Rupiah Bergerak Stabil, Potensi Penguatan Masih Terbuka

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.041 per dolar AS hingga 14.070 per dolar AS.

oleh Arthur Gideon diperbarui 21 Feb 2019, 12:38 WIB
Diterbitkan 21 Feb 2019, 12:38 WIB
20161109- Donald Trump Unggul Rupiah Terpuruk-Jakarta-Angga Yuniar
Rupiah pada saat istirahat siang ini tercatat melemah sebesar 162 poin atau turun tajam 1,24 persen ke kisaran Rp 13.246 per dolar AS, Jakarta, Rabu (9/11). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak stabil pada perdagangan Kamis ini. Sentimen yang mempengaruhi gerak rupiah masih mengenai keputusan Bank Sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed).

Mengutip Bloomberg, Kamis (21/2/2019), rupiah dibuka di angka 14.049 per dolar AS, tak berbeda jauh dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.044 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.041 per dolar AS hingga 14.070 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah menghguat 2,37 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.057 per dolar AS, tak berbeda jaug pula dengan hari sebelumnya yang ada di angka 14.055 per dolar AS.

Rupiah diprediksi menguat pasca rilis risalah pertemuan dewan kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (Fed) atau Federal Open Market Committee (FOMC) Minutes Meeting pada Rabu (20/2) semalam.

"Minutes meeting pertemuan The Fed pada 29-30 Januari lalu mencatat The Fed tidak yakin akan ada kenaikan suku bunga kecuali terjadi inflasi di atas perkiraan," kata ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih dikutip dari Antara.

Ia menambahkan, suku bunga saat ini antara 2,25-2,5 persen, bahkan dianggap sudah mencapai pada tingkat netral.

"The Fed juga mensinyalkan akan mengakhiri penurunan aset dalam neracanya sebelum akhir 2019, yang artinya kebijakan moneter ketat akan berakhir," ujar Lana.

The Fed menyatakan akan bersabar ketika menentukan penyesuaian di masa depan terhadap kisaran target suku bunga, mengingat perkembangan ekonomi dan keuangan global serta tekanan inflasi yang lemah.

"Peserta menunjuk berbagai pertimbangan yang mendukung pendekatan 'sabar' terhadap kebijakan moneter pada saat ini sebagai langkah yang tepat dalam mengelola berbagai risiko dan ketidakpastian dalam prospek," tulis risalah tersebut.

The Fed menggambarkan "pendekatan yang sabar dan fleksibel" sebagai cara untuk mengelola risiko-risiko sambil menilai informasi yang masuk mengenai prospek ekonomi.

Lana memperkirakan pada hari ini rupiah kemungkinan menguat ke tingkat 14.000 per dolar AS hingga 14.040 per dolar AS.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Faisal Basri: Rupiah Masih akan Bergejolak di Tahun Politik

Ilustrasi dolar AS
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus menguat, Jakarta, Kamis (23/10/2014) (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sebelumnya, Ekonom Faisal Basri mengatakan bahwa kestabilan nilai tukar rupiah masih akan menghadapi tantangan di tahun politik. Bahkan rupiah dinilai masih mengalami pelemahan di 2019 ini.

Faisal mengatakan, meski di awal tahun waktu rupiah sempat menguat ke level 13.000 per dolar AS, tetapi saat ini rupiah kembali ke 14.000 per dolar AS.

"Rupiah tidak menguat secara signifikan, masih akan naik turun. Secara psikologis dan historis rupiah masih akan melemah," ujar dia pada Rabu 13 Februari 2019. 

Tekanan terhadap rupiah masih bersumber dari defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Oleh sebab itu, penting bagi pemerintah untuk menurunkan CAD agar rupiah bisa menguat dan stabil di 2019.

"Karena masih CAD, kalau current account ini defisit ya rupiah melemah. Karena CAD ini terdiri dari ekspor impor barang dan jasa. Nah kalau utang tidak setiap bulan. Jadi (penguatan) rupiah yang mengandalkan utang tidak akan sustainable. Tapi kalau mengandalkan CAD bisa sustain," kata dia.

Selain itu, meski ekspor dan impor merupakan kegiatan yang wajar dilakukan oleh sebuah negara, namun Indonesia harus bisa menekan impor khususnya untuk barang-barang yang sebenarnya bisa diproduksi di dalam negeri dan menggenjot ekspor nonmigas.

"Ekspor-impor sebetulnya suatu hal yang lumrah dilakukan oleh suatu negara. Kalau kita tidak bisa bikin suatu produk, ya terpaksa impor. Tapi kita juga harus jual produk kita ke pasar negara lain. Ini supaya seimbang," tandas dia.

 
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya