Liputan6.com, Yogyakarta - Jutaan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kini menanti aksi nyata Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan untuk melindungi usaha mereka. Salah satu caranya adalah segera mengesahkan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 mengenai Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Rencana perbaikan aturan itu sudah berlangsung berbulan-bulan tapi terhenti di Kemendag.
“Kalau Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tidak segera direvisi, maka akan menjadi pukulan telak bagi UMKM. Ibaratnya UMKM ini disuruh pergi perang tapi tidak dikasih senjata. Dalam jangka pendek, Permendag ini akan menolong UMKM. Tetapi pemerintah juga harus membantu UMKM agar lebih kuat dalam jangka panjang,” kata Ekonom Universitas Gajah Mada (UGM) Eddy Junarsin dalam keterangan tertulis di Yogyakarta, Kamis (13/7/2023).
Edy lalu menunjuk agresivitas platform e-commerce dan social commerce asing yang telah menjadikan pasar Indonesia sebagai target utama mereka. Salah satu yang kini jadi sorotan adalah Tiktok. Platform social commerce asal Tiongkok ini sedang menjalankan project S melalui Tiktok Shop untuk memperbesar bisnisnya di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Advertisement
Baca Juga
Menurut Edy, pemerintah harus membatasi transaksi melalui social commerce atau perdagangan elektronik media sosial seperti TikTok Shop hanya untuk produk-produk dengan harga tertentu. Misalnya ditetapkan harga per produk mininal sebesar US$ 100. Dengan demikian, produk-produk yang bisa diperjualbelikan oleh platform media sosial hanya produksi dalam negeri atau didominasi oleh produk UMKM.
“Pemerintah harus tegas posisinya dalam melindungi UMKM. Selain dengan regulasi, pemerintah juga wajib memberikan bantuan teknis, seperti memperbanyak pelatihan, bantuan manajemen, pinjaman kredit lunak, dan lain sebagainya. Hal itu, akan lebih bermanfaat untuk memperkuat daya saing UMKM terhadap produk-produk impor,” tegasnya.
Saat ini Tiktok menjadi sorotan banyak kalangan menyusul kekhawatiran sejumlah pihak atas perilaku bisnis perusahaan Tiongkok ini. Melalui project S lewat Tiktok Shop, platform ini diduga sedang berupaya mengumpulkan berbagai data mengenai perilaku transaksi konsumen di seluruh dunia.
Dengan mengetahui perilaku konsumen dan produk-produk yang paling laku, Tiktok kemudian diduga berusaha memproduksi barang sejenis di China dan di jual dengan harga lebih murah.
Hancurnya bisnis UMKM akibat banjirnya produk murah dari Tiongkok yang dijual lewat platform online sudah terjadi di bisnis Hijab.
Berdasarkan studi World Economic Forum (WEF), hingga tahun 2021 produksi hijab lokal hanya tinggal 25 persen, sementara 75 persen dari sekitar 1,02 miliar hijab yang dijualbelikan di Indonesia dikuasai oleh produk impor. Padahal di tahun 2021 masyarakat Indonesia ditaksir menghabiskan uang untuk membeli hijab hingga USD 6,9 miliar.