Pengelola Wyata Guna Bantah Lakukan Pengusiran Difabel Netra dari Asrama

Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPDSN) membantah adanya pengusiran 41 difabel netra dari asrama.

oleh Arie Nugraha diperbarui 15 Jan 2020, 17:00 WIB
Diterbitkan 15 Jan 2020, 17:00 WIB
Asrama Wyata Guna Bandung
Pemaksaan untuk mengosongkan asrama oleh pengelola Wyata Guna Bandung, membuat 41 difabel netra penghuni asmara tersebut terpaksa tinggal di trotoar Jalan Pajajaran. (Liputan6.com/ Abramea)

Liputan6.com, Bandung - Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPDSN) membantah adanya pengusiran 41 difabel netra, yang kini tinggal di trotoar Jalan Pajajaran Bandung.

Pengosongan itu dilakukan lantaran berubahnya status Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Wyata Guna menjadi Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPDSN).

Sudarsono, Kepala BRSPDSN Wyata Guna Bandung mengatakan, setelah berubahnya status dari panti menjadi balai, terdapat beberapa fasilitas pemerintah yang jangka waktunya harus berakhir (terminasi) kepada difabel netra. Sehingga harus ada penerima manfaat baru dan penerima rehabilitasi sosial.

"Kami sudah terminasi di 27 Juni 2019, kami akhiri semua yang 130 (penerima manfaat panti sebelumnya). Dari 130 yang 65 resos (rehabilitasi sosial) tidak ada masalah. Mereka pulang kembali ke keluarganya, kami berikan bantuan sesuai dengan apa yang mereka dapatkan pelatihan di sini. Sisa yang 65, yang ini tidak mau keluar. Yang sesungguhnya ini harusnya keluar karena kami harus merekrut yang baru, untuk mengisi sisa 45 itu," kata Sudarsono di Wyata Guna, Rabu (15/1/2020). 

Sudarsono mengatakan, sebelumnya Wyata Guna telah melakukan pendataan bagi penerima manfaat. Hasilnya pada 2019 terdata 175 orang di Wyata Guna, di antaranya 65 orang yang sedang menjalani pendidikan SD, SMP, SMA, dan kuliah.

Pada semester pertama 2019, penerima manfaat dari Wyata Guna ditargetkan 130 orang. Terdiri dari 65 penerima manfaat rehabilitasi sosial dan 65 penerima manfaat pendidikan selama enam bulan yang awalnya dua tahun saat berstatus panti.

"Kami telah sosialisasikan kepada seluruh orangtua siswa pada 2019. Karena perubahan status menjadi balai itu dimulai 2019. Alhamdulillah orangtua siswa yang ikut rehabilitasi sosial datang semuanya. Tetapi orangtua anak yang ikut pendidikan tidak hadir. Sebabnya mereka tidak menerima perubahan dari panti menjadi balai karena mereka tahu layanannya menjadi enam bulan dan seterusnya," sebut Sudarsono. 

Karena sebagian orangtua tidak hadir dalam pertemuan sosialisasi pergantian status panti menjadi balai, Sudarsono mengaku mengerahkan tim untuk mendatanginya guna memberikan penjelasan. Tetapi informasinya menjadi bias, Sudarsono mengatakan pemberitaan mengenai kunjungan ke rumah difabel netra tersebut dianggap suatu intimidasi.

Namun Sudarsono mengaku harus tetap menjalankan peraturan yang telah ditetapkan dengan menggunakan berbagai medium, termasuk menyurati orangtua difabel netra. Sehingga dari 175 orang penerima manfaat semester pertama tersebut tersisa 130 orang, tersisa 45 orang untuk semester kedua.

"Dari 45 ini, saya sangat berharap tetap dengan tugas pokok kami yaitu rehabilitasi. Ada anak-anak yang harus di terminasi, mereka tidak mau, tuntutan mereka harus dilayani semua. Toh alokasi anggarannya tersisa 45 kan untuk semester dua. Kalau 65 orang, dia tetap mau ya enggak apa-apa. Anggarannya juga tidak cukup. Program pelatihan yang lainnya bisa tidak jalan," katanya menambahkan. 

Sebelumnya ramai diberitakan, pemaksaan untuk mengosongkan asrama oleh pengelola Wyata Guna Bandung, membuat 41 difabel netra penghuni asmara tersebut terpaksa tinggal di trotoar Jalan Pajajaran.  

Pengosongan paksa itu dilakukan karena berubahnya status Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Wyata Guna menjadi Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPDSN).

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya