Liputan6.com, Jakarta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah merampungkan uji klinis terhadap imunomodulator herbal untuk penanganan pasien COVID-19. Kini, LIPI tengah mengumpulkan data hasil uji klinis tersebut untuk dikirimkan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) selaku regulator.
Koordinator Kegiatan Uji Klinis Kandidat Imunomodulator Herbal untuk Penanganan COVID-19 Masteria Yunovilsa Putar negatakan, pengumpulan atau verifikasi data itu bertujuan memastikan keakuratan data riset.
Baca Juga
"Kita sedang melakukan data cleaning atau verifikasi data untuk memastikan data penelitian akurat dan dapat dipercaya," ujar Masteria dalam diskusi virtual dengan Tim Uji Klinis Kandidat Imunomodulator untuk Pasien COVID-19, Senin (17/8/2020), seperti dilansir Antara.
Advertisement
Usai tahap verifikasi, data kemudian akan dianalisis secara statistik dan hasilnya diserahkan pada BPOM.
Imunomodulator berfungsi meningkatkan daya tahan tubuh manusia. Dalam uji klinis, dua produk kandidat imunomodulator yang diujikan adlaah Cordyceps militaris dan kombinasi ekstrak herbal yang terdiri dari rimpang jahe merah (Zingiber officinale var Rubrum), daun meniran (Phyllanthus niruri), sambiloto (Androgprahis paniculata), dan daun sembung (Blumea balsamifera). Kombinasi ekstrak herbal tersebut berasal dari bahan alami biodiversitas Indonesia.
"Kombinasi herbal ini sudah diformulasikan, memiliki data stabilitas dan ada prototipenya," ujar Masteria.
Â
Saksikan juga Video Menarik Berikut Ini
Berpeluang Jadi Fitofarmaka Jika Terbukti Berkhasiat
Meski demikian, tim peneliti belum bisa menyajikan detail hasil uji klinis imunomodulator herbal tersebut karena menunggu analisis BPOM.
Uji klinis imunomodulator dengan bahan asli dari keanekaragaman hayati Indonesia ini merupakan yang pertama dilakukan secara independen, jelas Kepala LIPI Laksana Tri Handoko.
Laksana menuturkan, jika dua produk imunomodulator tersebut terbukti berkhasiat dan hasil analisis BPOM juga menyatakan hal yang sama, maka dua produk tersebut bisa menjadi fitofarmaka. Dengan menjadi fitofarmaka, maka imunomodulator dapat diproduksi massal dan diresepkan oleh dokter untuk dipakai dalam penanganan pasien.
"Harganya relatif jauh lebih murah karena formula dan bahan baku lokal," ucap Handoko.
Â
Advertisement