Kelompok Transisi Energi Berkeadilan Minta Prabowo Tinjau Ulang soal Program Bahan Bakar

Program B50 harus dievaluasi kembali. Alasannya, studi menunjukan daya dukung dan daya tampung lingkungan sudah berada di ambang batas kritis.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 13 Sep 2024, 18:38 WIB
Diterbitkan 13 Sep 2024, 15:48 WIB
Pemerintah Bakal Cabut Izin Usaha Bila Tak Campur 15% BBN
Biodiesel (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan menyoroti perlu adanya evaluasi dari program yang sudah berjalan di era Presiden Joko Widodo saat berlanjut ke Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih.

Menurut Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad selaku perwakilan dari koalisi mengatakan Presiden terpilih perlu meninjau ulang program bahan bakar nabati, yakni pencampuran biodiesel 50% (B50) dan bioetanol 10% (E10), serta program co-firing biomassa di PLTU.

“Kedua program ini harus mempertimbangkan aspek keadilan sosial, daya dukung lingkungan, serta daya saing industri dalam negeri,” ujar Nadia dalam keterangan diterima, Jumat (13/9/2024). Nadia menjelaskan, program B50 harus dievaluasi kembali. Alasannya, studi dari kelompoknya menunjukan daya dukung dan daya tampung lingkungan sudah berada di ambang batas kritis.

“Artinya, pembukaan lahan baru untuk perkebunan sawit yang menjadi bahan baku biodiesel, harus dihentikan,” jelas dia. Sementara itu, Anggi Prayoga, Juru Kampanye Forest Watch, menambahkan, praktik co-firing justru akan memperpanjang usia PLTU dan mendorong perluasan pembukaan hutan untuk memenuhi target produksi biomassa kayu melalui Hutan Tanaman Energi (HTE).

“Akibatnya, Indonesia justru akan menanggung utang emisi. Menurutnya, transisi energi seharusnya dilakukan tanpa merusak hutan,” ujar Anggi. Anggi melanjutkan, kebijakan lain yang perlu dievaluasi yakni terkait nilai ekonomi karbon (NEK). Dia mendorong, presiden baru perlu memastikan kebijakan NEK agar memiliki kerangka pengaman yang kuat dan mampu mendukung pencapaian target netral karbon, serta mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam penerapannya.

“Hal ini perlu dilakukan agar dekarbonisasi sektor industri dapat segera tercapai dan alokasi dana karbon dapat terdistribusi pada sektor-sektor hijau untuk mewujudkan ekonomi hijau,” saran Anggi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Harus Perhatikan Amdal

Kemudian, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law, Raynaldo Sembiring mengaku sudah melakukan pemetaan untuk memperkuat aturan dan pengawasan implementasi jaring pengaman instrumen NEK, harus turut memperhatikan Amdal dan instrumen perizinan.

“Sehingga mampu menghindari risiko sosial maupun lingkungan dari implementasi NEK oleh korporasi serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan NEK,” ujar Raynaldo.


Partisipasi Masyarakat

Selanjutnya, Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira, menegaskan, implementasi transisi energi berkeadilan dapat dicapai melalui partisipasi masyarakat.

“Perlu ada pelibatan aktif masyarakat secara bermakna dalam penyusunan kebijakan energi sehingga tercipta kebijakan yang responsif dengan kebutuhan lokal dan efektivitas implementasi,” saran Bima.

“Transisi energi diharapkan tidak hanya mendukung target ekonomi, tetapi juga menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia," dia menandasi.

Infografis Selamat Datang Era Mobil Listrik di Indonesia
Infografis Selamat Datang Era Mobil Listrik di Indonesia. (Liputan6.com/Fery Pradolo)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya