Liputan6.com, Jakarta Hari ini, Kamis 17 Mei 2018. India juga menjalani hari pertama puasa. Ini tahun ketiga saya menjalani ibadah puasa di negeri ini karena bertugas sebagai Senior Adviser di WHO South East Asia Regional Office (SEARO) di New Delhi. Tentu ada dan cukup banyak “perbedaan” dengan situasi di tanah air.
Besok “end of sehri” (istilah di India untuk akhir waktu sahur) pada jam 03.59 , yang pada akhir puasa 15 Juni nanti pada jam 03.47. Sementara itu, “iftar” atau waktu berbuka hari ini adalah pukul 19.07 sore/malam dan pada akhir puasa 15 Juni 2018) pada jam 19.20. Artinya, rentang waktu puasa akan lebih lama dibanding di tanah air.
Baca Juga
Memang banyak juga negara yang rentang waktu puasanya lebih lama daripada di tanah air, tetapi di India ada masalah kedua, yaitu badai. Hari-hari ini sedang ada badai debu yang disebut “dust storm”. Angin berhembus amat kencang disertai debu dan menelan banyak korban jiwa. Salah satu kantor berita internasional menyebutkan “India dust storms: More than 110 killed". Kemarin beberapa pohon di dekat rumah saya juga bertumbangan, padahal mobil di New Delhi banyak yang diparkir di bawah pohon karena sebagian besar rumah tidak memiliki garasi.
Advertisement
Masalah ketiga adalah panasnya cuaca. Hari pertama puasa suhu New Delhi mencapai 41° C. Ramalan cuaca pada 26 Mei 2017 menunjukkan suhu akan 45° C. Entah akan berapa derajat nanti di bulan Juni. Untungnya, pada akhir Mei ini saya akan bertugas ke Tokyo. Jadi saya pikir dapat menghindari panas kota New Delhi beberapa hari. Tapi ternyata ada tantangan lain yang akan saya hadapi di Tokyo, yaitu waktu subuh di awal Juni pada jam 02.50 pagi. Jadi memang lain tempat lain tantangannya. Semoga semua membuat ibadah di bulan ramadan ini barokah, dimana pun tempatnya.
Mei dan Juni biasanya sedang panas-panasnya di New Delhi. Karena panas sekali maka pendingin ruangan jadi laku keras, baik AC sebagaimana yang biasa kita ketahui, maupun “AC jerami” seperti di foto. Pada dasarnya alat ini disebut “cooler”. Ini merupakan kotak yang dibuat dari jaringan kawat, dinding dan isinya lempengan jerami. Di dalamnya dimasukkan air. Kalau AC biasa sudah tidak dingin maka kita akan ganti freon, maka di “AC jerami” harus ganti jerami.
Foto ini menunjukkan AC jerami di Masjid Aligarh Muslim University, 130 km dari New Delhi. Di sepanjang jalan dapat ditemui orang menjual “lempengan jerami” untuk “cooler” ini. Kalau alat ini dihidupkan memang akan terasa sejuk, walaupun tentu tidak seperti AC. Sayang, suaranya bising sekali. Salah seorang mahasiswa Indonesia kandidat S 3 di Jawaharlal Nehru University (JNU) menggambarkannya seperti suara helikopter!
Kebetulan pula di awal puasa ini kantor WHO SEARO pindah ke lokasi baru, dan butuh waktu 15 menit untuk jalan kaki ke Masjid terdekat. Saya sudah coba jalani, rutenya enak-enak saja. Lewat toko-toko suvenir, dan lain-lain. Namun, panasnya amat menyengat. Di tambah, data dari “Breathelife” (WHO & UNEP) menunjukkan kadar polusi udara di New Deli 14,3 kali lebih buruk dari kadar aman. Ditandai dengan kadar PM 2,5 di kota ini 143 µg/m3. Sementara batas aman menurut WHO hanya 10 µg/m3.
Sebagai gambaran, data “Breathlife” menunjukkan kadar PM 2,5 di Jakarta 45 µg/m3. PM 2,5 menunjukkan ukuran “particulate matter” (partikel di udara) sebesar 2,5, cukup kecil sehingga akan masuk langsung ke dalam paru manusia. Semoga ibadah puasa kita semua di bulan ramadan ini mendapat rahmat dan berkah dari Allah SWT.
Penulis: Prof Tjandra Yoga Aditama
Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) dan Mantan Kepala Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Kementarian Kesehatan RI. Sekarang bertugas di WHO South East Asia Regional Office di New Delhi