Penulis hingga Penerbit Berbondong-bondong Boikot Lembaga Budaya Israel

Lembaga budaya Israel dinilai berperan penting dalam kekejaman terhadap Palestina.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 30 Okt 2024, 08:01 WIB
Diterbitkan 30 Okt 2024, 08:01 WIB
Luka dan Duka dalam 100 Hari Perang Hamas-Israel
Warga Palestina memeriksa puing-puing bangunan yang hancur setelah serangan udara Israel di kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan, Kamis, 26 Oktober 2023. (AP Photo/Mohammed Dahman)

Liputan6.com, Jakarta - Penulis peraih Nobel Annie Ernaux dan Abdulrazak Gurnah termasuk di antara ratusan penulis, penerbit, dan pekerja buku lainnya yang berjanji untuk tidak bekerja sama dengan lembaga-lembaga budaya Israel yang mereka nilai merupakan "pengamat bisu atas penindasan yang luar biasa terhadap warga Palestina".

Dalam surat terbuka, yang diinisiasi oleh Festival Sastra Palestina (PalFest) dan diterbitkan pada hari Senin (28/10/2024), para penandatangan mengatakan, "Kami tidak dapat dengan hati nurani yang baik terlibat dengan lembaga-lembaga Israel tanpa mempertanyakan hubungan mereka dengan apartheid dan penggusuran."

"Itu termasuk lembaga-lembaga yang tidak pernah secara terbuka mengakui hak-hak yang tidak dapat dicabut dari rakyat Palestina sebagaimana diabadikan dalam hukum internasional."

Sally Rooney, penulis buku terlaris "Normal People", ikut menandatangani surat tersebut seperti halnya yang dilakukan penyair populer Rupi Kaur, yang awalnya menerbitkan karyanya via Instagram.

Pemenang The Booker Prize Arundhati Roy dan penyair terkemuka Palestina Mohammed El-Kurd termasuk di antara para penandatangan. Surat, yang mengecam tindakan Israel di Jalur Gaza sebagai genosida, tersebut berbunyi, "Kami menyerukan kepada penerbit, editor, dan agen kami untuk bergabung dengan kami dalam mengambil sikap, dalam mengakui keterlibatan kami sendiri, tanggung jawab moral kami sendiri, dan untuk berhenti terlibat dengan negara Israel dan dengan lembaga-lembaga Israel yang terlibat."

Penandatangan lainnya termasuk Jhumpa Lahiri, yang memenangkan Penghargaan Pulitzer pada tahun 2000, dan Kamila Shamsie, pemenang Women's Prize for Fiction 2018.

Penulis sekaligus sejarawan William Dalrymple juga menandatangani surat tersebut, begitu pula jurnalis Owen Jones, Afua Hirsch, Pankaj Mishra, dan akademisi Judith Butler.

"Budaya telah memainkan peran integral dalam menormalkan ketidakadilan ini," bunyi surat tersebut.

"Institusi budaya Israel, yang sering bekerja secara langsung dengan negara, telah berperan penting dalam mengaburkan, menyamarkan, mengaburkan perampasan dan penindasan jutaan warga Palestina selama beberapa dekade."

UK Lawyers for Israel, sebuah kelompok advokasi hukum yang menantang pemerintah Inggris atas penangguhan sebagian penjualan senjata ke Israel, telah mengirim surat terpisah kepada badan-badan perdagangan dan penerbit, dengan mengklaim bahwa boikot tersebut jelas-jelas diskriminatif terhadap orang Israel.

Beberapa bulan terakhir dilaporkan telah terjadi perpecahan tajam di dunia penerbitan atas perang di Jalur Gaza.

Festival Buku Internasional Edinburgh (EIBF) mengakhiri kemitraan selama 20 tahun dengan firma manajemen aset Baillie Gifford pada bulan Mei, menyusul tekanan dari para aktivis atas hubungannya dengan perusahaan teknologi dan militer Israel.

Pada bulan yang sama, Serikat Penulis Inggris, serikat pekerja terbesar di negara itu untuk penulis, ilustrator, dan penerjemah, dengan suara tipis menolak resolusi yang mendukung gencatan senjata di Jalur Gaza.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya