Utang Puasa Ramadan Banyak? Jangan Bingung, Ini Cara Menggantinya

Mungkin masih ada di antara kita yang belum sempat mengganti utang puasa ramadan dan tidak mengetahui dengan pasti berapa jumlahnya. Lantas bagaimana caranya? Simak penjelasan berikut.

oleh Putry Damayanty diperbarui 07 Jan 2024, 20:30 WIB
Diterbitkan 07 Jan 2024, 20:30 WIB
Ilustrasi Muslim, puasa, buka puasa
Ilustrasi Muslim, puasa, buka puasa. (Photo by mentatdgt from Pexels)

Liputan6.com, Jakarta - Mengganti ibadah puasa yang tidak dilaksanakan pada bulan Ramadan sebelumnya karena alasan tertentu merupakan suatu kewajiban bagi seorang muslim.

Akan tetapi bagi beberapa orang ada yang tidak mengetahui jumlah dari utang puasanya. Mungkin, karena sudah bertahun-tahun dan tidak langsung diganti (diqadha).

Hal tersebut juga bisa terjadi misalnya pada seorang perempuan, ketika bulan Ramadan ia melahirkan atau menyusui anaknya kemudian mengalami hal yang sama pada Ramadan berikutnya. Sehingga, saat hendak mengganti puasanya menjadi bingung karena banyak dan tidak tercatat.

Qadha puasa Ramadan wajib dilaksanakan sebanyak hari yang telah ditinggalkan, sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Baqarah ayat 184.

"(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin."

 

Saksikan Video Pilihan ini:

Memperbanyak Puasa dengan Niat Qadha Puasa Ramadhan

Mengerjakan puasa Ramadan hukumnya wajib bagi umat Islam yang memenuhi syarat, karena termasuk ke dalam rukun Islam ketiga. Oleh karena itu, utang puasa Ramadan sebanyak apapun wajib untuk diqadha.  

Selagi puasa wajib belum ditunaikan, maka kewajiban itu masih menjadi tanggungan. Hal ini dijelaskan oleh Imam Al-Haramain, sebagaimana dilansir dari laman NU Online,

والأمر استدعاء الفعل بالقول ممن هو دونه على سبيل الوجوب. وإذا فعل يخرج المأمور عن العهد

Artinya: "Perintah (Allah) adalah tuntutan melalui ucapan untuk melakukan sesuatu terhadap pihak yang lebih rendah serta bersifat wajib. Bila perintah itu sudah dikerjakan, maka pihak yang diperintah keluar dari beban perintah tersebut".

Syekh Ibnu Hajar melalui fatwanya menarik persoalan puasa ini dari masalah wudhu sebagai keterangan berikut: 

Artinya: "Dari masalah wudhu ini (kasus orang yang yakin sudah hadas dan ragu sudah bersuci atau belum, lalu ia wudhu dengan niat menghilangkan hadas bila memang hadas, dan bila tidak maka niat memperbarui wudhu, maka sah wudhunya). Bisa dipahami bahwa jika seseorang ragu punya kewajiban mengqadha puasa misalnya, lalu ia niat mengqadhanya bila memang punya kewajiban qadha puasa, dan bila tidak maka niat puasa sunnah, maka niatnya itu juga sah, dan qadha puasanya berhasil dengan mengira-ngirakan memang wajib mengqadha. Bahkan bila memang jelas wajib mengqadha. Bila tidak (ada kewajiban qadha), maka ia mendapat pahala puasa sunnah seperti halnya dalam masalah wudhu. Dengan demikian diketahui, bahwa orang yang ingin berpuasa sunnah sebaiknya berniat mengqadha puasa wajib bila memang ada kewajiban mengqadha. Bila tidak (ada kewajiban), maka puasanya bernilai puasa sunah. Hal ini dilakukan agar menghasilkan qadha bila memang punya kewajiban qadha".

Dari penjelasan tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa orang yang memiliki utang puasa lalu ingin memperbaiki diri di hadapan Allah sebaiknya memperbanyak puasa dengan niat qadha puasa Ramadan. Jika qadha puasa wajibnya selesai dan ia terus mengqadha puasanya, maka puasa selebihnya bernilai pahala puasa sunnah.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya