Rumitnya Manajemen Haji dan Pesan dari Mina

Pasca-tragedi Mina, banyak kritik pedas dilayangkan kepada pemerintah Arab Saudi terkait penyelenggaraan ibadah haji.

oleh Wawan Isab RubiyantoSilvanus AlvinOscar FerriAndreas Gerry Tuwo diperbarui 05 Okt 2015, 21:45 WIB
Diterbitkan 05 Okt 2015, 21:45 WIB
Sempurnakan Arah Kiblat Sekarang, Matahari Tepat di Atas Kabah
Pasca-tragedi Mina, banyak kritik pedas dilayangkan kepada pemerintah Arab Saudi terkait penyelenggaraan ibadah haji. (Foto: Istimewa)

Liputan6.com, Mekah - Ribuan bahkan mungkin ratusan ribu orang berpakaian ihram warna putih bergelombang menuju satu titik, yakni jamarat atau lokasi melontar jumrah di lembah padang pasir yang berjarak sekitar 5 kilometer sebelah timur Mekah, Arab Saudi.

Pagi itu puncak ibadah haji baru memasuki hari kedua pada Kamis 24 September 2015 atau 10 Zulhijah 1436 Hijriah. Sehari sebelumnya 2 juta lebih jemaah haji dari berbagai negara termasuk Indonesia melaksanakan wukuf di Padang Arafah yang dilanjutkan malam harinya menuju Muzdalifah.

Di Muzdalifah, jemaah haji mengambil batu kerikil untuk menunaikan ritual melontar jumrah di ketiga jembatan jamarat di Mina, yakni Ula, Wusta dan Aqabah.

Seperti dirangkum dari panduan haji Kementerian Agama RI, bagi mereka yang melakukan ritual singkat (Nafar Awal) melontar seluruhnya 49 batu, yaitu 7 batu di Jamarat Aqabah pada hari pertama. Setelah itu dilanjutkan dengan melontar masing-masing 7 batu di ketiga jamarat selama 2 hari berturut-turut.

Sementara bagi jemaah yang melakukan ritual panjang (Nafar Sani), melontar 70 batu, masing-masing 7 batu dilontarkan di Jamarat Aqabah pada hari pertama dan 7 batu di ketiga jamarat selama 3 hari.

220 Jemaah haji dikabarkan meninggal setelah terinjak-injak saat berebutan untuk melempar jumroh, Mina, Kamis (24/9/2015). (AFP Photo)

Melontar jumrah atau jamrah yang merupakan ritual wajib haji itu mengingatkan peristiwa ketika Nabi Ibrahim AS digoda setan untuk membangkang dari perintah Allah SWT agar menyembelih putranya, Ismail.

Selanjutnya jemaah haji menyelesaikan rangkaian rukun haji, yakni tawaf ifadah, sai, dan tahalul. Sedangkan bagi jemaah yang melaksanakan Nafar Awal, seusai melontar jumrah Aqabah, mereka dapat melakukan tahalul awal dan melepas ihram.

Merujuk rangkaian wajib dan rukun haji itulah, sebagian dari jemaah haji memilih melempar jumrah Aqabah pada 10 Zulhijah atau Kamis 24 September 2015. Mereka pun memilih melaksanakan lempar batu kerikil pada pagi hari.

Saat pagi hari sinar matahari memang tak terlalu menyengat. Seperti dilaporkan wartawan Liputan6.com, Wawan Isab Rubiyanto, suhu saat musim haji kali ini berkisar 40 hingga 48 derajat Celsius.

Musibah Kembali Menghampiri

Namun musibah kembali menghampiri. Terjadi saling dorong dan injak di antara jemaah haji di Jalan 204, sebelum terowongan menuju lokasi melempar jumrah di Mina. Ribuan orang pun menjadi korban meninggal dan cedera.

Ironis. Peristiwa memilukan ini terjadi berselang 13 hari dari musibah jatuhnya crane di Masjidil Haram pada Jumat sore 11 September 2015 yang mengakibatkan sekitar 100 orang lebih termasuk belasan jemaah Indonesia menjadi korban tewas.

Dan selama hampir 2 pekan, perkembangan terkini musibah Mina menjadi perhatian khalayak luas di dunia, termasuk di Indonesia yang sekitar 100 jemaah turut menjadi korban tewas. Hingga Minggu 4 Oktober 2015, sekitar 1.800 jenazah korban tragedi Mina sudah dimakamkan di pekuburan yang berada di sisi kanan tempat pemulasaran jenazah Al-Muashim, Kota Mekah.

"Ada 1.800 jenazah yang sudah dikuburkan di situ," tutur Kepala Daerah Kerja (Daker) PPIH Mekah, Arsyad Hidayat, di kantornya, Minggu 4 Oktober 2015.

Hujan Kritik

Pasca-tragedi Mina, banyak kritik pedas dilayangkan kepada pemerintah Arab Saudi. Kritik halus juga mengalir yang intinya meminta kerajaan Islam itu mencari solusi jitu menangani membludaknya pergerakan jemaah di Mina saban musim haji.

Seperti diwartakan New York Times, Jumat 25 September 2015, Direktur Eksekutif Yayasan Penelitian Warisan Islam, Irfan al-Alawi, menyebut insiden ini sebagai dampak dari buruknya pengelolaan otoritas Saudi.

Terlebih, tokoh yang dikenal pengkritik keras otoritas Saudi ini melihat insiden serupa pernah terjadi beberapa kali sebelumnya. Kamis 24 September lalu di Mina itu dianggap terparah setelah kejadian serupa pada 1990 ketika 1.426 jemaah haji meninggal dunia akibat berdesakan di terowongan Mina.

Jemaah haji di dekat lokasi tragedi Mina. (Arab News)

Kritikan lain datang dari arsitek kelahiran Mekah, Sami Angawi. Cendekiawan, yang beberapa dekade terakhir sibuk mempelajari aktivitas haji di Arab Saudi, menilai otoritas Saudi menghadapi tantangan logistik terbesar dalam menyambut banyak jemaah haji yang bergerak dari satu lokasi ke lokasi lain, dalam jangka waktu tertentu.

Bagaimana tidak? Tahun ini ada sekitar 2 juta jemaah dari 180 negara -- jumlah sebelum ada pengurangan kuota haji pada 2013 menyusul proyek perluasan Masjidil Haram adalah sekitar 3 juta jemaah.

Angawi menjelaskan, jemaah haji sangat beragam dan minimnya penguasaan bahasa yang umum semakin menambah tantangan bagi otoritas Saudi. "Dengan jumlah (jemaah haji) sebanyak ini dan segala keragaman yang ada, sangat sulit untuk berkomunikasi dan memberikan orientasi," tukas Angawi.

Ia pun mengkritik keras upaya pemerintah Saudi yang memilih terus membangun demi mengatasi masalah di Mina, bukannya meningkatkan kemampuan dalam pengendalian massa.

Tak hanya Angawi. Kritik lebih tajam dikemukakan antropolog dari London School of Economics, Dr Madawi al-Rasheed. Ia menuding keluarga Kerajaan Saudi mengambil banyak keuntungan dari proyek pengembangan di Mekah dan Madinah.

Suasana pemukiman sementara umat muslim saat melaksanakan ibadah haji di Mina, Arab Saudi, Kamis (24/9/2015). Sekitar dua juta umat muslim dari berbagai negara berkumpul untuk melakukan prosesi lempar jumrah di Mina. (REUTERS/Ahmad Masood)

Tudingan Iran

Selain pakar, Iran juga menjadi negara yang paling gencar mengkritik otoritas Arab Saudi usai tragedi Mina. Apalagi, merujuk data terkini, jumlah korban tewas tragedi Mina dari Iran mencapai 464 orang.

"Tujuh hari setelah insiden yang tragis. Status dari seluruh haji yang terluka telah selesai dihitung dan dilaporkan," kata Organisasi Haji Iran seperti dikutip dari Al Jazeera, Kamis 1 Oktober 2015.

"Insiden ini menunjukkan salah pengelolaan dan kurangnya perhatian terhadap keselamatan jemaah haji. Tak ada penjelasan. Pejabat Saudi harus bertanggung jawab," sebut Kepala Organisasi Pengeloaan Haji Iran, Said Ohadi, seperti dilansir The Washington Post.

Banyak media Iran bahkan menuding kehadiran konvoi kendaraan Putra Mahkota sekaligus Menteri Pertahanan Saudi Mohammad bin Salman al-Saud di dekat lokasi kejadian, yang telah menyebabkan kepanikan para jemaah hingga menimbulkan saling dorong.

Pemerintah Arab Saudi telah meluruskan ihwal tudingan Iran tersebut. "Saya percaya Iran harus lebih bijak daripada bermain politik dengan tragedi yang menimpa jemaah yang sedang melakukan kewajiban agama yang paling suci," ucap Menteri Luar Negeri Adel al-Jubeir, seperti dimuat Arab News, Minggu 27 September 2015.

Klarifikasi Saudi

Pernyataan ini disampaikan Al-Jubeir usai bertemu Menlu Amerika Serikat John Kerry. Ia pun menyatakan Arab Saudi mampu menangani situasi.

"Arab Saudi telah memiliki sejarah panjang yang luar biasa untuk menyelenggarakan ibadah haji untuk memastikan bahwa jemaah yang datang ke sana bisa melaksanakannya dengan baik," sambung Al-Jubeir

Menyoal insiden yang terjadi di Mina, menurut Al-Jubeir, Arab Saudi tengah melakukan penyelidikan dan siapa pun yang bersalah akan bertanggung jawab.

Klarifikasi juga dikemukakan Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Mustafa Ibrahim al-Mubarak.

Menurut Dubes Mustafa, kabar yang menyebut Putra Mahkota tengah berada di jalur menuju tempat lontar jumrah, sehingga membuat ribuan jemaah berbalik arah dan menyebabkan jemaah terinjak-injak hanya spekulasi yang tidak berdasar.

"Adanya lalu-lalang VVIP, Putra Mahkota, itu tidak benar. Ini spekulasi dari media asing," tegas dia dalam diskusi bertajuk 'Tragedi Mina' di Kantor DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jakarta Pusat, Kamis 1 Oktober 2015.

Di tengah hujan kritik tersebut, Turki membela Arab Saudi. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan 'pasang badan' membela Saudi. Dia menegaskan kesalahan tak bisa dibebankan kepada negara yang dipimpin oleh Raja Salman Abdulaziz al-Saud ini.

"Tidaklah benar menaruh kesalahan kepada Arab Saudi," sebut Erdogan seperti dikutip dari Trend, Sabtu 26 September 2015.

"Selama haji dan umrah saya memperhatikan dari dekat dan secara seksama bagaimana mereka mengurus ini, oleh karena itu tidak bisa disebut mereka mengurus ini secara salah," sambung dia.

Erdogan menyebut, dia yakin Arab Saudi sudah melakukan tindakan meningkatkan kualitas pelayanan dan keamanan haji. Apalagi, setelah beberapa insiden terjadi ketika musim haji tahun ini.

Sementara itu berdasarkan data yang dihimpun Liputan6.com, perseteruan Iran dan Arab Saudi dipicu sejak lama oleh perbedaan sektarian, di mana Iran merupakan negara didominasi penganut Syiah, sedangkan Saudi menganut Sunni.

Pada 1987 silam, bentrokan antara jemaah Syiah asal Iran dengan petugas keamanan Saudi di Mekah memicu tewasnya ratusan orang, termasuk sekitar 275 jemaah haji asal Negeri Persia tersebut.

Wacana Internasionalisasi Mencuat

Tragedi Mina pada tahun ini memicu wacana lama 'internasionalisasi' 2 kota suci Mekah dan Madinah kembali mencuat. Apalagi selama ini penjagaan dua masjid suci di Mekah dan Madinah memberikan legitimasi politik dan pengaruh regional besar bagi Kerajaan Arab Saudi.

Dalam sejarah Islam, lokasi ibadah haji di abad modern memang dikelola oleh Kerajaan Saudi. Sebelumnya selama beberapa abad, Kekaisaran Turki Ottoman yang menguasai Mekah.

Berdasarkan data yang dihimpun Liputan6.com, tuntutan internasionalisasi mengacu pada operasional penyelenggaraan ibadah haji dan umrah dilakukan oleh sebuah lembaga yang dibentuk oleh organisasi internasional seperti Organisasi Kerja Sama Islam (dulu bernama Organisasi Konferensi Islam).

Namun pembangunan di Mekah dan Madinah yang dilakukan pemerintah Kerajaan Arab Saudi dinilai lebih berorientasi pada kepentingan bisnis. Dengan kata lain, kurang memperhatikan kesakralan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi -- 2 masjid yang disucikan umat Islam di seluruh dunia.

Pemerintahan Arab Saudi sadar dengan berbagai kritik tersebut. Mekah dan Madinah jelas penting dan sangat sensitif bagi mereka. Maka,  Ketua Lembaga Urusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang kini dijabat Syekh Dr Abdul Rahman al-Sudais, diposisikan setingkat menteri.

Raja-raja Arab Saudi sendiri, sejak Raja Fahd bin Abdul Aziz -- menjadi raja dari 1982 hingga 2005 -- menganggap perlu mengganti gelar Jalalatul Malik atau Shohibul Jalalah alias Sri Baginda Raja dengan gelar Khadimul Haramain. Yang terakhir ini bermakna sebagai Pelayan Dua Tempat Suci (Mekah-Madinah).

Mengapa Mekah dan Madinah sangat penting buat Kerajaan Arab Saudi?

Alasan utama, 2 kota suci itu merupakan bagian dari wilayah mereka. Lantaran itulah, dengan alasan apa pun, mereka menolak keras intervensi pihak mana pun, apalagi negara asing.

Tapi belakangan ini pengertian tawaf diplencengkan sebagai mengelilingi pusat perbelanjaan di kota Mekkah, seperti Mall Bin Daud dan tawaf di sejumlah mall kawasan Balad, kota Jeddah. (Liputan6.com/Anri Syaiful/wwn)

Diusulkan Tiru Vatikan

Terkait wacana internasionalisasi 2 kota suci, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Syafiq Hasyim punya pendapat berbeda. Model penyelenggaraan ibadah seperti di Vatikan pun menjadi salah satu pilihan.

"Di Vatikan, pada 1929, pemerintahan oleh Paus, ada hubungan luar negeri, urusi uang, dan angkatan perang. Mereka lalu lakukan perjanjian dengan Italia, berdasarkan perjanjian itu, Vatikan diberi tanah 44 hektare," kata Syafiq Hasyim di Gedung PBNU, Jakarta, Jumat 2 Oktober 2015.

"Mereka bisa selenggarakan ibadah terpisah dari Italia. Vatikan, lanjut Syafiq, memiliki polisi yang berasal dari bantuan Swiss dan polisi pamong praja. Mereka bertugas mengatur ketertiban orang-orang yang berziarah di Vatikan.

"Peak season saat Natal dan ratusan ribu hingga jutaan yang datang ke Vatikan," ujar Syafiq.

Meski demikian, penyelenggaraan ibadah haji sulit untuk mengadopsi gaya Vatikan. Sebab, geopolitik keduanya berbeda.

"Geopolitik Vatikan dan Islam di Mekah-Madinah tidak sama. Nanti siapa yang paling berdaulat di Tanah Suci ketika jadi wilayah internasional. Tidak ada kepemimpinan hierarki, kecuali mereka pakai sistem Syiah. Instruksi dari atas sama," tutur Syafiq.

"Tidak pernah kita bayangkan umat Islam konflik soal Madinah, tak bisa dibayangkan akibatnya seperti apa," tegas Syafiq.

Lain lagi pendapat Katib Am PBNU Yahya Cholil Staquf. Pemerintah Arab Saudi diminta untuk tidak membuat kebijakan dalam penyelenggaraan haji yang berorientasi pada keuntungan semata. Hal ini menyikapi kebijakan Saudi yang menambah daya tampung jemaah di Masjidil Haram.

"Kita tahu Masjidil Haram dirombak untuk meningkatkan kapasitas. Itu kita terima, tapi kita minta agar pertimbangan komersial dan ekonomi dihapus," ujar Yahya Cholil Staquf di Gedung PBNU, Jakarta, Jumat 2 Oktober 2015.

"Ini ibadah. Kita tuntut agar tidak ngoyo meningkatkan kapasitas tampung atas jemaah haji," tambah dia.

Menurut Yahya, saat ini Saudi sedang dalam kondisi ketakutan karena sumber daya minyak yang dimiliki dalam waktu dekat akan habis. Dengan demikian, sumber pemasukan nantinya hanya berasal dari penyelenggaraan haji semata.

"Kita tahu ada proyeksi Saudi tidak sekaya masa lalu karena sumber daya minyak bisa habis dan nanti hanya makan dari Kabah," tutur dia.

"Tiba waktunya Saudi jadi negara melarat, ya nanti dunia Islam urunan, enggak masalah. Ini adalah soal jaminan keselamatan dan ketenteraman dalam ibadah itu," tegas Yahya.

Suatu Pembelajaran

Belajar dari tragedi Mina, Ketua Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) Slamet Effendi Yusuf mengatakan, diperlukan pengetatan jadwal pelaksanaan ibadah melempar jumrah.

"Perlu penjadwalan pelemparan yang tegas. Bukan anjuran, tapi jadwal yang ketat dan itu sudah disosialisasikan sejak di Tanah Air," imbau dia di Mekah, Arab Saudi, Kamis 1 Oktober seperti dikutip dari laman Kemenag.go.id.

Selain itu, KPHI juga memandang perlu dilakukan penguatan peran Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia (TPIHI). Jika bisa, TPIHI sebaiknya diisi orang-orang yang sudah pernah berhaji agar tak kalah berperan dari KBIH.

"Jika perlu KBIH di-briefing agar ketika di lapangan harus mengikuti TPIHI," imbuh Slamet.

Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin turut memberi masukan, terkait tragedi Mina saat pelaksanaan ibadah haji 2015.

Menurut Cak Imin, pemerintah Arab Saudi harus mencari sistem yang lebih baik lagi. Karena tragedi Mina yang sudah beberapa kali terjadi ini harus bisa menjadi pelajaran semua pihak, termasuk Indonesia sebagai 'penyumbang' jemaah terbesar.

"Kita semua harus mencari sistem yang lebih baik untuk urusan haji ini. Karena peristiwa di Mina patut jadi pelajaran buat kita semua, terutama untuk Arab Saudi," ujar Cak Imin dalam diskusi 'Tragedi Mina' di Kantor DPP PKB, Jakarta Pusat, Kamis 1 Oktober 2015.

Cak Imin mendesak pemerintah Arab Saudi agar menemukan sistem pengelolaan haji yang lebih baik. Khusus untuk pemerintah dan jemaah haji Indonesia, sebaiknya mempersiapkan diri agar bisa melaksanakan ibadah haji dengan baik.

"Disiplin misalnya. Kesalahan waktu, terlalu bersemangat, dan sebagainya bisa menjadi faktor utama terjadi musibah ini. Jadi inilah kesempatan yang tepat buat kita untuk mengevaluasi agar tidak pernah terjadi lagi," tandas dia.

Cak Imin juga mengakui, pengelolaan ibadah haji di Tanah Air tidaklah mudah. Apalagi bagi Indonesia yang jumlah jemaahnya bisa mencapai jutaan.

Asrama Haji Pondok Gede (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Pengelolaan Haji di Indonesia

Adapun penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia tak terlepas dari kuota haji dan lamanya waktu tunggu bagi setiap jemaah yang akan berangkat ke Tanah Suci.

Seperti dikutip dari kemenag.go.id, pada 2015 ini, Indonesia memberangkatkan 168.800 calon jemaah haji ke Tanah Suci. Jumlah tersebut turun 20% sejak tahun 2013 akibat pemotongan jumlah kuota Indonesia, karena perluasaan Masjidil Haram.

Rencananya, mulai 2017, kuota akan kembali normal, yaitu 211 ribu orang. Dari jumlah itu, Kementerian Agama membagi kuota menjadi 194 ribu untuk jemaah haji biasa dan 17 ribu untuk jemaah haji khusus.

Dengan pengurangan 20% dari kuota normal tersebut, terjadi antrean dengan masa tunggu yang panjang. Masa tunggu terpendek terdapat di Kabupaten Seluma dan Kaur di Bengkulu: 6 tahun. Rekor masa tunggu terlama dipegang oleh Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Sidrap di Sulawesi Selatan: 33 tahun.

Ini berarti, bila mendaftar haji saat usia 40 tahun, maka akan berangkat pada usia 74 tahun.

Adapun masalah kuota haji adalah keputusan sidang OKI pada 1986. Yaitu, satu per seribu penduduk muslim. Arab Saudi tak boleh memutuskan kuota secara sepihak, kecuali ada hal-hal yang sangat darurat, seperti ada proses pembangunan dan perluasan Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan infrastruktur ibadah haji lainnya.

Namun selama ini Arab Saudi terkesan pemegang hak mutlak kuota haji. Andai ada negara yang ingin menambah kuota, mereka harus memohon kepada pihak Saudi. Dan sejauh ini jumlah jemaah calon haji Indonesia yang menunggu diberangkatkan mencapai 2 juta.

"2 Juta itu total seluruh jemaah haji waiting list. Total pastinya 2.792.837 jemaah haji hingga sekarang. Itu data bergerak bisa kurang dan lebih, karena bisa saja ada yang membatalkan," beber Kepala Sub Bagian Informasi Penyelenggaraan Haji Kemenag, Affan Rangkuti, kepada Liputan6.com, Jumat 2 Oktober 2015.

Tambahan Kuota

Terkait kuota haji, Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, mengatakan Presiden Joko Widodo telah melobi pemerintah Arab Saudi agar Indonesia mendapatkan penambahan kuota haji tahun depan. Permintaan itu disampaikan langsung pada Raja Arab Saudi, Sabtu 12 September lalu.

Hasilnya, Indonesia mendapat tambahan kuota haji sebesar 10 ribu orang. Bahkan, pada 2016, menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Indonesia mendapat tambahan 20 ribu kuota haji dari kuota normal. Penambahan tersebut merupakan akumulasi tahun ini, saat Indonesia mendapat tambahan kuota 10 ribu jemaah.

Kabar penambahan kuota haji ini tentunya sedikit mengurangi duka atas musibah beruntun yang menghampiri saat musim haji tahun ini. Yang lebih penting, manajemen haji yang lebih mumpuni mendesak dipenuhi. (Ans/Yus)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya