Liputan6.com, Cirebon - Menjelang bulan Ramadan menjadi puncak akhir tahun ajaran bagi para santri di Madrasah Al-Hikaamus Salaafiyyah (MHS) Pesantren Babakan, Ciwaringin, Kabupaten Cirebon.
Pada puncak akhir tahun ajaran 1437 Hijriyah yang dikenal dengan Haflah Imtihan dan Akhiirus Sanah, santri menggelar berbagai acara hiburan rakyat. Yang paling unik di malam puncak MHS adalah tradisi bermain bola api dan mandi petasan.
Pengasuh Madrasah Al-Hikaamus Salaafiyyah KH. Arwani Syaerozi mengatakan, tradisi bola api merupakan pertandingan sepak bola sebagaimana biasanya. Hanya saja, bola sepak terbuat dari kulit luar buah kelapa yang telah dikupas setelah sebelumnya direndam minyak tanah selama beberapa bulan.
"Buah kelapa itu yang nantinya dinyalakan, sehingga para santri akan menendang dan menggiring bola api yang menyala-nyala," kata Arwani, Selasa, 9 Mei 2017.
Bagaimana para santri tidak merasa kepanasan saat bermain bola api? Arwani mengatakan, para santri tingkat Aliyah itu sebelumnya telah dibekali doa-doa, tirakat dan berpuasa. Doa dan tirakat yang dilakukan para santri tersebut juga sudah mendapat ijazah dari Al-Maghfurlah KH. Makhtum Hannan.
Baca Juga
Advertisement
"Semua peraturan mainnya sama sebagaimana pertandingan sepak bola pada umumnya. Ditonton oleh hampir seluruh santri putra dan putri berikut masyarakat," katanya.
Sebelum pertandingan bola api dimulai, para santri akan memeragakan adegan mandi petasan tanpa diberi alat bantu apapun. Santri yang dililit petasan sekujur tubuh itu diposisikan di tengah-tengah penonton.
Petasan panjang berukuran besar melilit di sekujur badan para santri. Saat dinyatakan siap di bawah tatapan khawatir para penonton, semua petasan meledak mengeluarkan suara keras. Namun, santri yang mandi petasan tak terlihat takut dan kondisi santri masih hidup dalam keadaan baik.
"Santrinya tidak terluka atau apapun ya baik-baik saja santri kami," kata dia.
Ia mengatakan, tradisi bola api dan mandi petasan ini bagian dari ekspresi dan tradisi Islam Nusantara. Hal itu bagian masih menjaga tradisi dan kearifan lokal.
"Ini merupakan ikhtiar penjagaan dakwah Islam sebagaimana dahulu dilakukan oleh para wali songo. Hanya dengan ekspresi semacam ini, Indonesia akan tetap terjaga dari bahaya kelompok agama radikal dan jurang perpecahan," kata dia.