Pengusaha Ingin Harga Gas Segera Turun

Saat ini sudah banyak industri yang mati suri akibat tidak mampu bersaing dengan industri sejenis dari luar negeri.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 25 Sep 2019, 15:30 WIB
Diterbitkan 25 Sep 2019, 15:30 WIB
20160921-Pekerja Jaringan Pipa Gas PGN-Jakarta- Helmi Afandi
Pekerja merawat jaringan pipa gas milik Perusahaan Gas Negara (PGN) di Jakarta, Rabu (21/9/2016). (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Kamar Dagang dan Industri‎ (Kadin) Indonesia menginginkan harga gas segera turun. Hal ini untuk menghindari sektor industri mati suri akibat kalah bersaing karena biaya produksi yang tinggi.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Johnny Darmawan mengatakan‎, kondisi persaingan semakin ketat, sementara sektor industri telah terbebani dengan biaya investasi yang besar, mahalnya harga gas, biaya produksi industri di Indonesia lebih mahal dibandingkan luar negeri, serta makin berkurangnya hambatan teknis (technical bariers) terhadap arus impor.

"Perusahaan swasta di sektor industri petrokimia pengolah migas, keramik, kaca, baja, oleokimia, pulp dan Kertas serta makanan dan minuman sampai saat ini belum mendapatkan penurunan harga gas‎," kata Johnny, dalam Forum Diskusi Kadin dengan Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) dan Indonesian Natural Gas Trader Association (INGTA) di Jakarta (25/9/2019).

Untuk mengindari hal tersebut terjadi, implementasi penurunan harga gas bumi sesuai Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang penetapan harga gas bumi sebesar USD 6 per MMBTU‎ ‎harus segera diimplementasikan. Penurunan harga gas tersebut bisa membantu Indonesia terhindar dari resesi. Saat ini sudah banyak industri yang mati suri akibat tidak mampu bersaing dengan industri sejenis dari luar negeri.

Johnny melanjutkan, sektor industri pengguna gas bumi merupakan penggerak perekonomian nasional dari devisa perolehan ekspor, pajak, dan penyerapan tenaga kerja langsung lebih dari 8,5 juta orang, selain itu sektor industri itu mempunyai keterkaitan yang sangat luas dengan berbagai sektor mulai dari pemasok bahan bakar hingga pemasaran produk hilir (consumer goods).

Johnny mengungkapkan, pelaksanaan kebijakan Perpres Nomor 40 Tahun 2016 sangat di tunggu oleh para pelaku usaha, karena keberpihakan pemerintah akan menjadi dasar yang kuat dalam pembangunan industri di Indonesia.

Terlebih pemerintah juga sudah mengeluarkan dua kebijakan turunan yaitu Peraturan Menteri ESDM Nomor 58 Tahun 2017 tentang Harga Jual Gas Bumi Melalui Pipa Pada Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2019 tentang Besaran dan Penggunaan Iuran Badan Usaha Dalam Kegiatan Usaha Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa.

“Dengan adanya 2 dukungan kebijakan tersebut, harusnya harga gas Industri sudah turun dan berdaya saing sebagaimana amanat Perpres Nomor 40 Tahun 2016," tandasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Harga Gas RI Lebih Murah Dibandingkan Malaysia dan Thailand

Gas Bumi
Ilustrasi Foto Gas Bumi (iStockphoto)

Sebelumnya, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan, harga gas industri di Indonesia relatif stabil dan kompetitif dibanding dengan negara di kawasan Asia Tenggara. Hal ini dampak dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan sejak terbitnya payung hukum berupa Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi dan produk hukum turunannya.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi mencoba membuktikan, dengan membandingkan harga gas di tiga negara Asia Tenggara yang memiliki perkonomian kuat. Thailand mematok harga gas di hulu sebesar USD 5,5 per MMBTU dan Malaysia sebesar USD 4,5 per MMBTU. 

Sementara harga gas di Singapura jauh di atas USD 15 per MMBTU. Bahkan kalau dibandingkan dengan Tiongkok yang ekonominya kian menggeliat harga gas di hulu telah mencapai USD 8 per MMBTU.

"Kalau kita lihat lebih detail perbandingan dari titik referensi yang sama, harga hulu di Indonesia sebesar USD 5,3 per MMBTU, ini terbilang kompetitif," kata Agung, di kutip dari situas resmi Kementerian ESDM, di Jakarta, pada Senin 15 Juli 2019.

Agung melanjutkan, jika dicermati lebih lanjut, harga gas Malaysia memang lebih rendah. Rendahnya harga gas di Malaysia ditopang dari struktur biaya pembentukan gas yang menerapkan Regulation Below Cost (RBC). 

"Sistem RBC menuntut adanya penerapan subsidi sehingga membuat harga gas di Malaysia lebih murah," jelas Agung.

Sementara di Thailand dan Tiongkok menjalankan model indeksasi ke harga minyak. Artinya, harga gas akan mengikuti pergerakan harga minyak (gas pipa). Jika harga minyak naik, maka harga gas akan naik. Begitu pula sebaliknya. 

"Skema ini mendorong tingginya tingkat fluktuasi sehingga menyebabkan ketidakstabilan harga gas," ungkap Agung.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya