tersebut memberikan interpretasi hukum Islam yang lebih tegas.
Popularitas PAS meningkat dalam beberapa tahun terakhir di tengah meningkatnya konservatisme Islam di kalangan mayoritas etnis melayu muslim. Keberadaan partai itu dipandang sebagai tantangan bagi koalisi multi-etnis yang berkuasa di bawah Perdana Menteri Anwar Ibrahim. PAS menduduki banyak kursi di parlemen dibandingkan partai lainnya.
Seorang pengacara dari Kelantan dan anak perempuannya mengajukan gugatan konstitusi terhadap undang-undang yang mencakup pelanggaran syariah yang disahkan oleh pemerintah negara bagian dan mulai berlaku pada 2021.
Kasus tersebut menggemparkan kelompok muslim konservatif karena khawatir dapat melemahkan Islam atau pengadilan syariah di Malaysia.
Aparat memperketat keamanan di sekitar kompleks pengadilan di ibu kota administratif Malaysia, Putrajaya, saat sekitar 1.000 demonstran berkumpul di luar untuk memprotes kasus tersebut. Mereka berdoa dan melantunkan "Allahu Akbar" saat putusan diumumkan.
Advertisement
Memicu Efek Domino?
Hakim Tengku Maimun mengatakan kasus ini tidak ada hubungannya dengan posisi Islam di negara tersebut, hanya apakah legislatif Kelantan telah bertindak di luar kewenangannya.
"Dilihat dari posisi ini, tidak muncul persoalan peradilan perdata yang tidak menjunjung tinggi Islam atau peradilan syariah," ujarnya.
Setelah putusan tersebut, Menteri Urusan Agama Mohd Na'im Mokhtar menyatakan dalam sebuah pernyataan bahwa otoritas Islam pemerintah akan segera mengambil langkah-langkah untuk memperkuat pengadilan syariah. Ia menambahkan bahwa hukum Islam tetap dilindungi di bawah konstitusi federal.
Pejabat pemerintah Kelantan, Mohamed Fazli Hassan, menyatakan kekecewaannya dengan putusan tersebut. Ia mengatakan negara bagian akan berkonsultasi dengan penguasa kerajaan mereka, Sultan Muhammad V, mengenai keputusan tersebut dan masalah-masalah hukum Islam lebih lanjut. Sembilan dari 13 negara bagian Malaysia dipimpin oleh raja-raja yang bertindak sebagai pelindung Islam.
Nik Ahmad Kamal Nik Mahmod, seorang profesor hukum di Taylor's University yang berbasis di Malaysia, mengatakan keputusan tersebut dapat memiliki "efek domino" terhadap hukum syariah di negara-negara lain yang kemungkinan akan menghadapi tantangan serupa.