Liputan6.com, Jenewa- Sekitar 64 persen dari 10.000 responden mengatakan mereka mengetahui tentang ancaman resistensi antibiotik namun tidak memahami dengan baik penyebabnya. Ha ini diketahui dalam survei yang dilakukan WHO beberapa saat lalu di 12 negara.
Survei pada masyarakat Barbados, China, Mesir, India, Indonesia, Mexico, Nigeria, Rusia, Serbia, Africa Selatan, Sudan and Vietnam masyarakat memang mengetahui bila resistensi antibiotik dapat memengaruhi diri dan keluarga. Namun mengenai bagaimana hal itu terjadi dan cara mengatasi hal tersebut belum dipahami dengan baik.
Baca Juga
Baca Juga
Contohnya, sekitar 64 persen responden mempercayai antibiotik dapat digunakan untuk mengatasi batuk dan pilek, meskipun faktanya antibiotik tak berpengaruh terhadap penyakit yang disebabkan virus.
Advertisement
Lalu, sekitar 32 persen masyarakat percaya jika konsumsi antibiotik boleh dihentikan ketika sudah merasa lebih baik. Padahal, konsumsi antibiotik harus sesuai dengan resep dokter. Jika dokter mengatakan untuk dihabiskan, harus dikonsumsi terus walau sudah merasa baik.
Bisa saja saat berhenti makan obat masih ada sisa bakteri penyebab penyakit. Bakteri kemudian kembali berkembang biak dan berubah menjadi resisten terhadap antibiotik.
Hasil penelitian ini diungkapkan dalam peluncuran kampanye terbaru WHO yang bertajuk Antiobiotics: Handle with Care. Kampanye yang ditujukan untuk meningkatkan pemahaman tentang antibiotik dan pengubahan cara antibiotik yang tepat.
"Temuan ini sangat mendesak untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang penyebab resistensi antibiotik," ungkap Special Representative of the Director-General for Antimicrobial Resistance, Keiji Fukuda.
Fukuda juga mengungkapkan kerjasama dengan pemerintah, otoritas kesehatan dan mitra lain sangat penting untuk mengurangi resistensi antibiotik seperti diungkapkannya dalam rilis pers di laman resmi WHO dikutip, Selasa (17/11/2015).
Resistensi antibiotik terjadi ketika bakteri berubah dan menjadi resisten terhadap antibiotik yang digunakan untuk mengobati infeksi di tubuh mereka.