Liputan6.com, Depok - Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie mengatakan pemerintah perlu melebarkan kewenangan instansi yang dipimpinnya terkait dengan pelanggaran etik dalam proses pemilihan kepala daerah (pilkada).
Menurut Jimly, selama ini pihak penyelenggara atau Komisi Pemilihan Umum (KPU) selalu menjadi sasaran kekecewaan pasangan calon (paslon) yang kalah. KPU dinilai tidak netral dan tendensius.
"Perlu ada peradilan terpadu. Sekarang kami hanya (menindak) etika penyelenggara, problem kedua bagaimana etika peserta," ujar Jimly dalam acara kunjungan ke beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Kelurahan Beji Timur, Kecamatan Beji, Kota Depok, Jawa Barat, Rabu (9/12/2015).
Baca Juga
Padahal, ia menilai tidak sedikit paslon yang melakukan pelanggaran kode etik saat kampanye. Oleh sebab itu, ia berencana membahas pelebaran kewenangan DKPP agar dapat menindak paslon yang melanggar ketentuan KPU, misalnya dengan sanksi diskualifikasi.
"Nah, itu belum ada yang mengadili. Jadi kalau paslon melanggar kode etik, belum ada yang mengadili. Ke depan bukan cuma penyelenggara yang melanggar kode etik. Peserta juga tidak boleh. Dengan ancaman dia bisa didiskualifikasi," kata dia.
Jika sistem tersebut terealisasi, maka ia menyarankan kata penyelenggara dalam kepanjangan DKPP diubah menjadi penyelenggaraan.
"Jadi ke depan kami perluas sistem penyelenggaraan etika pemilu. Jadi bukan lagi etika penyelenggara. Tapi penyelenggaraan," ujar Jimly.**