Liputan6.com, Jakarta Center of Reform on Economic (Core) Indonesia memprediksi pertumbuhan ekonomi nasional berada di kisaran 5,1 persen hingga 5,2 persen. Ini tertuang dalam laporan bertajuk 'Core Economic Outlook'Â
Proyeksi ini lebih tinggi lebih tinggi dari capaian tahun 2017 sebesar 5,07 persen. Namun, lebih rendah dari target pemerintah, yakni 5,4 persen.
Baca Juga
"CORE memprediksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2018 masih berada di kisaran 5 persen. Apabila tak ada perbaikan kebijakan, ekonomi diprediksi sulit untuk mencapai 5,2 persen (yoy)," ungkap Direktur Eksekutif CORE, Mohammad Faisal dalam diskusi di Hong Kong Cafe, Jakarta, Selasa (24/4).
Advertisement
Ia menjelaskan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan tahun ini, akan ada cukup banyak tantangan.
"Salah satu di antaranya adalah potensi pelemahan kinerja ekspor-impor yang mengakibatkan melemahnya kontribusi net-ekspor terhadap pertumbuhan PDB tahun ini," kata dia.
Padahal, kata dia, net-ekspor inilah yang berperan sangat besar dalam mempertahankan pertumbuhan ekonomi di level 5 persen di tahun 2017, saat pertumbuhan konsumsi di bawah 5 persen.
Dia menjelaskan, pihaknya sudah memprediksi bahwa pertumbuhan net-ekspor Indonesia bakal mengalami koreksi cukup tajam sejalan dengan melemahnya harga komoditas andalan ekspor Indonesia dan peningkatan harga minyak dunia.
"Hal ini terbukti pada triwulan pertama tahun ini, surplus perdagangan hanya mencapai USD 0,3 miliar. Jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar USD 4,1miliar," kata dia.
Anjloknya surplus perdagangan pada triwulan pertama tahun ini setidaknya didorong oleh dua faktor, yakni pelebaran deflsit migas dan penyempitan surplus nonmigas.
Pelebaran defisit migas terjadi akibat kenaikan harga minyak dunia yang mendorong peningkatan nilai impor negara-negara net-importir minyak, seperti Indonesia.
Pelebaran defisit migas sebenarnya sudah terjadi sejak bulan Februari 2016, sejalan dengan harga minyak yang mulai bergerak naik dari USD 30 per barel pada Januari 2016 menjadi USD 64 per barel pada Maret 2018. Akibatnya, defisit migas yang pada kuartal I 2016 hanya USD 0,4 miliar meningkat 575 persen menjadi USD 2,7 miliar pada kuartal I 2018.
"Beberapa triwulan ke depan defisit migas masih cenderung melebar karena harga minyak dunia yang masih berpotensi meningkat," ujar dia.
Â
Kinerja Ekspor Non Migas
Dari sisi nonmigas, pada triwulan pertama surplus perdagangan menyusut menjadi USD 3,0 miliar dari USD 6,7 miliar pada triwulan pertama tahun lalu. Penyusutan ini ternyata tidak banyak didorong oleh pelemahan harga komoditas, karena harga komoditas pada triwulan pertama, khususnya komoditas tambang masih cenderung menguat.
Ekspor komoditas tambang meningkat dari 32 persen pada triwulan pertama 2017 menjadi 42 persen di triwulan pertama 2018.
"Masalahnya, ekspor manufaktur tumbuh melambat dari 20 persen di triwulan pertama 2017 menjadi hanya 4,6 persen di tahun ini. Ekspor pertanian malah mengaIami kontraksi -9,4 persen di kuartal pertama tahun ini, padahal pada Q1 2017 tumbuh 23 persen. Akibatnya secara keseluruhan, pertumbuhan ekspor non-migas melambat dari 22 persen pada kuartal pertama 2017 menjadi hanya 10 persen pada kuartal pertama 2018," paparnya.
Yang Iebih mengkhawatirkan, pada saat pertumbuhan ekspor nonmigas melemah, impor nonmigas justru mengalami peningkatan sangat tajam, dari 7 persen pada kuartal pertama 2017 menjadi 24 persen pada kuartal pertama 2018.
Peningkatan impor nonmigas ini ternyata bukan dipicu oleh impor bahan baku dan bahan penolong, tetapi barang konsumsi dan barang modal. lmpor barang konsumsi naik dari 2,7 persen di triwulan pertama 2017 menjadi 21,8 persen pada triwulan pertama 2018. Pada periode yang sama, impor barang modal pun naik dari 6,3 persen menjadi 27,5 persen.
Secara global, meningkatnya proteksionisme khususnya oleh negara-negara maju, seperti AS dan Uni Eropa, berpotensi memperlambat pertumbuhan perdagangan dunia, dan mempersempit peluang negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk meningkatkan penetrasi ekspor. Ekspor komoditas sawit yang menjadi andalan utama Indonesia, khususnya, menghadapi berbagai ancaman proteksi dari mitra dagang utama, khususnya Uni Eropa, AS, bahkan negara importir terbesar India.
"Meningkatnya proteksionisme dan juga perang dagang yang terjadi saat ini mesti direspons oIeh pemerintah dengan mempercepat diversifikasi tujuan ekspor. Hingga saat ini, pertumbuhan ekspor ke pasar non-tradisional masih jauh Iebih rendah dibanding pasar tradisional," jelas dia.
"Pada triwulan pertama tahun ini, ekspor ke negara-negara tujuan utama (ASEAN, Tiongkok, AS, Jepang, India, Uni Eropa) mampu tumbuh 12,3 persen, namun ekspor ke negara-negara non-tradisionaI hanya tumbuh 1,4 persen," lanjut Faisal.
Inflasi juga diprediksi bakal naik tahun ini karena dorongan inflasi oleh volatile food maupun administered price, khususnya kenaikan harga BBM yang dilepas ke pasar.
"Inflasi volatile food pada triwulan I tahun 2018 sudah mencapai 2,62 persen jauh dibandingkan triwulan I tahun lalu yang deflasi 0,31 persen," tandas dia.
Tonton Video Ini:
Advertisement