Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengumumkan, dana repatriasi tax amnesty sebesar Rp 24,7 triliun dari Warga Negara Indonesia (WNI) yang memarkir hartanya di luar negeri belum pulang kampung ke Indonesia. Jika tidak juga direalisasikan, Sri Mulyani akan memberikan surat peringatan kepada Wajib Pajak (WP).
Sri Mulyani mencatat, komitmen pengalihan harta dari luar negeri ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga penutupan tax amnesty 31 Maret 2017 mencapai Rp 146,6 trliun. Dari nilai itu, dana repatriasi yang sudah masuk ke Indonesia sebesar Rp 121,9 triliun.
"Jadi masih ada Rp 24,7 triliun komitmen repatriasi yang belum masuk ke Indonesia. Padahal WP sudah mendapatkan tarif pinalti lebih rendah," kata dia di Jakarta, seperti ditulis Minggu (2/4/2017).
Advertisement
Beberapa hal penyebab dana-dana tersebut belum juga mudik ke Indonesia. Pertama, karena ada regulasi atau aturan di negara asal tempat WP memarkir hartanya. Di beberapa negara, diakui Sri Mulyani, melakukan repatriasi atas harta dan ikut tax amnesty dianggap melanggar Undang-undang (UU) karena harta tersebut dinilai selama ini tidak pernah dilaporkan.
"Jadi WP melakukan langkah tes anti pencucian uang, menyampaikan bahwa uang itu uang yang sah. Inilah yang menyebabkan WP kesulitan merepatriasi karena secara tidak langsung kalau ikut tax amnesty, uang dianggap tidak pernah dilaporkan, dan potensial melanggar UU," jelasnya.
Menurut Sri Mulyani, pemerintah sudah menjelaskan hal tersebut kepada beberapa negara bahwa dana yang diikutkan pada program tax amnesty sudah mendapat pengampunan pajak sehingga semestinya dapat dialihkan ke Indonesia.
"Dari penjelasan itu, katanya, ada negara yang sudah melepaskannya (dana), tapi sebagian WP masih mengalami kesulitan," terangnya.
Baca Juga
Alasan lain WP belum juga merealisasikan dana repatriasi, kata Sri Mulyani, karena harta tersebut tidak bersifat likuid. Contohnya dalam bentuk rumah, surat berharga, maupun deposito yang belum cair atau belum jatuh tempo, sehingga tidak dapat dibawa pulang ke Indonesia.
"Tunai belum ada, karena butuh proses," tegas Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.
Terakhir, lanjut dia, sebelum periode tax amnesty dimulai Juli 2016, sudah ada dana atau harta masuk ke Indonesia pada 31 Desember 2015. Akan tetapi itu belum masuk periode tax amnesty, namun WP mengklaim harta itu sebagai repatriasi karena sudah ada di Indonesia.
"Ini masukan dari stakeholder yang kita dengarkan. Harta sudah terlanjur masuk dan mereka laporkan di dalam tax amnesty sebagai harta yang berada di luar negeri, tapi sudah di dalam negeri," Sri Mulyani berucap.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 119 Tahun 2016 yang diubah PMK 123 Tahun 2016, harta yang sudah masuk ke NKRI setelah Desember 2015, namun sebelum tax amnesty di Juli 2016, maka harta itu dikategorikan sebagai harta repatriasi.
Kemudian di PMK 150 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua PMK 119 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengalihan Harta WP menyebut, harta yang sudah masuk ke Indonesia diperlakukan sebagai deklarasi dalam negeri. WP yang sudah mendapat surat keterangan dapat mengubah keterangan harta repatriasi menjadi harta dalam negeri.
"Dari sisi tarif tidak ada bedanya. Tapi dari sisi kategori tadi harta repatriasi sudah di dalam negeri," ujarnya.
Pengawasan
Ditjen Pajak, Sri Mulyani menegaskan, akan melakukan pengawasan laporan pengalihan harta dan penempatan harta tambahan dari bank penampung dana repatriasi (gateway). Institusi penampung dana repatriasi ini sudah menandatangani kewajiban melaporkan harta tax amnesty yang merupakan hasil repatriasi.
"Kita akan lakukan tindaklanjut harta yang diungkap agar mereka mengikuti ketentuan UU pajak. Karena dalam UU Tax Amnesty, Pasal 8 Ayat 6 disebutkan, jika WP menyatakan repatriasi, maka WP mengalihkan ke negara ini dan diinvestasikan paling singkat 3 tahun," jelas dia.
Supaya bisa menjalankan UU Tax Amnesty Pasal 3 Ayat 1, dia mengaku, WP wajib melaporkan secara berkala kepada Menkeu atas harta yang direpatriasi. Sri Mulyani mewajibkan WP memberi laporan satu kali dalam setahun secara akurat dan kredibel.
Realisasi harta tambahan dan penempatannya paling lambat pada pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) Tahun Pajak 2017 untuk laporan tahun pertama. Tahun kedua di SPT PPh Tahun Pajak 2018, dan tahun ketiga di SPT Tahun Pajak 2019.
"Kalau mereka ngaku repatriasi tapi harta tidak dimasukkan ke Indonesia, karena kita akan cek ke gateway. Lalu mereka belum bisa menyampaikan bukti hartanya tidak ada di sini, maka kita akan terbitkan surat peringatan, dan WP dapat menanggapi dalam 14 hari," tegas dia.
Apabila tidak dapat memberikan bukti dan harta tidak pernah dilaporkan dalam waktu 14 hari tersebut, Sri Mulyani mengatakan, atas harta tambahan itu ditetapkan sebagai penghasilan 2016 dan dikenakan PPh normal maupun sanksi sesuai UU KUP.
"Selama 14 hari tidak bisa buktikan dan harta tidak pernah dilaporkan, harta tambahan dianggap penghasilan 2016. Dikenakan PPh dan sanksi UU Pajak. Uang tebusan yang sudah dibayar, harta tidak masuk akan menjadi pengurang pajak, tapi fasilitas pengampunan pajak WP tidak batal," tandas Sri Mulyani. (Fik/Gdn)