Liputan6.com, Jakarta - Seperti yang diketahui, sejumlah aktivis dan pegiat internet beramai-ramai menolak Peraturan Menteri (Permen) Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif yang telah disahkan bulan Juli 2014.
Kini Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Perkumpulan Mitra TIK Indonesia (ICT Watch), Shelly Woyla Marliane, Damar Juniarto, Ayu Oktariani, dan Suratim secara resmi mengajukan permohonan uji materi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet bermuatan Negatif (“Permen 19/2014”) ke Mahkamah Agung.
Melalui keterangan resmi yang diterima tim Tekno Liputan6.com, Sabtu (22/11/2014), dalam mengajukan permohonanannya, kedelapan pemohon keberatan tersebut diwakili oleh para kuasa hukum yaitu Supriyadi Widodo Eddyono, Wahyudi Djafar, Erasmus Napitupulu, Robert Sidauruk, Rully Novian, Alfreus Jebabun, Zainal Abidin, Adi Condro Bawono, Asep Komarudin, dan Margiyono.
Alasan Permen 19/2014 Digugat
Alasan Permen 19/2014 Digugat
Ada beberapa alasan mengapa Permen 19/2014 ini akhirnya diuji di Mahkamah Agung. Pertama, Permen 19/2014 gagal merumuskan secara definitif yang dimaksud ‘konten bermuatan negatif`. Hal ini memiliki implikasi serius pada perlindungan hak asasi, karena tanpa batasan yang jelas konten apapun di internet dapat dikategorikan sebagai konten negatif.
Kedua, penerbitan Permen 19/2014 didasarkan pada UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi). Maka seharusnya larangan dalam PERMEN 19/2014 tidak melebihi tindakan-tindakan yang diatur UU ITE dan UU Pornografi. Misalnya hanya mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang Pasal 27-29 UU ITE, atau melarangan situs bermuatan pornografi.
Ketiga, PERMEN 19/2014 tidak memiliki dasar acuan undang-undang yang jelas dalam pemberian kewenangan pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Keminfo) untuk menilai apakah suatu situs bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, terlebih lagi untuk menutup situs tersebut.Maka, legitimasi kewenangan Keminfo pada PERMEN 19/2014 tidak sah karena tidak berdasar.
Keempat, pemblokiran ‘konten yang dilarang’ sudah aktif dilakukan Internet Service Provider atas perintah Keminfodengan merujuk pada daftar TRUST+Positive yang dibentuk berdasarkan PERMEN 19/2014. Pada implementasinya, materi pengaturan pemblokiran ini membatasi hak dan kebebasan yang dijamin UUD 1945.
Advertisement
Harus transparan dan akuntabel
Harus transparan dan akuntabel
Seharusnya materi Permen 19/2014 diatur oleh Undang-Undang untuk menjamin adanya partisipasi publik dalam pembahasannya, serta memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam tindakan pembatasannya.
Berlatar-belakang munculnya beragam permasalahan dari penerbitan dan implementasi PERMEN 19/2014, Para Pemohon menyadari mendesaknya dilakukan uji materi PERMEN 19/2014. Oleh karena itu, dimohonkan agar Mahkamah Agung melakukan uji materi terhadap seluruh ketentuan PERMEN 19/2014.
Para Pemohon memohon agar Mahkamah Agung menyatakan Permen 19/2014 tidak sah dan tidak berlaku secara umum, serta bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6-13-20/PUU-VIII/2010, dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-VIII/2010. (isk/dhi)