Liputan6.com, Cilacap - Anak Putu Kalikudi, terutama di kalangan tetua, ada risalah yang dituturkan secara turun temurun, bahwa pada suatu ketika, pagebluk melanda desa mereka yang masih berupa pedukuhan kecil seabad lampau.
Konon, saat itu muncul penyakit aneh yang belum pernah sekali pun disaksikan oleh para tetua. Banyak orang mati mendadak, atau sakit sebentar, kemudian meninggal dunia.
“Tidak ada yang tahu penyakitnya apa. Ya disebut pagebluk. Pagi sakit, sorenya mati. Banyak yang mati,” kata tetua Anak Putu Kalikudi, Kunthang Sunardi.
Advertisement
Baca Juga
Kalikudi sekarang adalah sebuah desa di Kecamatan Adipala, Cilacap, Jawa Tengah. Menilik riwayatnya, Kalikudi adalah sebuah desa tua, lantaran sejarahnya yang membentang hingga abad 17 silam.
Tentu saja, situasi kala itu berbeda dengan sekarang ketika warga menghadapi pandemi Covid-19. Tak ada puskesmas, rumah sakit. Saat itu, jumlah tabib atau orang pintar juga terbatas.
Masih beruntung, tetua Kalikudi masih mengingat kisah pagebluk yang konon datang 100 tahun sekali. Kuncinya adalah kebersihan dan daya tahan tubuh. Mereka disadarkan, sudah banyak warga yang tak lagi menyediakan kendi air di depan rumah.
Kendi itu bukan untuk minum. Kendi tanah itu disebut pula sebagai padasan atau jolang. Wadah air untuk cuci tangan.
“Kalau orang tua itu, kalau dari bepergian dianjurkan untuk cuci tangan. Saat itu juga sudah banyak yang tidak menyediakan,” ujarnya.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Flu Spanyol 1918?
Tegean Kelor atau sayur bening daun kelor juga mulai digalakkan. Secara turun temurun, masyarakat Jawa memang meyakini khasiat daun kelor untuk kesehatan tubuh.
Bahkan, sebagian masyarakat lainnya mempercayai daun kelor tak hanya bermanfaat untuk tubuh secara fisik. Daun kelor dan batangnya juga kerap digunakan untuk mengobati orang yang kesurupan. Makanya, daun kelor disebut pula sebagai sambetan.
“Kemudian orang mengonsumi kelor. Sampai sekarang,” dia mengungkapkan.
Kunthang pun meyakini, pagebluk Covid-19 yang melanda dunia saat ini adalah risalah yang pernah diwartakan kakek-buyutnya puluhan tahun silam. Bahwa, pada suatu masa, akan datang sebuah wabah mematikan yang bahkan mematikan aktivitas manusia.
Sebab itu, dia pun tak heran dengan model penanganan preventif, seperti pembatasan sosial dan menjaga jarak, dan kebersihan. Pasalnya, sejak dahulu kala, masyarakat Kalikudi memang sudah diajari untuk berhati-hati setelah singgah di wilayah rawan yang disebut sebagai renceb.
Tempat rencab yang dimaksud antara lain, kuburan, hutan, atau rumah sakit. Tempat-tempat itu dianggap berbahaya, terlebih jika di rumah ada bayi atau anak kecil.
“Kalau ada anak kecil sebelum masuk rumah harus mandi dulu. Mandi wuwung (keramas). Baru boleh nggendong,” ucapnya.
Kini, pemerintah mulai bersiap menerapkan normal baru dengan protokol pencegahan penularan Covid-19, seperti jaga jarak, menjaga kebersihan, sering cuci tangan, dan imunitas tubuh. Kunthang bilang, pandemi Covid-19 ini adalah bagian tak terpisah dari ramalan pagebluk yang datang 100 tahun sekali.
Saat ditanya apakah pagebluk terakhir dalam sejarah Anak Putu Kalikudi adalah pandemi flu Spanyol tahun 1918 -1920, Kunthang mengaku tak terlampau paham. Namun, kakeknya memang pernah bercerita bahwa pegebluk mematikan itu memang akan berulang 100 tahun sekali.
Advertisement