Dampak Kenaikan Cukai Rokok Baru Terasa di Pertengahan Maret

Kenaikan cukai dapat berakibat pada penurunan jumlah produksi rokok yang berimbas pada pengurangan tenaga kerja.

oleh Septian Deny diperbarui 06 Mar 2020, 11:06 WIB
Diterbitkan 06 Mar 2020, 11:06 WIB
20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Gabungan Pabrik Rokok (Gapero) Indonesia, memperkirakan dampak negatif dari kebijakan pemerintah menaikan cukai dan harga jual eceran (HJE) rokok masing-masing sebesar 23 persen dan 35 persen mulai terlihat di pertengahan Maret.

Kebijakan tersebut menjadikan harga jual rokok semakin tinggi. Akibatnya penjualan rokok yang legal menjadi semakin susah.

“Hingga akhir Februari kami masih menggunakan cukai tahun lalu. Namun mulai Maret ini kami menggunakan cukai yang harganya sudah dinaikan pemerintah. Demikian juga harga jual ecerannya. Sehingga bulan Maret dan April ke sana akan terlihat dampak negatifnya," kata Ketua Gabungan Pabrik Rokok Malang (Gaperoma) Johni SH dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (6/3/2020).

Dia mengatakan, kebijakan ini dapat berakibat pada penurunan jumlah produksi rokok yang berimbas pada pengurangan tenaga kerja, pengurangan pembelian bahan baku rokok yang pada akhirnya merugikan petani cengkih dan tembakau serta masyarakat luas.

"Berdasarkan pengalaman pengalaman sebelumnya, jika terjadi kenaikan cukai rokok, akan ada pengurangan produksi. Apalagi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah belum lama ini menyesakkan kami. Kenaikan 23 persen. Kemungkinan besar berdampak pada pengurangan Tenaga kerja dan pengurangan pembelian bahan produksi,” papar dia.

Lebih lanjut, Johni memaparkan, akibat kenaikan Cukai dan HJE rokok yang amat tinggi, pihak pengusaha, dan pengelola industri hasil tembakau mengalami kesulitan dalam membuat perencanaan keuangan dan produksi ke depan. Selain itu, pihaknya juga mengalami kesulitan dalam perencanaan cash flow keuangan.

“Kalau pemerintah terlalu tinggi menaikan cukai dan harga jual eceran, yang rugi pemerintah sendiri. Sebab, harga jual rokok menjadi berlipat lipat. Konsumen akan kesulitan membeli rokok yang legal. Akibatnya Konsumen akan membeli rokok yang illegal. Sebab masyarakat perokok itu tidak bisa diberhentikan mendadak karena cukai naik," jelas dia.

"Masyarakat perokok akan mencari rokok yang lebih murah sesuai dengan kemampuan kantungnya. Kemungkinan besar, masyarakat akan beralih ke rokok elektrik atau rokok illegal. Rokok elektrik tidak dikenai cukai, pemerintah tidak mendapatkan apa apa. Selain itu juga sedikit menggunakan kandungan tembakaunya. Akibatnya, pemakaian tembakau sedikit, hal ini merugikan masyarakat petani tembakau juga buruh pabrik rokok,” lanjut dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Rokok Ilegal

Ilustrasi Industri Rokok
Ilustrasi Industri Rokok

Sebaliknya, kata Johni, jika masyarakat tidak beralih ke rokok elektrik, masyarakat akan mencari rokok yang lebih murah. Rokok illegal sasaran mereka. Karena illegal mereka tidak menggunakan cukai. Karena tidak menggunakan pita cukai, pemerintah tidak mendapatkan apapun.

Untuk itu, dia berharap di tahun tahun mendatang, pemerintah khususnya kementrian keuangan tidak lagi membuat kebijakan yang sangat merugikan dan memberatkan masyarakat industri hasil tembakau. Yakni menaikan cukai rokok dan harga juak eceran yang sangat tinggi.

“Karena itu, kami berharap pemerintah tidak lagi menaikan cukai dan HJE Rokok di tahun 2020. Sebab, keijakan pemerintah menaikan cukai dan HJE masing masing sebesar 23 dan 35 persen itu adalah untuk tahun 2020. Nah kami berharap, Tahun 2020 ini tidak ada lagi kenaikan cukai, “ tegas Johni.

Menurut Johni, jika pemerintah ingin menaikkan cukai rokok, setidaknya itu dilakukan di tahun 2021 atau di tahun 2022. Besaran kenaikannya tidak melebihi angka inflasi. Paling banyak 10 persen. Bukan seperti tahun 2019 – 2020 kenaikannya mencapai 23 persen.

“Kami berharap kejadian di akhir tahun 2019 lalu tidak terulang. Kenaikannya sangat memberatkan kami sebagai pelaku usaha di bidang industri hasil tembakau. Kenaikannya jangan melebihi angka inflasi,” papar Johni.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya