Gus Iqdam Janji Undang Adik Siti yang Difabel di Harlah ST dan Kisah Nabi dengan Pria Tunanetra

Gus Iqdam undang adik penyandang disabilitas, dan Kisah Nabi SAW dengan sahabat Abdullah bin Ummi Maktum dan Julaibib, ajarkan sikap inklusi kepada kaum difabel

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Jan 2024, 00:30 WIB
Diterbitkan 28 Jan 2024, 00:30 WIB
Gus Iqdam sedang berdialog dengan santri asal Malaysia (SS: YT Preman Dua Alam)
Gus Iqdam sedang berdialog dengan santri asal Malaysia (SS: YT Preman Dua Alam)

Liputan6.com, Jakarta - Viral di media sosial, Gus Iqdam akan mengundang secara khusus sosok Adik Siti salah seorang penyandang difabel pada Harlah Majelis Ta'lim Sabilu Taubah, medio Februari mendatang.

Adik Siti sempat berdialog dalam pengajian Gus Iqdam. Pada sesi dialog dengan Adik Siti yang berumur 24 tahun itu, Gus Iqdam terharu hingga menangis.

Malam itu perempuan ini mendapat hadiah Rp2 juta dari Gus Iqdam. Adik Siti ini sungguh girang mendapat hadiah dari idolanya itu.

Gus Iqdam pun melarang perempuan itu datang ke pengajian, bukan melarang dengan maksud jelek. Melainkan karena kasihan dengan kondisinya sebagai penyandang difabel.

Gus Iqdam meminta agar Adik Siti ini melihat live streaming saja. Ia meminta hadiah yang diberikan digunakan untuk membeli HP yang lumayan bagus agar bisa ngaji dengan istiqomah.

Di penghujung dialog, Gus Iqdam berjanji akan mengundang perempuan ini datang ke ST pusat saat Harlah Sabilu Taubah, tengah bulan Februari mendatang.

"Insya Allah kalau nanti Harlah ada acara disabilitas, tolong tim putri atau Mas Bagus minta nomernya. kalau Harlah ada acara disabilitas adik ini diundang agar dihibur temen-temen ya," ujar Gus Iqdam, yang pendiri sekaligus pengasuh Majelis Ta'lim Sabilu Taubah.

 

Simak Video Pilihan Ini:

KIsah Nabi Muhammad SAW dengan Sahabatnya yang Tunanetra

Ilustrasi kampanye global untuk penyandang disabilitas
Ilustrasi kampanye global untuk penyandang disabilitas. Photo by Markus Spiske on Unsplash

Sementara, mengutip suaraaisyiyah.id, Nabi Muhammad SAW pernah ditegur oleh Allah SWT. secara langsung berkaitan dengan sikap beliau terhadap sahabat Abdullah bin Ummi Maktum. Dikisahkan bahwa pada saat Nabi SAW sedang menerima kunjungan dari beberapa tokoh Quraisy, beliau menerimanya dengan penuh antusias dan berdialog dengan penuh perhatian.

Di tengah dialog, datanglah Abdullah bin Ummi Maktum, sahabat beliau yang tunanetra. Ia memohon kepada Nabi SAW agar membacakan kepadanya beberapa ayat al-Quran. Karena begitu seriusnya dialog Nabi SAW dan para tamu tokoh Quraisy tersebut, beliau tidak memberikan respons terhadap permohonan sang sahabat itu.

Abdullah bin Ummi Maktum tidak menyadari bahwa Nabi SAW sedang menerima tamu dan berdialog serius dengan mereka. Dia pun memohon lagi agar Nabi SAW berkenan membacakan beberapa ayat al-Quran kepadanya. Rupanya Nabi SAW merasa terganggu. Beliau lalu memalingkan mukanya dari Abdullah bin Ummi Maktum dan terus melanjutkan dialog dengan para tamunya. Seusai para tamu pulang, Nabi SAW ditegur langsung oleh Allah dengan turunnya surat ‘Abasa yang berarti “bermuka masam”.

Setelah peristiwa tersebut, Nabi SAW senantiasa memberikan pelayanan dan penghormatan yang lebih kepada Abdullah bin Ummi Maktum, sahabat beliau tersebut. Apabila sahabat ini datang, Nabi SAW senantiasa menyambutnya dengan antusias. Beliau kerap mengungkapkan salam, ”selamat datang wahai Saudara yang menyebabkan aku ditegur oleh Tuhan-ku (ahlan biman atabany fihi Rabbii)”. Bahkan, beliau senantiasa melayani segala apa yang diinginkan sahabatnya yang tunanetra itu dengan baik.

Abdullah bin Ummi Maktum diberikan kepercayaan sebagai salah seorang muadzin Rasulullah SAW. Tidak hanya itu, tatkala Nabi SAW berada di luar kota Madinah, sahabat ini pernah diberikan kepercayaan untuk memimpin kota Madinah.

Kisah Nabi Muhammad SAW dengan Sahabat Julaibib

Ilustrasi Anak-anak difabel
Ilustrasi anak difabel (iStockphoto)​

Selain Abdullah bin Ummi Maktum, Nabi SAW juga menorehkan kisah menarik dengan sahabatnya yang lain, Julaibib. Sahabat beliau ini memiliki tubuh pendek dan tidak menawan.

Karena kondisi fisik ini, masyarakat Madinah kurang menyukai keberadaannya. Namun Nabi SAW tetap menyayangi Julaibib.

Setelah peristiwa hijrah, Nabi SAW mengangkat martabat sahabatnya itu dengan menjadikannya sebagai teman dan merawatnya. Bahkan dikisahkan juga bahwa beliau melamarkan seorang gadis cantik untuknya.

Secara khusus, beliau memanjatkan doa, “Ya Allah, limpahkan kepada keduanya kebaikan, dan jangan jadikan kehidupan mereka susah” (Allahumma shubba ‘alaihimaa al-khaira shobbaa, wa laa taj’al ‘aisya humaa kadda kadda)”.

Dua kisah di atas memberikan pelajaran bahwa Nabi SAW telah menunjukkan sikap inklusi atau kesetaraan terhadap kaum difabel. Beliau mencontohkan bagaimana seorang muslim harus melakukan advokasi terhadap kaum difabel. Setiap muslim dituntut agar memiliki sikap untuk memuliakan, melayani, dan menyejahterakan saudaranya yang memiliki keterbatasan secara fisik.

Kisah Abdullah bin Ummu Maktum mengajarkan bahwa kemuliaan seseorang itu bukan terletak pada kesempurnaan fisik semata. Oleh karena itu, setiap muslim harus bersikap adil dalam berhadapan dengan siapa pun tanpa memandang kondisi fisiknya. Setiap mukmin juga dilarang Allah untuk menghina dan merendahkan orang lain karena bisa jadi orang yang dihina dan direndahkan itu kondisinya lebih baik daripada yang menghina. Hal ini telah Allah tegaskan dalam surat al-Hujurat ayat 11:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلْأَلْقَٰبِ ۖ بِئْسَ ٱلِٱسْمُ ٱلْفُسُوقُ بَعْدَ ٱلْإِيمَٰنِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (Q.S. al-Hujurat: 11).

 

Nabi Muhammad Sangat Membela Abdullah bin Mas’ud

Ilustrasi kaki palsu
Ilustrasi Kisah Yubita Hida, Mahasiswi Disabilitas di Yogyakarta yang Akhirnya Punya Kaki Palsu dengan Desain Lebih Humanis. Foto: Freepik.

Ada sebuah kisah yang dialami oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud, salah satu sahabat Nabi SAW yang pandai dalam menafsirkan Al-Qur'an. Suatu hari dia memanjat sebuah pohon dan seketika angin berhembus sehingga kakinya terlihat. Beberapa sahabat yang melihat kaki Abdullah bin Mas’ud tertawa. Nabi SAW pun menegur mereka dan beliau berkata, “Apa yang membuat kalian tertawa? Ketahuilah bahwa di hari pembalasan, kedua kaki Ibnu Mas’ud akan lebih berat di timbangan daripada Gunung Uhud.”

Kisah Abdullah bin Mas’ud secara nyata mengajarkan setiap muslim untuk tidak terjebak pada penampilan fisik. Hendaknya setiap muslim juga tidak merendahkan atau menghinakan kaum difabel. Ajaran Islam sendiri tidak membatasi kaum difabel untuk melakukan ibadah. Keterbatasan fisik bukan hambatan bagi seseorang untuk melaksanakan ibadah. Ibadah sholat, misalnya. Fikih Islam membolehkan seseorang melakukan ibadah sholat sesuai dengan kemampuannya. Apabila tidak mampu berdiri, diperbolehkan untuk melakukan sholat dengan duduk atau berbaring. Dalam hal tersebut, sholatnya tetap sah sepanjang niat dan syarat rukunnya terpenuhi.

Islam juga menegaskan bahwa orang-orang yang akan mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan hidup bukanlah dilihat dari kondisi fisiknya, tetapi dilihat dari iman dan amal salehnya. Siapa saja, baik laki-laki atau perempuan, sempurna atau memiliki keterbatasan secara fisik, memiliki kesempatan sama untuk meraih kemuliaan dan kebahagiaan hidup dari Allah SWT. Hal ini Allah sebutkan dalam surat An-Nahl ayat 97:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Artinya, “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka, sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (Q.S. An-Nahl: 97). Wallahu A’lam.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya