Liputan6.com, Jakarta - Siang itu, tepatnya pada 18 Juni lalu, halaman Gedung DPR RI, kedatangan tamu tak diundang. Belasan aktivis yang tergabung dalam Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Koalisi Masyarakat Menolak Dana Aspirasi itu menggelar unjuk rasa.
Di antara mereka ada yang memegang spanduk bernada penolakan. Poster-poster yang tergantung di badan mereka juga terpampang jelas, 'Dana Aspirasi Persubur Korupsi', 'Dana Aspirasi Pembangunan Semakin Timpang', dan 'Dana Aspirasi Anggaran Tidak Efektif=Pemborosan Anggaran'.
Tak lupa, mereka juga mencantumkan tanda pagar atau hashtag #tolakdanaaspirasi sebagai bentuk kampanye melalui sosial media. Aksi tersebut pun berlanjut ke sebuah aksi teatrikal.
Advertisement
Dalam teatrikal, pendemo memerankan anggota DPR, konstituen, tim sukses, dan broker. Dalam aksinya, anggota Dewan mendatangi konstituen dan menjanjikan akan membangun daerah mereka dengan dana aspirasi yang didapat.
Sebelum meninggalkan konstituen, anggota Dewan itu memberikan sejumlah uang sebagai bukti perhatian terhadap warga. Tak lama kemudian, tim sukses yang dicurigai juga sebagai broker datang kepada warga, dengan membawa uang yang lebih banyak.
Broker ini lalu menyerahkan uang itu dan mengklaim dari sang anggota Dewan. Warga yang menerima senang-senang saja. Padahal, broker mendapat uang jauh lebih besar dibanding yang diterima warga. Begitulah gambaran dana aspirasi bagi para aktivis.
Koordinator aksi Syamsudin Agung Halimsyah mengatakan, aksi ini merupakan lanjutan dari rentetan aksi penolakan terhadap dana aspirasi DPR. Dia menilai, sampai saat ini tidak ada argumentasi mendasar dana aspirasi itu harus dicairkan.
"Dengan adanya dana aspirasi, anggota Dewan menabrak konstitusi. Mereka yang seharusnya membahas, malah mengurusi hal kecil berkedok pembangunan daerah," kata Syamsudin di lokasi.
Selain itu, tidak ada rumusan yang jelas dalam menentukan besaran dana aspirasi yang diterima anggota Dewan. Setiap anggota Dewan menerima Rp 20 miliar, padahal jumlah suara, kebutuhan daerah, dan jumlah anggota Fewan di setiap daerah berbeda.
Tak hanya itu, pembangunan menggunakan dana aspirasi disinyalir tidak terintegrasi dengan desain pembangunan yang sudah dibuat setiap pemerintah daerah. Anggota Dewan pasti hanya memikirkan dapilnya saja tanpa memperhatikan desain pembangunan yang sudah dibuat.
Ketua DPRÂ Setya Novanto yang juga Wakil Ketua Umum Golkar versi Munas Bali itu menyatakan, dirinya siap membahas dana aspirasi yang berjumlah total mencapai mencapai Rp 11,2 triliun itu dengan seluruh fraksi. Anggota DPR tengah mengupayakannya masuk dalam APBN 2016.
Menurut Novanto, dana aspirasi merupakan usulan dari para anggota di daerah pemilihannya. Mereka, mengalami kesulitan membangun program. "Karena dana, masalah dapil ini memang menjadi suatu hal bagi anggota bisa mempunyai kewajiban di dalam melakukan program-programnya," ujar Setya di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa 9 Juni 2015.
Novanto mengklaim dana aspirasi untuk menjalankan program-program di dapil itu, tidak akan dipegang langsung oleh anggota DPR. Dana itu akan langsung diserahkan ke kepala daerah di dapil yang membutuhkan.
Wakil Ketua DPRÂ Agus Hermanto mengatakan dana aspirasi ini berbentuk anggaran yang dipegang pemda. Karena itu, dia memastikan anggota Dewan tidak memegang dana ini. Bahkan, wakil rakyat tak boleh bersentuhan langsung dengan uang tersebut.
Guna memperoleh dana itu pun, kata Agus, anggota Dewan harus mendapat persetujuan lurah, camat, wali kota/bupati dan kepala dinas. Maka itu, ketika anggota dewan ingin meneruskan aspirasi dapilnya, dia harus mengajukan proposal.
Proposal tersebut, lanjut Agus, harus mendapat tanda tangan seluruh pejabat daerah, mulai lurah hingga kepala dinas. Setelah itu, proposal akan diuji keabsahannya.
Ucapan Novanto dibenarkan anggota Komisi III DPR Arsul Sani. Dana yang berjumlah fantastis itu menurut dia tidak akan dikelola oleh anggota DPR. "Dulu kan (dana aspirasi) bentuknya seperti bansos (bantuan sosial). Dia (anggota DPR) yang mencairkan."
"Kalau sekarang, datang bawa proposal, melihat apakah bisa masuk dalam program pembangunan pemerintah. Intinya uangnya enggak ada (dipegang) pada anggota DPR," ujar Arsul di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa 9 Juni 2015.
Asrul pun menepis pandangan dana aspirasi sama dengan dana reses yang selama ini didapatkan para legislator. Sebab dana reses, hak sepenuhnya ada di anggota DPR. "Misalnya, saya bikin 15 kegiatan, itu yang berkuasa (mengatur keuangannya) saya. Kalau dana aspirasi ini kan uangnya tidak di anggota," jelas anggota Fraksi PPP ini.
Setali tiga uang, Ketua Badan Anggaran DPRÂ Ahmadi Noor Supit mengatakan, program ini untuk mengakomodir program-program yang diusulkan masyarakat di dapil masing-masing. Tujuannya adalah membangun fasilitas umum.
Dana aspirasi ini, menurut Supit adalah bagian amanat dari Undang-undang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau UU MD3. Seperti termaktub dalam UU tersebut, setiap anggota DPR disumpah untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat daerah.
Menurut Supit, pada Juni ini setiap anggota DPR sudah mulai menjaring aspirasi konstituennya. Kemudian semua usulan akan diverifikasi untuk ditentukan melalui pos mana usulan itu bisa dimasukkan, lalu disepakati. "Di periode lalu tidak ada seperti ini," pungkas dia.
Wakil Ketua DPRÂ Taufik Kurniawan pun heran, semua fraksi di DPR awalnya menyetujui Program Pengembangan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau yang lebih dikenal dana aspirasi ini. Karena ada beberapa fraksi yang menolak program tersebut.
Wakil Ketua Umum PAN ini mengatakan, program ini dapat membuat anggota Dewan makin dekat dengan konstituen.‎ Terkait besaran dana aspirasi yang mencapai Rp 20 miliar per anggota, hal tersebut memang dibuat sebagai batasan agar tiap anggota DPR mempunyai kesempatan mengusulkan program dengan alokasi yang sama.
Suara Dewan
Suara Dewan
Tak semua anggota Dewan setuju dengan rencana tersebut. Salah satunya dari anggota Fraksi PDIP Henry Yosodininingrat. Menurut dia, rencana tersebut sudah menyimpang. Dia khawatir dana aspirasi justru menjadi bumerang, yakni pelaksanaannya disalahgunakan oleh anggota DPR.
Anggota Komisi II DPR itu berujar, kewenangan ‎anggota Dewan bukan untuk mengurusi program. Dana aspirasi tersebut memang tidak bersentuhan langsung dengan setiap anggota DPR dan berbentuk program sesuai aspirasi dari konstituen di dapilnya masing-masing.
"Kita memang perlu warning terlebih dahulu karena kekhawatiran saya, akan ada tumpang tindih anggaran.‎ Kalau setiap anggota misalnya mendapat jatah Rp 20 miliar untuk usulkan program, itu sudah menyimpang," kata Henry di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat 12 Juni 2015.
Anggota Komisi I DPR dari PDIP, TB Hasanuddin juga menolak dana aspirasi bagi anggota Dewan, meskipun sudah diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang UU MD3.
Meski Pasal 80 huruf J UU MD3 dijadikan sebagai dasar usulan Program Pembangunan Daerah Pemilih atau yang disebut sebagai Dana Aspirasi, namun tetap saja dia menilai akan menjadi bias.
"Tetapi bagi saya, dana aspirasi ini akan menjadi bias bila disangkutkan dengan asas, fungsi dan peran DPR RI," ucap TB Hasanuddin dalam keterangan tertulis, Sabtu 13 Juni 2015.
Menurut Hasanuddin, aspirasi masyarakat seringkali tak hanya menyangkut bangunan fisik saja, tapi juga bisa ideologi, politik, ekonomi dan lain sebagainya.
Kedua, dana aspirasi itu tak boleh bertentangan dengan sistem pembangunan, yakni pemerintah sebagai perencana sekaligus eksekutor. Ketiga, akan ada diskriminasi pembangunan bila dana itu dikucurkan.
Daerah yang anggota DPR-nya sedikit, kata dia, pasti mendapat sedikit dana, sebaliknya berbeda dengan yang banyak anggota DPR nya. Dan kalau mau jujur, justru daerah yang belum disentuh pembangunan, biasanya anggota DPR-nya sedikit.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto juga meminta agar dana aspirasi ditinjau ulang. Sebab, dana tersebut dinilai imbas dari demokrasi liberal saat pemilihan legislatif pada 2014.
Hasto menjelaskan, dampak model politik proposional terbuka ini, membuat DPR tidak hanya memiliki fungsi legislasi, budgeting, dan pengawasan akan tetapi bertambah dengan fungsi representasi.
"Penganggaran dana aspirasi perlu dikaji lagi. PDI Perjuangan akan mengupayakan mengembalikan sistem pemilihan ke sistem proporsional tertutup," ujar Hasto di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Senin 15 juni 2015.
Ketua Panitia Kerja (Panja) dana aspirasi Totok Daryanto menolak nama usulan yang beredar tersebut. Istilah dana aspirasi dinilainya menyesatkan.
"Istilah dana aspirasi sesungguhnya menyesatkan. Yang benar adalah Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (U2PDP). Menurut UU MD3, anggota DPR berhak memperjuangkan program pembangunan di daerah pemilihannya (Dapil)," ujar Totok kepada Liputan6.com di Jakarta, Senin 15 Juni 2015.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR itu menjelaskan, usulan demi memperjuangkan program pembangunan di Dapil pasti akan diintegrasikan ke dalam rencana APBN.
Usulan ini, kata dia, mengikuti siklus pembahasan anggaran menjadi satu kesatuan dengan RAPBN yang diajukan pemerintah kepada DPR.
Maka itu dia menepis anggapan bahwa DPR salah memaknai UU MD3 Pasal 70 ayat 2 tentang fungsi anggaran DPR yang hanya dapat membahas dan memberikan persetujuan.
Secara fraksi, baru Partai Hanura dan Nasdem yang sudah bulat menolak dana aspirasi. Hampir semua fraksi bisa dikatakan menyetujui usulan dana aspirasi. PDIP yang berkomitmen mendukung pemerintahan, kini pun masih menunggu sikap pemerintah.
Sama halnya dialami Partai Demokrat, mereka meminta pemerintah agar lebih transparan dan memegang kendali soal dana aspirasi tersebut. Padahal, dana aspirasi tersebut murni usulan DPR yang tertuang dalam Pasal 80 huruf J Undang-undang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3).
"Sikap Partai Demokrat saat ini adalah meminta pemerintah memberikan penjelasan posisinya dalam masalah ini. Dihadapkan fakta objektif kelesuan ekonomi dan menurunnya daya beli rakyat yang membutuhkan prioritas kebijakan pemerintah," kata Ketua Fraksi Demokrat, Edhie Baskoro Yudhoyono, saat jumpa pers di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin 15 Juni 2015.
Menurut pria yang akrab disapa Ibas, pada 2010 partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini telah menyatakan penolakan. Penolakan ini tertuang tegas melalui akun Twitter SBY baru-baru ini.
Advertisement
Isu Seksi
Isu Seksi
Usulan dana aspirasi dari DPR mendapat sorotan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga anti rasuah ini meminta DPR menjelaskan secara terbuka mengenai penggunaan dana aspirasi yang mereka ajukan ke APBN 2016.
Pelaksana Tugas Pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji mengatakan, KPK tidak ingin dana Rp 20 miliar per anggota Dewan menjadi celah terjadinya tindak pidana korupsi. Ia berharap, rencana ini dipertimbangkan secara matang baik secara teknis maupun substansinya.
"Dalam hal dana aspirasi itu, jika tidak memberikan manfaat yang signifikan pada masyarakat luas yang terwakili di DPR, sebaiknya dana ini dipertimbangkan," ujar saat dikonfirmasi, Jumat 12 Juni 2015.
Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang juga menolak keras. Dia menilai landasan hukum untuk mengajukan dana aspirasi ini merupakan hasil 'selundupan' dari anggota dewan periode 2009-2014.
"DPR periode kemarin begitu halus memasukkan poin itu dalam UU MD3 sampai tidak disadari terkait dana aspirasi. Ini proses penyelundupan begitu halus, sampai publik tidak sadar," ‎kata Sebastian, dalam diskusi Perspektif Indonesia bertema "Dana Aspirasi Untuk Apa Lagi' di Jakarta, Sabtu 14 Juni 2015.
Sebastian mengatakan, hampir 2 periode DPR terdahulu berupaya untuk memasukkan pasal yang mengatur dana aspirasi, tapi gagal karena mendapat penolakan dari masyarakat.
"Tiap periode dibahas ini kan seksi. Kalau sampai publik tidak sadar artinya luar biasa canggihnya penyelundupan ini. Orang jadi kaget dan itu pegangan bagi DPR periode ini," tutur dia.
‎Sebastian berpendapat, dana aspirasi ini bisa mengacaukan tatanan politik yang ada. Sebab, anggota Dewan yang bertugas di bidang legislatif, dapat tumpang tindih menjalankan tugas eksekutif.
Apalagi, dana aspirasi untuk menjalankan program-program di dapil itu, tidak akan dipegang langsung oleh anggota DPR. Dana itu akan langsung diserahkan ke kepala daerah di dapil yang membutuhkan.
"Dana aspirasi bisa kacaukan banyak hal. Siapa yang tanggung jawab pada kualitas proyek itu, DPR atau pemerintah? Ini kompleksitas di mana DPR persulit sendiri.‎ Kalau ini dianggap benar APBN dibagi 2 saja, eksekutif dan DPR. Tapi, ini cara pikir keliru," tandas Sebastian.
Bagi ekonom Didik J Rachbini menilai, dana tersebut merupakan uang masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan tiap pengeluarannya. Sehingga tak boleh main-main dengan dana masyarakat ini, karena akan dipertanggungjawabkan secara baik-baik.
Politisi PAN ini menjelaskan, tujuan dari program dana aspirasi ini sebenarnya baik. Namun, hal ini menjadi polemik serta menimbulkan pro-kontra karena publik terlanjur tidak percaya dengan DPR.
Insentif Finansial
Insentif Finansial
Direktur Populi Center Nico Harjanto menilai, dana aspirasi ini dikhawatirkan tidak bertujuan untuk menindaklanjuti aspirasi masyarakat, melainkan dipakai sebagai insentif finansial bagi masyarakat di dapil masing-masing anggota Dewan.
Nico menjelaskan, untuk menindaklanjuti aspirasi masyarakat tidak memerlukan dana aspirasi. Masih ada cara konservatif dengan memperjuangkan anggaran di DPR. Anggota dewan bisa menyer‎ap aspirasi dengan mengambil intisari dari Badan Perwakilan Desa (BPD), DPRD kabupaten/kota, dan DPRD provinsi.
"Itu semua cukup direkap dan cukup diperjuangkan di pembahasan budgeting atau anggaran di DPR," ujar dia di Jakarta, Sabtu 14 Juni 2015. Dia menambahkan, bila diberlakukan‎ dana aspirasi, maka anggota Dewan telah melebihi kewenangan di bidang legislatif.
Direktur Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menilai, daripada berusaha memasukkan dana aspirasi dengan total Rp 11,2 triliun itu, lebih baik anggota DPR mendukung program dana desa sebesar Rp 1 miliar untuk segera direalisasikan pemerintah.
Menurut dia, dana aspirasi merupakan dana untuk kepentingan politik jangka panjang para legislator yang ditanam atau diberikan kepada warga. "Agar pada suatu nanti, warga yang menerima dana celengan ini 'mematuhi' apa kehendak politik DPR ini."
"Jadi, dana aspirasi ini hanya untuk menyandera warga saja agar mengikuti politik DPR," sambung dia melalui pesan singkatnya di Jakarta, Minggu 14 Juni 2015.
Terkait dana aspirasi yang tidak dikelola anggota DPR, menurut dia juga rawan ketimpangan. "Kalau dana aspirasi ada dalam pengelolaan Sekjen DPR, ini namanya ngakali uang pajak. Karena kalau uang ditaruh di kementerian teknis, itu tidak mungkin. Karena akan ada double anggaran atau program," jelas dia.
Sekretaris Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Romo Benny Susetyo menilai, dana aspirasi adalah usaha penyuapan DPR pada masyarakat.
"Saat ini orang mulai meragukan kemampuan, pengetahuan dan kesanggupan mendesain UU, dan menjalankan fungsi DPR lainnya, akhirnya anggota dewan ingin menyuap konstituennya dengan dana aspirasi," kata Benny di Jakarta, Selasa 16 Juni 2015.
Benny mengatakan, usulan dana aspirasi tersebut mempertegas lembaga DPR kehilangan kredibilitas, kharisma, dan integritasnya sebagai institusi perwakilan rakyat. Kebanyakan dari anggota Dewan adalah orang yang belum selesai dan puas dengan dirinya.
Advertisement
Pemerintah Menolak?
Pemerintah Menolak?
Wapres Jusuf Kalla mengatakan DPR seharusnya tidak perlu meminta tambahan dana aspirasi dalam APBN 2016. Apalagi, dana yang diminta cukup fantastis. Jika DPR tetap ngotot meminta tambahan dana aspirasi, dikhawatirkan malah akan ditiru aparatur pemerintah di daerah.
"Harusnya seperti itu (tidak perlu tambah dana aspirasi). Sekarang ada tidak APBN yang di luar aspirasi DPR, yang Rp 2 ribu triliun itu? Semua kan dibicarakan," ujar pria yang akrab disapa JK, di Jakarta, Rabu 10 Juni 2015.
Menurut JK, pemerintah bersama DPR setiap tahunnya menentukan besaran APBN berdasarkan kriteria yang telah ditentukan dan jelas. Sehingga tidak perlu ada anggaran tambahan dana aspirasi yang memang sudah diajukan sejak 2010 itu.
JK menilai dana aspirasi itu tak dibutuhkan. Alasannya, APBN sudah merupakan bentuk aspirasi DPR. "Semua anggaran itu kan DPR yang menentukan bersama pemerintah. Berarti 100% anggaran itu aspirasi DPR juga kan? Jadi kalau dianggap bukan aspirasi DPR, aspirasi dia, siapa yang anggarkan dana APBN itu?" kata JK di Kantor Wapres, Jakarta, Rabu 17 Juni 2015.
Menurut JK, bila di daerah pemilihan anggota Dewan ada kurang sesuatu, maka selayaknya diperjuangkan saat rapat komisi. Tidak perlu menggunakan dana aspirasi. Ia juga melihat tindakan DPR yang mendorong adanya dana aspirasi kurang baik.
"Kan DPR yang awasi pemerintah. Kalau DPR sendiri punya anggaran, siapa yang awasi DPR dong?" tanya dia.
Meski hanya Nasdem, Demokrat dan Hanura yang menolak dana aspirasi tersebut, JK yakin fraksi dari partai politik lain dapat menarik dukungannya. "Tentu sebelum dijalankan masih bisa dikoreksi kan?" tandas JK. (Rmn/Ans)