Menilik Muasal Ancaman Banjir Bandang di Sulawesi Selatan

Kompleksitas banjir bandang di Sulawesi Selatan, tidak lepas dari persoalan hutan yang kondisi eksistingnya banyak beralih fungsi menjadi lahan pertanian, perkebunan, pertambangan, hingga permukiman.

oleh Ahmad Yusran diperbarui 22 Sep 2021, 06:00 WIB
Diterbitkan 22 Sep 2021, 06:00 WIB
Banjir
Ilustrasi Foto Banjir (iStockphoto)​

Liputan6.com, Makassar - Beberapa waktu lalu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merilis peringatan kewaspadaan potensi banjir bandang di 19 provinsi Tanah Air. Salah satunya, Sulawesi Selatan. Peringatan ini tentu bukan tanpa sebab.

Pakar Lingkungan dan Kehutanan Universitas Negari Hasanuddin (Unhas) Andang Suryana Soma menjelaskan, kompleksitas banjir bandang di Sulawesi Selatan, tidak lepas dari persoalan hutan yang kondisi eksistingnya banyak beralih fungsi menjadi lahan pertanian, perkebunan, pertambangan, hingga permukiman.

Alhasil, fenomena alam seperti banjir bandang dan longsor, tidak lagi terhindarkan karena kawasan-kawasan hutan dan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sebelumnya berfungsi sebagai area tangkapan serta penyedia air, kualitasnya lingkungannya kini mulai rusak.

"Untuk menjamin pengendalian bencana banjir, semua pihak harus fokus pada wilayah kawasan hutan yang berada di tiga hulu Daerah Aliras Sungai (DAS) Jeneberang, Tallo, dan Maros. Dengan jalan perbaikan kondisi tutupan lahan aktual, dan penyesuaian peruntukan rencana pola ruang yang memperhatikan penutupan lahan vegetatif yang proporsional," kata Andang Suryana kepada Liputan6.com, Selasa, 21 September 2021

Andang menyebutkan, ada dua rekayasa yang dapat dilakukan. Pertama, rekayasa vegetatif dapat ditempuh dengan jalan pemanfaatan vegetasi dan tanaman untuk mengurangi erosi. Bisa juga melakukan penyediaan air melalui upaya rehabilitasi hutan dan lahan, penghijauan di Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Kemudian, rekayasa teknis untuk mencegah dan mengendalikan banjir. Bisa dilakukan dengan penanaman menurut kontur, melalui sistem pertanaman lorong, penggunaan mulsa, pembangunan DAM pengendali, bronjong, sabo, embung, dan bangunan rekayasa teknis pengendali banjir lainnya.

 

 

Simak video pilihan berikut ini:

Kondisi Sungai di Sulsel

Ilustrasi kebakaran hutan (AFP Photo)
Ilustrasi kebakaran hutan (AFP Photo)

Sementara dari data yang dihimpun Liputan6.com terkait Sungai Jeneberang yang memiliki panjang 75 km dan luas DAS Jeneberang seluas 727 Km2. Puncak tertinggi DAS Jeneberang bersumber dari Gunung Bawakaraeng pada ketinggian 2.833 diatas permukaan laut.

Akibat dari curah hujan yang sangat tinggi pada Selasa, 22 Januari 2019 lalu, terjadi limpasan debit dari hulu DAS yang diperkirakan sebesar 3500 m3/detik. Pada DAS Jeneberang terdapat bendungan Bili-Bili yang mulai dibangun pada tahun 1991, dan selesai pembangunannya pada tahun 1999.

Salah satu manfaat Bendungan Bili-bili adalah mereduksi banjir pada Sungai Jeneberang. Berdasarkan data yang ada, debit yang dikeluarkan melalui spillway bendungan berkisar 1200 m3/detik dari kapasitas maksimal spill way 2200 m3/detik.

Hal ini menunjukkan bahwa fungsi bendungan dapat berjalan dengan baik meskipun tinggi air pada bendungan mendekati tinggi maksimal. Sehingga secara prosedural, membuka pintu spillway harus dilakukan untuk menghindari over topping pada bendungan.

Terjadinya banjir di hilir Bendungan Bili-bili akibat kapasitas paung sungai tidak mampu menampung debit air dari spillway bendungan dan tambahan debit dari sungai Jenelata sebesar 1.000 m3/detik.

Hal tersebut diperparah oleh banyaknya hunian di bantaran sungai Jeneberang yang seharusnya menjadi bantaran banjir yang tidak boleh dijadikan hunian berdasarkan Permen PUPR Nomor 18 Tahun 2015.

Kerusakan bentang lahan pada saat ini telah menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan sistem hidrologi DAS. Krisis air telah dialami oleh masyarakat di wilayah ini, yaitu terjadi banjir pada musim hujan, dan kekurangan air pada musim kemarau.

Berdasarkan data pola pengelolaan sumber daya air wilayah Sungai Jeneberang, diketahui bahwa 33 DAS yang melintasi wilayah DAS Jeneberang memiliki potensi air sebanyak 5.529,52 m3/det.

Potensi tersebut, sebenarnya berlimpah untuk memenuhi kebutuhan air di 6 wilayah kabupaten sebesar 1.298,86 m3/det. Krisis air di wilayah DAS Jeneberang terjadi pada musim kemarau pada Juli sampai dengan bulan September. Masalah krisis air dapat diatasi dengan membangun bendungan.

Beberapa bendungan telah beroperasi pada saat ini yaitu, Bendungan Sungai Kalamisu di Kabupaten Sinjai, Bendungan Bettu di Kabupaten Bulukumba, Bendungan Bialo di Kabupaten Bantaeng dan Bendungan Bili-Bili di Kabupaten Gowa.

Sedangkan, yang masih dalam proses perencanaan dan pembangunan adalah Bendungan Jenelata di Kabupaten Gowa, Bendungan Pamukkulu di Kabupaten Takalar, dan Bendungan Karelloe di Kabupaten Jeneponto.

Banjir umumnya disebabkan oleh curah hujan yang tinggi di atas normal, sehingga sistem pengaliran air yang terdiri dari sungai dan anak sungai alamiah serta sistem saluran drainase dan kanal penampung banjir buatan yang ada tidak mampu menampung akumulasi air hujan tersebut hingga meluap.

Penggundulan hutan di daerah tangkapan air hujan (catchment area) juga menyebabkan peningkatan banjir karena pasokan air yang masuk ke dalam sistem aliran menjadi tinggi sehingga melampaui kapasitas pengaliran. Di samping itu berkurangnya daerah resapan air juga berkontribusi atas meningkatkan debit banjir.

Pada daerah pemukiman yang telah padat dengan bangunan sehingga tingkat resapan air ke dalam tanah berkurang, jika terjadi hujan dengan curah hujan yang tinggi sebagian besar air akan menjadi aliran air permukaan yang langsung masuk ke dalam sistem pengaliran air sehingga bisa mengakibatkan banjir.

 

Enam Arahan KLHK Cegah Banjir Hulu DAS

Ilustrasi – Volume Sungai Citanduy hilir Bendung Menganti, perbatasan Jawa Tengah-Jawa Barat menyusut pada musim kemarau. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Ilustrasi – Volume Sungai Citanduy hilir Bendung Menganti, perbatasan Jawa Tengah-Jawa Barat menyusut pada musim kemarau. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Kantor Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sulawesi dan Maluku menerbitkan enam arahan pengendalian banjir di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang, DAS Tallo serta DAS Maros.

Di antaranya, Agroforestry dengan teknik Konservasi Tanah dan Air (KTA), fungsi tutupan hutan dipertahankan, pemanfaatan berbasis korporasi dengan teknik KTA, pemanfaatan non kehutanan dengan teknik KTA, prioritas rehabilitasi, dan rehabilitasi.

Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sulawesi dan Maluku, Darhamsyah mengatakan bencana banjir yang sebelumnya melanda Makassar, Gowa, dan Maros di Sulawesi Selatan, terjadi oleh aspek curah hujan yang tinggi pada tahun 2019 lalu.

Hasilnya berujung dengan meluapnya DAS Jeneberang, DAS Tallo, dan DAS Maros, karena ketiga daerah aliran sungai itu memiliki kemampuan alami yang rendah untuk mencegah dan melindungi masyarakat dari ancaman bencana banjir.

Untuk tutupan hutan pada DAS Jeneberang, DAS Tallo, dan DAS Maros, datanya masing-masing hanya meliputi 16,60 persen, 19,76 persen, dan 12,10 persen dari luas wilayah DAS tersebut. Bahkan, untuk ketiga daerah aliran sungai (DAS) tersebut, kini masuk dalam kategori prioritas status pengendalian bencana banjir.

"Olehnya daya dukung ketiga DAS tersebut, harus dipulihkan. Dimana tutupan hutan pada ketiga wilayah DAS itu tidak lagi mencapai 30 persen dari total luasan DAS," Darhamsyah memungkasi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya