Tradisi Meriam Kayu di Kutai Kartanegara sebagai Penanda Buka Puasa

Ada tradisi Ramadhan unik menjelang berbuka puasa di kawasan Jantur, Kecamatan Muara Muntai, Kabupaten Kutai Kartanegara bernama meriam kayu.

oleh Abdul Jalil diperbarui 17 Apr 2022, 12:00 WIB
Diterbitkan 17 Apr 2022, 12:00 WIB
Meriam Kayu Desa Jantur
Tradisi meriam kayu dengan suara menggelegar sebagai penanda berbuka puasa jadi keunikan di Desa Jantur, Kecamatan Muara Muntai, Kabupaten Kutai Kartanegara. (foto: Abdul Jalil)

Liputan6.com, Jakarta Ada tradisi Ramadhan unik menjelang berbuka puasa di kawasan Jantur, Kecamatan Muara Muntai, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Namanya meriam kayu. Warga setempat menyebutnya leduman.

Tradisi ini bertahan sejak 50 tahun lalu. Dahulu, karena tak ada listrik, penanda waktu berbuka puasa adalah suara-suara yang bisa didengar hingga jauh.

Di Jantur, ada tiga desa yang berdiri di sisi selatan Danau Jempang. Danau ini merupakan danau terluas di Kalimantan Timur dengan luas 15 ribu hektar. Ketiga desa tersebut adalah Desa Jantur, Desa Jantur Selatan, dan Desa Jantur Baru.

Lokasinya cukup terpencil karena tak ada akses jalan darat sama sekali. Untuk keluar masuk kawasan ini, hanya melalui Sungai Mahakam menuju Danau Jempang.

Seperti biasa, sejak pukul 17.00 Wita, sejumlah pemuda dari Desa Jantur Selatan menyiapkan dua meriam yang terbuat dari batang pohon. Ukurannya sebesar pelukan orang dewasa dengan panjang mencapai 10 meter.

Dua meriam ini di taruh di dermaga di depan Masjid Jam’iyatuttaqwa. Meriam kayu diposisikan saling bersebelahan dengan moncong meriam saling berlawanan.

“Kami menyebutnya batang kayu pohon nangka,” kata Penyuluh Agama Desa Jantur Selatan, Muhriadi.

Liputan6.com hadir langsung melihat tradisi ini dan menyaksikan persiapan mereka. Tak hanya dari Desa Jantur Selatan, warga dari dua desa lainnya juga ikut membantu.

Karena berukuran besar, sebelum digunakan, meriam kayu ini harus dibersihkan. Pembersihan dilakukan agar suara yang dikeluarkan tetap menggelegar.

10 menit jelang waktu berbuka, batu karbit yang sudah dipecah menjadi lebih kecil dimasukkan ke dalam meriam. Setelah dimasukkan, lubang yang dijadikan sumbu dan ujung meriam ditutup rapat dengan kain.

Saat waktu berbuka tiba, penutup kain dibuka. Seperti meriam pada umumnya, sebuah kayu yang sudah digumpal kain di ujungnya akan dibakar.

Saat lubang sumbu dibakar, suara menggelegar terdengar keluar dari meriam. Beberapa detik kemudian, meriam kedua juga dibunyikan.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Bertahan 50 Tahun

Desa di Pedalaman Kalimantan
Di kawasan yang cukup terpencil di Kabupaten Kutai Kartanegara ini berdiri tiga desa yakni, Desa Jantur, Desa Jantur Baru, dan Desa Jantur Selatan. (foto: Abdul Jalil)

Dahulu, kawasan terpencil di pedalaman Kalimantan kebanyakan kesulitan akses listrik. Puluhan tahun mereka hidup tanpa penerangan listrik yang memadai.

“Sebagai penanda berbuka, meriam kayu inilah solusinya,” kata Muhriadi.

Meski kini desa-desa di Jantur sudah dialiri listrik 24 jam, tradisi ini tetap dipertahankan. Muhriadi mengklaim, suara ledakan meriam kayu dari desanya bisa didengar hingga radius 30 kilometer.

“Dahulu warga sangat bergantung dengan suara leduman ini. Karena sudah jadi tradisi, tetap kita pertahankan,” sambungnya.

Tiga desa di Jantur hidup bergantung dari ekosistem air tawar. Meski terpencil, rata-rata masyarakatnya tergolong sejahtera.

Profesi sebagai nelayan air tawar, baik nelayan tangkap maupun budidaya, membuat warganya bisa hidup sejahtera meski berada di kawasan terpencil.

“Bayangkan saja, di Desa Jantur Selatan saja ada 2 ribu kepala keluarga. Itu baru satu desa,” sebutnya.

Hasil ikan air tawar olahan warga Jantur dikirim hingga ke Banjarmasin dan Surabaya. Kebanyakan sudah berupa ikan asin. Ikan Biawan menjadi favorit hasil produksi warga di tiga desa ini.

Kesulitan Kayu

Tradisi Ramadan
Seorang pemuda dari Desa Jantur Selatan, Kecamatan Muara Muntai, Kabupaten Kutai Kartanegara membersihkan meriam kayu yang jadi tradisi desa tersebut sebagai penanda berbuka puasa. (foto: Abdul Jalil)

Meski sudah menjadi tradisi, warga Jantur masih kesulitan untuk mendapatkan pohon kayu nangka air. Sebab, setiap tahun mereka harus mencari batang pohon baru.

“Batang pohon ini tidak bisa digunakan untuk tahun berikutnya, jadi harus cari lagi untuk tahun depan,” kata Muhriadi.

Ramadhan tahun lalu, warga Jantur tak merasakan tradisi ini. Upaya pencarian Pohon Nangkai Air gagal sehingga penanda berbuka puasa diganti sirine.

“Tahun ini pencariannya dilakukan lebih awal, lebih jauh dari kedatangan Bulan Ramadan sehingga bisa dilaksanakan,” sambungnya.

Rencananya, untuk Ramadhan tahun depan, pencarian batang kayu akan dilakukan tiga bulan sebelum Ramadan datang. Sebab mencari Pohon Nangka Air tak semudah dahulu.

“Kita harus masuk jauh lagi ke pedalaman hingga Kutai Barat untuk mendapatkanya,” katanya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya