Liputan6.com, Jakarta - Kabar itu memang mengejutkan. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan akan menghidupkan kembali angkutan becak di Ibu Kota. Tak terbayangkan becak yang sudah lama menghilang kini akan kembali mengaspal dan saling berpacu dengan ojek online di jalanan Jakarta.
Apalagi, selama ini becak dianggap sebagai biang kemacetan, simbol ketertinggalan kota, dan alat angkut yang tak manusiawi lantaran masih menggunakan tenaga manusia.
Baca Juga
Namun, Pemprov DKI Jakarta punya alasan lain. Menurut Anies, kebijakannya itu untuk memberikan keadilan untuk semua warga Ibu Kota. Tak hanya bagi pengemudi becak, tapi juga untuk warga yang membutuhkan sarana transportasi ini.
Advertisement
"Keadilan di Jakarta ini untuk semua. Jakarta itu bukan untuk sekelompok orang. Jakarta ini untuk semuanya, jadi kita ingin di kota ini warga yang membutuhkan becak bisa pakai becak," kata Anies di Balai Kota Jakarta, Senin 15 Januari 2018.
Anies menyatakan, nantinya becak akan beroperasi di jalan-jalan kampung saja, tidak di seluruh jalan Jakarta alias jalan protokol. Apalagi menurut dia, saat ini becak sebenarnya masih eksis, seperti di Jakarta Utara.
"Kenyataannya becak itu ada, tapi mereka hanya beroperasi di dalam kampung, tidak keluar ke jalan. Nah kita akan mengatur supaya becak berada tetap di dalam kampung, tidak berada di jalan," kata Anies
Dia pun lantas berencana membuat Pergub untuk memfasilitasi becak dan sekaligus membuat paguyuban becak. "Kita membayangkan nanti diatur ada paguyuban (becak)," ucap Anies.
Menurut dia lagi, tidak ada pelanggaran dengan Perda 8 Tahun 2007 tentang ketertiban umum. Sebab, dalam Perda itu yang dilarang hanya operasi becak di jalan besar.
"Mereka tidak beroperasi di jalan raya. Mereka beroperasi di jalan kampung," ujar Anies.
Dia juga menegaskan, yang meminta akses becak kembali dihidupkan bukan tukang becak atau warga miskin, melainkan inisiatif dirinya. Oleh karena itu, dia siap dikritik.
"Kalau untuk membela yang miskin itu harus siap dikritik, bismillah saya ingin bertanggung jawab itu pada kebenaran pada Tuhan, tapi bukan (tanggung jawab) pada medsos hari ini," ujar dia.
"Jadi saya sering melihat, pagi ini saja, banyak yang mengkritik kebijakan ini adalah mengkritik imajinasinya sendiri. Dia membayangkan, mereka membayangkan jalan-jalan protokol akan penuh becak. Lalu dikritik. Yang dikiritik apa, bayangannya sendiri," Anies memungkasi.
Sementara Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno mengatakan, jika nantinya becak kembali beroperasi, saran transportasi tersebut dapat menunjang pariwisata Jakarta.
"(Becak) untuk pariwisata kita sambungkan dengan beberapa destinasi wisata kita. Itu yang jadi pemikiran," kata Sandi di Balai Kota Jakarta, Senin 15 Januari 2018.
Becak-becak itu, lanjut dia, dapat menjadi moda transportasi wisata lantaran memiliki kelebihan. Yaitu tidak menghasilkan limbah alias ramah lingkungan.
"Kita pastikan bahwa sebagai bagian dari angkutan ramah lingkungan," kata dia.
Menurut Sandi, saat ini kendaraan menyerupai becak masih beroperasi di kawasan Jakarta Utara. Adanya becak itu juga dinilai dapat membuka lapangan pekerjaan warga.
"Kemarin di Lagoa, di Jakarta Utara itu masih banyak dari pasar ke pasar itu angkutannya itu gerobak dalam bentuk becak. Nanti itu. Kita kearifan lokal saja kita lihat bagaimana penyelesaiannya," ucap Sandi.
Langkah Mundur untuk Jakarta
Tidak semua pihak menerima dan mendukung rencana Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno menghidupkan kembali transportasi becak di Ibu Kota. Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi, misalnya, menyesalkan rencana Pemprov DKI itu.
"Negara tetangga sudah pada maju yang tadinya kumuh. Kenapa kita mundur lagi," kata Prasetyo di Gedung DPRD DKI, Senin 15 Januari 2018.
Ia meminta Anies agar tidak membuat kebijakan yang membuat Jakarta semrawut. Sebab, Jakarta adalah ibu kota negara.
"Gubernur dan wagub saya minta sebagai Ketua DPRD, kebijakan yang sudah baik janganlah dibuat jadi kusut kembali. Jakarta ini ibu kota negara, ditata secara yang baik, ada Istana Negara, jangan sampai kumuh," ujar Prasetio.
Dia menyebut, adanya Perda Pelarangan Becak bukanlah masalah adil atau tidak adil, melainkan bagaimana pemerintah mendorong warga naik angkutan umum.
"Kita dulu menghilangkan becak itu bukan masalah kita tidak adil, tapi masyarakat ditekan (naik) transportasi massal yang nanti baik. Negara sudah maju kok sebenarnya, masak kita mundur lagi," kata Prasetio.
Sementara itu, Ketua Fraksi PDI-P DPRD DKI, Gembong Warsono mengatakan, rencana Anies-Sandi menghidupkan kembali becak adalah kebijakan ngelindur alias kebijakan ngawur karena bangun tidur.
"Zaman modern gini kok kembali ke zaman Jepang. Cara keadilan untuk warga bukan gitu, cara memperkerjakan rakyat kecil dengan cara seperi itu tidak manusiawi. Jangan seenaknya jadi gubernur buat kebijakan kontraproduktif, kebijakan ngelindur itu," kata Gembong.
"Itu zaman old, kalau zaman now bos nggak realistis, Jakarta enggak memungkinkan transportasi dengan tenaga manusia," tandas Gembong.
Pengemudi becak bukannya tak pernah berupaya menghidupkan lagi moda transportasi ini di Ibu Kota. Pada 28 Januari 2016 lalu, puluhan tukang becak mendemo Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Mereka meminta Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum dicabut, sehingga mereka bisa mencari nafkah.
Namun Ahok bersikukuh bahwa menghidupkan becak kembali berarti melanggar hukum, karena Perda Nomor 8 Tahun 2007 sudah melarangnya.
Dalam Pasal 29 ayat 1 (a) Perda Nomor 8 Tahun 2007 dijelaskan dengan gamblang bahwa setiap orang atau badan dilarang melakukan usaha, pembuatan, perakitan, penjualan dan memasukkan becak atau barang yang difungsikan sebagai becak dan atau sejenisnya. Selanjutnya di ayat 1 (b) diatur larangan untuk mengoperasikan dan menyimpan becak dan atau sejenisnya.
Jadi, pelarangan itu memiliki dasar hukum yang jelas.
Â
Advertisement
Dari Bang Ali ke Ahok
Becak di Jakarta sudah ada sejak 1950. Pada tahun tersebut, ada sekitar 25 ribu hingga 30 ribu becak yang sudah mengaspal di Jakarta. Puncaknya pada 1966, jumlah becak menjadi naik drastis hingga 160 ribu.
Kondisi itu membuat Gubernur Ali Sadikin menjadi gerah. Pria yang menjadi Gubernur DKI sejak 1966 hingga 1977 itu lantas mengeluarkan aturan mengenai larangan total angkutan yang memakai tenaga manusia, membatasi beroperasinya becak, dan mengadakan razia mendadak di daerah bebas becak.
Kebijakan serupa dilanjutkan gubernur-gubernur berikutnya. Becak dianggap sebagai biang kemacetan, simbol ketertinggalan kota, dan alat angkut yang tak manusiawi.
Di sisi lain, becak juga mulai menghadapi pesaing dengan kehadiran ojek motor, mikrolet, dan metromini. Pada 1980, becak-becak itu pun menjadi buruan petugas untuk kemudian dibuang ke Teluk Jakarta guna dijadikan tempat berkembang biak ikan.
Pada 1 Februari 1983, Gubernur DKI R Soeprapto mengeluarkan Surat Keputusan No 127/1983? yang antara lain mengatur pendaftaran becak di seluruh wilayah DKI Jakarta melalui kelurahan serta registrasi ulang becak resmi oleh dinas pajak. Hasil pendaftaran mencatat 39.552 becak, terdiri dari 7.828 becak resmi dan 31.724 becak liar atau tidak terdaftar.
Pada 1984, Soeprapto menetapkan Jakarta bebas becak mulai tanggal 1 Januari 1985. Pada 1985, untuk pertama kali 5.000 becak hasil sitaan dibuang ke Teluk Jakarta untuk dijadikan rumpon atau rumah ikan.
Kemudian pada 1988, Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto dalam instruksi No 201/1988 memerintahkan para pejabat di lima wilayah kota untuk melakukan penyuluhan terhadap para pengusaha dan pengemudi becak, dalam rangka penertiban becak di jalan sampai penghapusan seluruh becak dari Jakarta. Saat itu becak tercatat berjumlah 22.856 unit.
Kebijakan tersebut terus berlanjut hingga pada era Gubernur DKI Basuki Thahaja Purnama atau Ahok. Bahkan kala itu, para pengayuh becak sempat berdemonstrasi di Balai Kota meminta Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum dicabut, sehingga mereka bisa mencari nafkah.
Ahok mengatakan, pelarangan ini sudah ada sejak Jakarta dipimpin Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto melalui Perda No 11 Tahun 1988. Wiyogo memimpin Ibu Kota sejak 1987 hingga 1992.
"Ya, dia harus cari kerjaan yang lain. Itu juga orang-orang daerah, becak-becak dari daerah yang ngongkosin dari daerah. Jadi ya enggak bisa-lah kita sudah ada perda dari zaman Pak Wiyogo. Masak mau dibalikin lagi," tegas Ahok.
Yang Masih Tersisa
Becak memang sudah dilarang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta beroperasi. Namun, di wilayah Jakarta Barat yang berbatasan dengan Jakarta Utara, tepatnya di kawasan Teluk Gong, becak masih jadi primadona ibu rumah tangga.
Amin (49) seorang pengemudi becak, masih menggantungkan hidupnya pada kayuhan pedal becak. Pukul 07.00 WIB, ia sudah berdiri di pertigaan pasar pagi kawasan Pejagalan. Menunggu ibu rumah tangga atau para asisten rumah tangga selesai berbelanja.
"Udah ada langganan tetap kalau pagi," kata Amin pada Liputan6.com di Teluk Gong, awal Januari 2017 lalu.
Meski pelanggannya tak banyak serupa 20 tahun lalu, Amin tetap melakoni pekerjaan sebagai pengayuh becak. Apa hendak dikata, keahlian ia tak punya, usia pun sudah senja. Namun, dengan mengayuh becak, satu anaknya sudah sarjana.
"Yang sulung sarjana dari uang narik becak. Sekarang dia yang biayain adik-adiknya," kata Amin yang tinggal di rumah kontrakan bersama istrinya di kawasan Tambora.
Ia berkilah tak mau jadi beban bagi empat anaknya di kampung.
Amin tak sendiri. Ada Yatno (40), mantan buruh pabrik yang mencoba menarik becak sejak empat tahun lalu. Usai di PHK, ia tak bisa ajukan lamaran kerja. "Sudah lewat batas usia," keluh Yatno.
Dia sendirian di Jakarta. Istri dan anak-anaknya berada di kampung. Ia malu untuk pulang karena orang-orang kampung belum banyak yang tahu bahwa Yatno tak lagi kerja di pabrik makanan ringan.
Ada puluhan tukang becak yang beroperasi di kawasan Teluk Gong, Tambora, dan Pejagalan. Mereka menawarkan tarif yang murah untuk peluhnya. Jauh dekat, jika masih di kawasan Teluk Gong, mereka meminta Rp 10.000 sampai Rp 15.000 sekali jalan.
Jika jauh, harga bisa dinego. Tak ada tarif resmi. Para penarik becak ini hanya ramai kala pagi jelang siang. Lalu, mereka akan tidur dalam becak atau di emperan toko, menunggu senja datang.
"Kalau sore, biasanya ramai lagi," kata Yatno.
Dan tak lama lagi, keramaian itu akan terasa lagi. Bakal lebih banyak becak terlihat di jalanan Ibu Kota bersama dengan moda transportasi lainnya. Anda memilih naik angkutan umum apa?
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Â
Â
Â
Â
Advertisement