Liputan6.com, Jakarta Di tengah menghangatnya isu reshuffle kabinet seiring pergantian Panglima TNI, Presiden Jokowi diminta untuk turut mengganti Moeldoko sebagai Kepala Staf Presiden. Moeldoko dinilai terlalu sering melakukan blunder yang merugikan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf, di tengah upaya menyiapkan warisan (legacy) kepemimpinan menjelang pergantian kepemimpinan tahun 2024 mendatang.
Pengamat politik dari Unpad Firman Manan mengingatkan bahwa keputusan Mahkamah Agung (MA) untuk menolak permohonan judicial review terhadap AD-ART Partai Demokrat, merupakan blunder Moeldoko yang kesekian kalinya.
"Penolakan MA ini merupakan tamparan tersendiri. Konstruksinya saja sudah tidak lazim. KSP Moeldoko memotori gugatan terhadap Menkumham yang nota bene adalah sesama anggota kabinet. Objek gugatannya juga problematik. Tidak terbayang kekacauan hukum yang terjadi jika AD/ART organisasi boleh digugat sembarang orang. Andai dikabulkan, ini tentu mengancam kebebasan berserikat yang dijamin konstitusi," kata Firman.
Advertisement
Di tengah menumpuknya kasus-kasus peradilan yang belum selesai dan rasa keadilan masyarakat yang terluka, permohonan judicial review atas AD/ART Partai Demokrat ini menurut dia sesungguhnya pemborosan sumber daya hukum.
"Moeldoko makin kelihatan tidak kompeten sebagai Kepala Staf Presiden," ujar Firman.
Soal ini juga menjadi atensi Ubedilah Badrun, pengamat politik dari UNJ. Dia menilai hal ini harus menjadi perhatian Presiden Jokowi, karena ada pepatah, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama.
"Presiden biasanya ingin dikenang baik setelah usai menjabat. Di tengah terus menurunnya citra Jokowi, sayangnya langkah-langkah yang diambil KSP Moeldoko lebih banyak merugikan ketimbang menguntungkan Presiden Jokowi dalam menyiapkan legacy pemerintahannya," tegas Ubedilah.
Dia mengingatkan bahwa bukan hanya dalam kasus Demokrat KSP Moeldoko melakukan manuver yang merugikan reputasi pemerintah.
"Dalam kasus Jiwasraya, terdakwa Hary Prasetyo pernah direkrut Moeldoko sebagai tenaga ahli. Pada saat itu, manipulasi keuangan para nasabah sudah dan sedang terjadi. Mustahil sebagai Kepala Staf Presiden dan mantan Panglima TNI, Moeldoko tidak melakukan background check. Kalau Moeldoko berdalih tidak tahu, berarti kemampuan intelijennya lemah. Apa pun alasannya, ini menunjukkan Moeldoko tidak kompeten sebagai pembantu Presiden," ujar Ubedilah.
Lebih Menjadi Beban
Ubedilah, yang juga analis sosiologi-politik, sepakat dengan banyak politisi dan pengamat yang menyarankan agar Presiden Jokowi me-reshuffle Moeldoko jika tidak ingin citranya makin memburuk.
"Saya banyak tidak setuju dengan sejumlah kebijakan Jokowi, tapi saya tahu ia pasti ingin meninggalkan legacy yang baik sebagai Presiden dengan caranya sendiri. Dalam konteks ini, manuver-manuver Moeldoko saya cermati lebih menjadi beban ketimbang aset bagi Jokowi dan pemerintahannya," tutup Ubedilah.
Advertisement