Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan DPR kini dirundung perselisihan. Anggota dewan menganggap lembaga antirasuah itu melanggar kewenangan otoritas, pada saat proses penyidikan dan penyelidikan tersangka korupsi.
DPR yang sejatinya perpanjangan tangan rakyat ini pun membuat Pansus Angket KPK, untuk mempertanyakan kewenangan lembaga antirasuah itu yang dianggap melebihi kewenangannya.
Baca Juga
Pansus Angket KPK ini muncul bersamaan saat lembaga antikorupsi itu menangani kasus korupsi e-KTP. Banyak anggota DPR disebut-sebut terlibat kasus mega korupsi itu.
Advertisement
Sebagian besar masyarakat bereaksi. Mereka menentang keberadaan Pansus Angket KPK, yang dianggap berpotensi melemahkan lembaga antikorupsi itu. Di lain pihak menilai DPR punya hak angket melakukan itu.
Kedua lembaga tinggi negara ini saling berkeras hati dengan dalih masing-masing. DPR mengaku memanggil KPK karena punya hak angket, yang mengacu pada UU MD3.
Sedangkan, KPK menilai keberadaan Pansus Angket tak berdasar dan justru hanya berniat melemahkan lembaga antikorupsi menangani kasus korupsi. Kini, Pansus mulai bekerja dengan mendatangi narapidana kasus korupsi di beberapa lembaga pemasyarakatan.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menilai, kunjungan Pansus Angket KPK ke Lapas Sukamiskin, Bandung, untuk menemui narapidana korupsi, tindakan yang tidak jelas.
"Nah, makanya kami tidak tahu ini untuk apa. Kan tidak jelas karena dari sisi objek, subjek, dan substansi itu banyak orang menganggap ini tidak tepat atau ilegal," ujar Agus di Gedung KPK Kuningan, Jakarta, Kamis 6 Juli 2017.
Agus merasa, tindakan yang diambil Pansus Angket KPK yang diketuai Agun Gunandjar sudah melebar. Sebab, mulanya Pansus hanya ingin lembaga antikorupsi itu membuka rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani.
Miryam merupakan tersangka KPK kasus pemberian keterangan palsu dalam perkara korupsi e-KTP, yang menyebutkan keterlibatan sejumlah anggota DPR dalam kasus korupsi tersebut.
"Saya juga belum tahu kok Pansus ini melebar ke mana-mana?" tanya dia.
Sementara, kedatangan Anggota Pansus Angket KPK ke lapas seperti Lapas Sukamiskin di Bandung, Jawa Barat, sebagai agenda rapat dengar pendapat.
Rapat dengar pendapat itu digelar karena Pansus menduga ada pelanggaran prosedur penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK.
Anggota Pansus Angket KPK Masinton Pasaribu menduga, jumlah berkas terkait dugaan pelanggaran prosedur yang dilakukan lembaga antikorupsi itu sudah banyak.
Karena itu, Pansus ingin mendengar dari narapidana korupsi dan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, I Wayan K Dusak.
"(Laporannya) Ada yang dikasih obat saya enggak sebut nama nanti teman-teman juga tahu, ada yang diarah-arahkan. Kami kan perlu yang namanya konfirmasi, kami harus kroscek maka kami kemari bener enggak informasi itu seperti itu," kata Masinton di Lapas Sukamiskin, Bandung, Kamis 6 Juli 2017.
Berbeda dengan pandangan Forum Guru Besar Antikorupsi, mereka menilai langkah Pansus Angket KPK mendatangi Lapas Sukamiskin untuk mencari data salah besar. Pengambilan contoh kasus atau pengumpulan pendapat tak perlu datangi narapidana.
"Menurut metodologi sampling itu tidak perlu. Itu salah banget," kata Juru Bicara Forum Guru Besar Antikorupsi Asep Saefuddin di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis 6 Juli 2017.
Asep menilai, permintaan pendapat kepada napi malah akan menjadi bias. Tidak ada satu pun orang yang ingin dianggap salah.
"Sebenarnya kalau mau minta masukan bisa mengundang para guru besar antikorupsi. Bagaimana pendapat kita, daripada meminta pendapat dari para narapidana. Kasihanlah terpidana doain aja jadi orang baik," jelas dia.
Menurut Asep kedatangan Pansus KPK ke Lapas Sukamiskin juga bisa menjadi preseden bagi sebuah lembaga. Ketika proses yang dilewati salah, seharusnya tidak dilanjutkan. 3013436
"Misalnya hak angket, secara hukum kan proses dan substansinya tidak benar," ujar dia.
Apa yang ditunjukkan DPR saat ini, kata Asep, bisa berdampak pada dunia pendidikan. Masyarakat melihat proses yang dinilai salah malah diteruskan dan dibiarkan begitu saja.
"Bagaimana pendidikan terhadap 250 juta orang di Indonesia? Menurut saya, cobalah berpikir dengan lebih jernih," kata dia.
Para guru besar juga sebelumnya bertemu dengan Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki. Mereka datang untuk meminta Hak Angket KPK dihentikan.
Pelanggaran Prosedur Hukum?
Pansus Angket KPK menduga ada kesalahan prosedur dalam proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan lembaga antikorupsi itu. Mereka mengaku mendapat laporan tentang hal tersebut.
Ketua Pansus Angket KPK Agun Gunandjar Sudarsa mengatakan, dialog dengan para napi kasus korupsi di Lapas Sukamiskin, Bandung, mengungkap proses hukum yang dilakukan lembaga antirasuah itu selama ini.
"Banyak sekali masing-masing (pengakuan napi) bervariasi. Ada yang menyatakan sewenang-wenang, ada yang mengatakan pemeriksaan penuh ancaman, penuh dengan intimidasi," kata Agun di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Kamis malam, 5 Juli 2017.
Para napi kasus korupsi yang ditemui Pansus Angket KPK antara lain mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, pengacara kondang OC Kaligis, mantan Wakil Menteri ESDM Rudi Rubiandini.
Kemudian, Tubagus Heri Wardana (adik Atut Chosiyah), mantan Bupati Kabupaten Buol Amran Batalipu, mantan anggota Komisi III DPR RI Putu Sudiartana, dan mantan Wali Kota Bandung Dada Rosada.
Anggota Pansus Angket KPK Masinton Pasaribu menyebutkan, ada penggunaan obat dalam pemeriksaan di KPK.
"Oh enggak tahu saya detail obatnya. Saya bukan ahli medis. (Efeknya bagaimana?) Saya bukan ahli medis. (Bagaimana laporannya?) Saya bukan ahli medis," kata Masinton di Lapas Tipikor Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Kamis, 6 Juli 2017.
KPK pun menampik tudingan tersebut. Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, menjamin penyidik bersikap profesional dan patuh pada undang-undang dalam menjalankan tugasnya. KPK pun siap untuk membuktikannya.
"Proses pemeriksaan di KPK kita pastikan sesuai dengan hukum acara yang berlaku dan profesional. Ada pihak-pihak yang mengatakan ketika diperiksa ditekan, tapi ketika diperlihatkan video ternyata para saksi diperiksa dalam keadaan rileks dan tanpa tekanan apa pun. Sudah cukup sering KPK dapat bantahan dan tudingan seperti itu dan kita sudah buktikan," tutur Febri di KPK, Jakarta, Jumat 7 Juli 2017.
Lagipula, kata Febri, narapidana yang melapor ke Pansus Angket KPK itu sudah diputus bersalah oleh hakim. Itu artinya, pokok hukum kasus yang bersangkutan sudah dibuktikan.
Terkait tudingan Pansus Angket KPK adanya kesalahan prosedur dalam proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan lembaganya, Febri menegaskan, semua sudah dibuktikan di persidangan.
"Bahwa sebelumnya ada yang mengatakan bukti tidak kuat kemudian ada saksi yang ditekan, atau informasi lain, tentu itu sudah dibuka di persidangan dan dinilai hakim. Yang menyatakan seseorang bersalah korupsi bukan KPK tetapi hakim melalui persidangan yang cukup panjang," kata dia.
Setiap tersangka pun, Febri menegaskan, telah diberi hak untuk membela diri di persidangan. Mereka memiliki kesempatan menjawab pertanyaan dalam pemeriksaan. Termasuk, punya hak untuk menggugat KPK melalui praperadilan.
"Semua kita hadapi. Napi-napi korupsi tersebut sudah dieksekusi dan jalankan hukumannya. Domainnya bukan di KPK lagi," Febri menegaskan.
Advertisement
Bisa Jadi Buku
Ketua Pansus Angket KPK Agun Gunandjar mengatakan, pihaknya memiliki banyak berkas bukti pelanggaran kewenangan oleh lembaga antikorupsi. Saking banyaknya, dapat dijadikan beberapa buku.
"Entah berapa buku, termasuk di dalamnya beberapa testimoni, pernyataan juga ditandatangani yang bersangkutan. Mereka juga menyatakan kesiapannya apabila suatu ketika dibutuhkan secara formal untuk diundang memberikan keterangan," kata Agun di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Kamis 6 Juli 2017.
Menurut Agun, seluruh berkas keterangan dari narapidana kasus tipikor itu belum mutlak kebenarannya karena belum diuji dalam forum resmi. Sementara, keterangan itu tidak bisa dibuka bagi publik dan hanya khusus untuk Pansus Angket KPK.
Agun juga menyebutkan terjadi sejumlah kesewenang-wenangan, ancaman, intimidasi, dan berbagai pelanggaran hak asasi dari pihak KPK. Bahkan, terjadi pelanggaran urusan pribadi seperti keluarga dan sebagainya.
"Itu semua mereka ungkapkan dan mereka semua bertanggung jawab, bahkan dia pun siap untuk dikonfrontir suatu saat jika Pansus mengundang mereka untuk dihadirkan sebagai saksi dalam proses hukum," ujar dia.
Namun, Agun menambahkan, Pansus Angket KPK tidak bisa menyebutkan seluruh nama narapidana kasus korupsi yang telah memberikan keterangan itu.
Tidak Berdasar
Mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto tak setuju dengan keberadaan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR terhadap lembaga antikorupsi itu.
"Kami tidak setuju, kami akan membela KPK, yakin masyarakat pasti perangi korupsi," ujar Bibit di Gedung KPK, Kuningan, Persada, Jakarta Selatan, Jumat 7 Juli 2017.
Bibit mempertanyakan landasan hukum pembentukan hak angket terhadap KPK. Menurut dia, hak angket menjadi tidak benar ketika landasan hukum salah.
"Kalau landasan hukumnya benar enggak masalah. Tapi kalau landasan hukumnya enggak benar seperti yang disuarakan ahli-ahli itu, kan DPR enggak benar. Boleh kan kita bersuara," dia mencontohkan.
Bibit menilai, apa yang dilakukan Pansus Angket KPK hanya pembelaan diri, lantaran banyak anggota DPR yang disebut menerima uang korupsi dalam dakwaan dan tuntutan perkara e-KTP.
"Pasti orang yang calon terdakwa atau tersangka pasti akan cari alasan untuk membela diri," kata dia.
Sebagai mantan pimpinan KPK, Bibit berniat meluangkan waktu untuk berbicara langsung dengan pimpinan lembaga antikorupsi itu.
"Saya nanti minta waktu tersendiri untuk menyampaikan pendapat kita, mengenai masyarakat menyikapi angket itu. Kan sudah banyak kajian mengenai angket itu," Bibit menandaskan.
Wakil Presiden Jusuf Kalla pun angkat bicara. Menurut dia, KPK tak perlu khawatir terhadap langkah Pansus Angket yang disebut-sebut melemahkan lembaga antikorupsi itu.
"Enggak apa-apa. Itu kan tidak ada yang salah. Silakan saja. Jangan kalau KPK seperti khawatir. Enggak apa-apa," kata pria yang akrab disapa JK itu di Istana Wapres, Jakarta, Kamis 7 Juli 2017.
JK mengatakan, langkah Pansus Angket KPK dengan mendatangi napi koruptor adalah bagian hak angket.
"Pertama, hak angket itu ya hak dari DPR untuk mengevaluasi sesuatu. KPK sudah melalui 15 tahun. Ya tak ada salahnya kalau DPR yang membuat undang-undang untuk KPK itu, untuk mengevaluasi apa yang dia buat," kata dia.
Lagi pula, menurut JK, masyarakat juga mempunyai tanggung jawab untuk mengawasi agar KPK benar-benar diperkuat.
"Masyarakat toh akan mempunyai tanggung jawab prinsip agar KPK diperkuat. Tapi ada hal-hal tertentu dievaluasi," JK menandaskan.
Advertisement