Presiden Macron Tolak Pengunduran Diri PM Attal, Prancis Hadapi Kebuntuan Politik

Kekacauan politik yang melanda Prancis ini terjadi kurang dari tiga minggu sebelum dimulainya Olimpiade Musim Panas 2024.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 09 Jul 2024, 07:02 WIB
Diterbitkan 09 Jul 2024, 07:02 WIB
Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Presiden Prancis Emmanuel Macron. (Dok. Sergei SUPINSKY/AFP)

Liputan6.com, Paris - Presiden Emmanuel Macron pada hari Senin (8/7/2024) menolak pengunduran diri perdana menteri Prancis dan memintanya untuk bertahan sementara sebagai kepala pemerintahan setelah hasil pemilu yang kacau membuat pemerintah berada dalam ketidakpastian.

Para pemilih membagi badan legislatif menjadi kelompok kiri, tengah, dan paling kanan, sehingga tidak ada faksi yang mendekati mayoritas yang dibutuhkan untuk membentuk pemerintahan. Hasil pemungutan suara pada hari Minggu (7/7), meningkatkan risiko kelumpuhan bagi negara dengan perekonomian terbesar kedua di Uni Eropa tersebut.

Macron semula bertaruh bahwa keputusannya untuk mengadakan pemilu dini akan memberikan Prancis "momen klarifikasi", namun hasilnya menunjukkan sebaliknya. 

Perdana Menteri Gabriel Attal sebelumnya mengatakan dia akan tetap menjabat jika diperlukan, meski demikian tetap mengajukan pengunduran dirinya pada Senin pagi. Macron, yang baru menunjuknya tujuh bulan lalu, memintanya untuk tetap menjabat demi menjamin stabilitas negara. Demikian seperti dilansir kantor berita AP, Selasa (9/7).

Sekutu politik utama Macron bergabung dalam pertemuan dengan Attal di istana presiden, yang berlangsung sekitar 90 menit.

Pada hari Minggu, Attal menjelaskan bahwa dia tidak setuju dengan keputusan Macron yang mengadakan pemilu. Hasil dari dua putaran pemungutan suara tidak memberikan jalan yang jelas untuk membentuk pemerintahan bagi koalisi sayap kiri yang berada di urutan pertama, aliansi Macron yang berhaluan tengah atau sayap kanan.

Para anggota parlemen yang baru terpilih dan menjabat kembali pada hari Senin berkumpul di Majelis Nasional untuk memulai perundingan mengenai pemerintahan baru. Macron sendiri akan berangkat pertengahan minggu ini untuk menghadiri pertemuan puncak NATO di Washington, Amerika Serikat.

Berdampak Luas

Ilustrasi Prancis.
Ilustrasi Prancis (Dok. AFP/Ludovic Marin)

Pembicaraan mengenai siapa yang harus membentuk pemerintahan baru dan siapa yang harus memimpin kementerian luar negeri, dalam negeri, dan keuangan, diperkirakan akan sangat sulit dan memakan waktu lama mengingat partai-partai politik yang menegosiasikan kesepakatan mempunyai kebijakan yang bertentangan dan saling menghina satu sama lain.

"Kita berada dalam situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya," kata Jean-Didier Berger, anggota parlemen yang baru terpilih dari Partai Republik yang konservatif.

Aurelien Rousseau, anggota parlemen yang baru terpilih dari Front Populer Baru dan mantan menteri di pemerintahan Macron mengakui perbedaan pendapat dalam aliansi sayap kiri mengenai pembentukan pemerintahan, namun mengatakan aliansi tersebut pada akhirnya bisa mencapai kesepakatan.

"Kita perlu membangun kompromi, tapi kita perlu meluangkan waktu untuk berdiskusi, untuk mengetahui apa yang kita setujui atau tidak setujui di kalangan sayap kiri," tutur Rousseau.

Anggota parlemen Front Populer Baru lainnya, Jerome Guedj dari partai Sosialis Prancis, menuturkan aliansi sayap kiri tidak akan menyerah di bawah tekanan untuk menunjuk calon perdana menteri berikutnya yang dapat memerintah bersama Macron.

"Ini adalah momen yang membingungkan (dan) kami tidak akan menambah kecemasan, perpecahan yang tidak perlu pada saat kami perlu menemukan jalan yang benar," ungkap Guedj.

Kebuntuan politik bisa berdampak luas pada perang Ukraina, diplomasi global, dan stabilitas ekonomi Eropa.

Menurut hasil resmi yang dirilis Senin pagi, ketiga blok politik utama tidak mampu mencapai 289 kursi yang dibutuhkan untuk mengendalikan Majelis Nasional yang memiliki 577 kursi, yang merupakan kamar legislatif paling berkuasa di Prancis.

Adapun Macron mempunyai sisa masa jabatan presiden selama tiga tahun.

Alih-alih mendukung Macron seperti yang diharapkannya, banyak orang justru memanfaatkan pemilu parlemen sebagai kesempatan untuk melampiaskan kemarahan terhadap inflasi, kejahatan, imigrasi, dan keluhan lainnya, termasuk gaya pemerintahannya.

Berbeda dengan negara-negara lain di Eropa yang lebih terbiasa dengan pemerintahan koalisi, Prancis tidak memiliki tradisi anggota parlemen dari kubu politik yang bersaing berkumpul untuk membentuk mayoritas. Prancis juga lebih tersentralisasi dibandingkan banyak negara Eropa lainnya, di mana lebih banyak keputusan dibuat di Paris.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya