Liputan6.com, Yogyakarta - Halalbihalal menjadi salah satu tradisi yang kerap dilakukan saat Idulfitri atau Lebaran. Dalam pelaksanaannya, setiap umat muslim akan saling bermaaf-maafan di hari raya setelah melaksanakan ibadah puasa Ramadan.
Halalbihalal biasanya dilakukan antar keluarga. Setelah itu, mereka akan saling berkunjung ke rumah tetangga untuk halalbihalal sekaligus silaturahmi.
Mengutip dari kemenkopmk.go.id, halalbihalal tak hanya menjadi tradisi untuk saling memaafkan, tetapi juga menjadi ajang open house. Istilah halalbihalal sebenarnya berasal dari kata serapan halal dengan sisipan bi yang dalam bahasa Arab berarti dengan.
Advertisement
Meski diambil dari bahasa Arab, tradisi ini sebenarnya dibuat di Indonesia. Kata Halalbihalal bahkan sudah dibakukan dalam KBBI yang berarti hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan yang juga diartikan sebagai bentuk silaturahmi.
Baca Juga
Konon, sejarah halalbihalal atau tradisi serupa halalbihalal diyakini sudah ada sejak masa Mangkunegara I atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. Saat itu, Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana setelah salat Idulfitri.
Hal itu dilakukan untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya. Pada pertemuan ini, diadakanlah tradisi sungkem atau saling memaafkan.
Seluruh punggawa dan prajurit dengan tertib sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah halalbihalal.
Sementara itu, ada beberapq versi lain yang menyebutkan tentang asal-usul halalbihalal. Versi pertama menyebutkan bahwa stilah halalbihalal berasal dari kata alal behalal dan halal behalal dalam kamus Jawa-Belanda karya Dr Th Pigeaud 1938.
Dalam kamus ini, alal behalal berarti dengan salam (datang, pergi) untuk memohon maaf atas kesalahan kepada orang lebih tua atau orang lainnya setelah puasa (Lebaran, Tahun Baru Jawa). Sementara halal behalal diartikan sebagai dengan salam (datang, pergi) untuk saling memaafkan di waktu Lebaran.
Konon, istilah ini bermula dari pedagang martabak asal India di Taman Sriwedari Solo di era sekitar 1935-1936. Saat itu, martabak tergolong makanan baru bagi masyarakat Indonesia.
Pedagang martabak yang dibantu pembantu primbuminya mempromosikan dagangannya dengan kata-kata, "Martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal". Sejak saat itu, istilah halalbehalal mulai populer di kalangan masyarakat Solo.
Masyarakat kemudian menggunakan istilah ini untuk menyebutkan kegiatan pergi ke Sriwedari di hari Lebaran atau silaturahmi di hari Lebaran. Kegiatan halalbihalal kemudian berkembang menjadi acara silaturahmi saling bermaafan saat Lebaran.
Versi lain menyebutkan, asal-usul halalbihalal berasal dari KH Abdul Wahab Hasbullah pada 1948. Ia merupakan seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama.
KH Wahab memperkenalkan istilah halalbihalal pada Bung Karno sebagai cara silaturahmi antar-pemimpin politik yang pada saat itu masih memiliki konflik. Atas saran tersebut, pada Hari Raya Idulfitri 1948, Bung Karno mengundang seluruh tokoh politik untuk datang ke Istana Negara.
Bung Karno menggelar silaturahim yang diberi judul Halalbihalal. Dalam kegiatan tersebut, para tokoh politik akhirnya duduk satu meja.
Mereka pun mulai menyusun kekuatan dan persatuan bangsa ke depan. Sejak saat itu, berbagai instansi pemerintah di masa pemerintahan Bung Karno menyelenggarakan halalbihalal.
Halalbihalal kemudian diikuti masyarakat Indonesia secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama. Hingga kini, halalbihalal menjadi tradisi yang selalu ada saat Idulfitri tiba.
Â
Penulis: Resla