Tembus Rp 4.273 triliun, BI Sebut Utang RI Masih Aman

Bank Indonesia perkirakan utang luar negeri sektor swasta akan membaik pada kuartal III dan IV.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 23 Agu 2016, 17:09 WIB
Diterbitkan 23 Agu 2016, 17:09 WIB
20151104-Bahas-Bank-Indonesia
Bank Inodnesia (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) menegaskan meski utang luar negeri (ULN) Indonesia pada kuartal II 2016 sebesar US$ 323,8 miliar atau setara dengan Rp 4.273 triliun, hal itu masih dalam koridor aman.

Kepala Departemen Statistik Bank Indonesia Hendy Sulistiowaty mengungkapkan total utang itu jika dikaitkan dengan Gross Domestic Product/produk domestik bruto (GDP) Indonesia hanya sekitar 36,7 persen.

"Meski untuk sektor swasta perlu tetap diperhatikan tapi secara keseluruhan masih sehat ULN kita. Kita ada batasan threshold waspada itu sekitar 51,1 persen dari GDP," kata Hendy di Gedung Bank Indonesia, Selasa (23/8/2016).

Pada akhir kuartal II 2016, posisi ULN sektor publik sebesar US$ 158,7 miliar (49 persen dari total ULN), sementara ULN sektor swasta mencapai US$ 165,1 miliar (51 persen dari total ULN).

ULN sektor publik tumbuh meningkat menjadi 17,9 persen (yoy) pada kuartal II 2016 dari kuartal sebelumnya sebesar 14 persen (yoy), sementara ULN sektor swasta turun 3,1 persen (yoy) lebih dalam dibandingkan dengan penurunan pada kuartal sebelumnya sebesar 0,5 persen (yoy).

Hendy menilai tren penurunan ULN di sektor swasta ini sebenarnya sudah mulai terjadi‎ pada akhir 2015. Sejak itu, perusahaan swasta lebih banyak membayar utang daripada narik utang. Penurunan ini sejalan dengan kegiatan ekonomi di Indonesia yang tertekan.

"Tapi kegiatan ekonomi kita kemarin sudah membaik, pertumbuhan ekonomi mulai naik, jadi ini kita perkirakan ULN sektor swasta akan membaik pada kuartal III dan kuartal IV," tegas Hendy.

Sebagai negara berkembang, Hendy mengaku satu hal yang wajar jika ULN mengalami tren peningkatan secara nominal. Hanya saja yang perlu dijaga adalah ‎rasio utangnya terhadap GDP. (Yas/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya