Aksi Jual Bikin IHSG Merosot Selama Sepekan

Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tergelincir 0,26 persen ke level 5.814 pada perdagangan Jumat 7 Juli 2017.

oleh Agustina Melani diperbarui 08 Jul 2017, 11:00 WIB
Diterbitkan 08 Jul 2017, 11:00 WIB
IHSG
Pekerja melintas di bawah layar indeks saham gabungan di BEI, Jakarta, Selasa (4/4). Sebelumnya, Indeks harga saham gabungan (IHSG) menembus level 5.600 pada penutupan perdagangan pertama bulan ini, Senin (3/4/2017). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah selama sepekan meski sempat catatkan rekor tertinggi. Hal itu didorong harga saham cenderung mendatar.

Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, Sabtu (8/7/2017), IHSG tergelincir 0,26 persen dari level 5.829 pada Kamis 22 Juni 2017 menjadi 5.814 pada 7 Juli 2017.

Saham-saham unggulan yang masuk LQ45 cenderung mendatar. Sedangkan saham-saham lapis kedua dan ketiga tidak terlalu baik pergerakannya. Selain itu, investor mencatatkan aksi jual sekitar US$ 250 juta di pasar saham.

Tekanan di pasar saham juga terjadi di pasar surat utang atau obligasi. Pasar obligasi turun 0,77 persen secara mingguan seiring pelaku pasar merespons negatif hasil laporan the Federal Reserve atau bank sentral Amerika Serikat (AS) dan bank sentral Eropa. Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun naik 34 basis poin menjadi 7,1 persen.

Ada sejumlah sentimen pengaruhi pasar, baik dari eksternal dan internal pada pekan ini. Pertama, hasil laporan the Federal Reserve pada pertemuan pertengahan Juni 2017. Dari pertemuan pada Juni 2017 itu menunjukkan mengenai potensi kenaikan suku bunga.

Tak hanya itu, pejabat the Federal Reserve juga setuju untuk mengurangi neraca dan menunjukkan dampak pengurangan neraca ke ekonomi secara keseluruhan. Para ekonom percaya kalau pengurangan neraca dimulai September 2017, sebelum suku bunga the Federal Reserve naik pada Desember.

Kedua, laporan hasil pertemuan bank sentral Eropa juga pengaruhi pasar. Dalam rapat bank sentral Eropa juga menyarankan agar mengambil langkah untuk mengurangi rencana pembelian obligasi yang ada. Rencana itu masih dipertimbangkan dalam pertemuan tersebut. Namun, dewan memutuskan untuk tidak melakukannya karena pemulihan ekonomi belum menyebabkan inflasi lebih tinggi.

Dari sentimen eksternal lainnya yaitu pelaku pasar mencermati pertemuan G-20 di Jerman. Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin akan melakukan pertemuan pada Jumat waktu setempat. Selain itu, Amerika Serikat (AS) juga akan mengeluarkan rilis data tenaga kerja nonsektor pertanian yang diharapkan sentuh 178 ribu.

Sentimen dalam negeri yakni Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara Perubahan 2017 (APBN-P 2017) akan dialokasikan untuk belanja produktif. Anggaran diharapkan dapat dialokasikan untuk belanja produktif. Penerimaan pajak pun diperkirakan tumbuh 13 persen secara year on year (YoY) dari target semula tumbuh 17 persen YoY.

Di pasar komoditas, harga minyak pulih seiring data Energy Information Administration (EIA) menunjukkan kalau pasokan minyak AS turun pada pekan lalu.

Lalu apa yang dicermati ke depan?

Saat ini bank sentral di dunia cenderung memberikan pernyataan agresif. Terutama pejabat bank sentral Eropa dan Amerika Serikat. Pimpinan bank sentral Eropa, Mario Draghi menyatakan, kalau pemulihan di Eropa begitu ketat dan luas. Dampaknya kebijakan bank sentral Eropa akan mendorong inflasi naik secara bertahap.

Ekonom Ashmore Jan Dehn melihat, pernyataan bank sentral yang agresif itu menunjukkan kekhawatiran terhadap aset yang sudah naik berlawanan dengan inflasi. Melihat lebih dekat, momentum inflasi juga memburuk di pasar negara berkembang. Harga minyak yang cenderung rendah pada 2016-2017 juga menciptakan inflasi rendah, dan ke depan seperti itu.

Lalu apakah kondisi pasar obligasi di pasar negara berkembang dan Indonesia pada 2013 kembali terulang? Ashmore melihatnya tidak terulang. Ada perbedaan antara kondisi saat ini dan 2013. Pertama, neraca transaksi berjalan di negara berkembang saat ini nol persen dibandingkan 2013 alami defisit 2,1 persen.

Selain itu, Ashmore juga melihat defisit neraca berjalan Indonesia juga menyempit dan punya faktor berbeda yang menyebabkan defisit, yakni didorong pertumbuhan belanja.

Kondisi sekarang berbeda dibandingkan 2013 yaitu mata uang lebih kompetitif dan suku bunga lebih tinggi. Inflasi pun cenderung melemah di negara berkembang. Di Indonesia, inflasi naik pada Juni 2017 didorong momen Lebaran.

 

 

Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:

 

 

 

 

 

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya