Bentrokan Tak Biasa Paksa Warga Timika Ngungsi ke Jayapura

Akibat bentrokan, tiga warga Timika meninggal, seorang ibu yang sedang menggendong anak dipanah hingga barang dijarah.

oleh Katharina Janur diperbarui 28 Jul 2016, 20:00 WIB
Diterbitkan 28 Jul 2016, 20:00 WIB
Bentrokan Tak Biasa Paksa Warga Timika Ngungsi ke Jayapura
Para pengungsi memilih tinggal berdekatan dengan ibu kota Provinsi Papua, agar merasa lebih aman. (Liputan6.com/Katharina Janur)

Liputan6.com, Jayapura – Mama Mira Kogoya (27) sedang terlelap dalam tidurnya pada Minggu malam, 25 Juli 2016 lalu. Tiba-tiba, ratusan orang menyerang pemukimannya di Kampung Jile-Jale, Satuan Pemukiman (SP) III, Kota Timika.     

"Dorang (mereka) melakukan penyerangan sembarangan. Mama-mama banyak yang kena panah, ternak kami diambil dan dibunuh, bahkan rumah kami dibakar. Banyak warga yang lari ke hutan malam itu," kata dia kepada Liputan6.com, saat ditemui di tenda pengungsiannya yang terletak di Lapangan Asrama Toli, Polomo Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, pada Kamis (28/7/2016).

Pada pagi harinya, warga di kampung itu dikumpulkan dalam satu rumah warga untuk saling menjaga satu dan lainnya. Rata-rata yang berada di dalam satu rumah adalah perempuan dan anak-anak.

"Kami trauma, sebab biasanya bentrok warga tak seperti ini. Mereka menyerang siapa saja. Seharusnya yang diserang hanya kaum laki-laki, bukan anak dan perempuan dan mereka tak boleh memasuki kampung ini," ujar Mira.

Akibatnya, ratusan warga di Kampung SP III mengungsi ke Sentani di Kabupaten Jayapura. Warga pun membeli tiket Timika-Jayapura dengan dana pribadi masing-masing dengan harga tiket per kepala sekitar Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta.

"Kami terpaksa melakukan pengungsian ke Jayapura, sebab belum ada jaminan keamanan di sana," ucap Mira.

Koordinator pengungsi Timika, Joni Wonda mengatakan saat ini jumlah pengungsi mencapai 549 orang. Para pengungsi memilih tinggal berdekatan dengan ibu kota Provinsi Papua, agar merasa lebih aman dan ingin meminta perhatian pemerintah karena rumah dibakar dan harta benda warga dijarah.


Pengungsi akibat bentrok Timika kebanyakan perempuan dan anak-anak. (Liputan6.com/Katharina Janur)

"Mereka tak akan kembali ke kampungnya, karena tak ada lagi tempat tinggal. Jika memang pemerintah ingin membangun rumah mereka kembali, harus ada jaminan dari pemerintah daerah agar tak ada lagi perang berkelanjutan," ungkap Joni.

Joni mengaku perang kali ini lebih brutal dari sebelumnya, sebab seharusnya perang atau bentrok warga tak menyerang kaum perempuan dan anak-anak. Biasanya, lokasi perang pun ditentukan antara kedua belah pihak.

"Baru kali ini, mama-mama sedang menggendong anaknya kena panah di bagian pinggangnya. Anak gadis kami juga banyak diperkosa. Ini sudah keterlaluan. Rumah kami dibakar, ternak dibunuh dengan sembarangan dan motor ataupun harta lainnya dibawa kabur. Di dalam perang antarwarga, biasanya juga ada sebuah komando dan ada batasan-batasannya," jelas Joni.

Untuk kebutuhan hidup sehari-hari, pengungsi mendapatkan makanan dan minuman dari warga setempat, entah itu hanya berupa umbi-umbian atau mi instan. "Sampai saat ini, belum ada bantuan dari pemerintah. Kami masih mendapatkan sumbangan makanan dari warga di sekitar pengungsian," ucap dia.

Tiga Kesepakatan

Bentrokan Tak Biasa Paksa Warga Timika Ngungsi ke Jayapura
Sekitar 300 warga Timika mengungsi ke Jayapura gara-gara perang suku. (Liputan6.com/Katharina Janur)

Kapolsek Sentani Kota, Kompol Agung Icthiarso membenarkan adanya pengungsi dari Timika. Tapi, data yang dimilikinya hanya berkisar 300-an orang. Pihaknya akan berkoordinasi dengan Pemkab Jayapura dan Dinas Sosial setempat untuk meminta bantuan berupa tenda dan kebutuhan pengungsi.

Sementara itu, di Timika masih terus dilakukan upaya damai kedua belah pihak. Muspida setempat menggelar pertemuan di salah satu hotel di sana dengan kedua kubu yang bertikai.

Dalam pertemuan tersebut didapat tiga kesepakatan sementara, yakni tiga jenazah dari Kampung Tunas Matoa Ili Ale yang meninggal saat penyerangan 25 Juli 2016 akan dibakar pada 28 Juli 2016 sambil menunggu kedatangan Atimus Komangal.

Keputusan kedua adalah Kapolda memberikan batas waktu kasus pertikaian ini hingga 28 Juli 2016. Jika tidak ada, aparat kepolisian akan bertindak sesuai hukum.

Untuk keputusan ketiga, Bupati Puncak siap menanggung kepala tiga korban dari Suku Dani dan memberikan bantuan sebesar Rp 150 juta kepada kelompok Atimus Komangal, Hosea Ongomang dan Eska Kogoya. Pertemuan masih dilakukan untuk mencari titik temu dan kesepakatan bersama sehingga pertikaian dapat diselesaikan dengan cepat.

"Konflik yang terjadi di Kwamki Narama perlu mendapatkan perhatian serius karena sudah menjurus kepada konflik yang lebih besar. Kejadian ini dapat segera dicarikan jalan keluar yang terbaik sehingga kedepan tidak akan terulang kejadian yang sama," kata Dandim 1710/Mimika, Letkol Inf Windarto.

Dalam pertemuan tersebut, Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw meminta warga menghentikan perang usai tiga jenazah dibakar sore tadi. Jika perang berlanjut, panglima perang akan ditangkap dan dilakukan hukum positif.

"Pertemuan sore ini sudah jelas dan saya perintahkan tak ada lagi perang berkelanjutan," ujar Paulus.  

Pada Minggu, 25 Juli lalu, Kampung Jile-Jale atau keluarga Kogoya diserang oleh kelompok kubu atas pimpinan Hosea Ongomang. Tiga orang ditemukan tewas atas penyerangan itu dan 28 rumah dibakar.

Akibatnya, masyarakat Jile-Jale meminta pertanggungjawaban. Belum didapat kepastian pemicu bentrok warga ini, tetapi sejumlah pihak menyebutkan bahwa perang kali ini dipicu dendam perang 2012 lalu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya