Energi Terbarukan Perlu Stimulus untuk Pulihkan Ekonomi dari Pandemi Corona Covid-19

European Union memberikan stimulus berupa feed in tarif untuk pengembangan energi terbarukan.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 30 Nov 2020, 16:29 WIB
Diterbitkan 30 Nov 2020, 16:28 WIB
Kebun Angin Raksasa Pembangkit Tenaga Listrik Segera Diresmikan di Sulsel
Kebun Angin Raksasa Pembangkit Tenaga Listrik Segera Diresmikan di Sulsel.

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyatakan, pengembangan energi terbarukan (renewable energy) perlu mendapat insentif stimulus dalam konteks krisis pandemi Corona Covid-19 saat ini. Menurutnya, itu bisa menjadi salah satu strategi pemulihan ekonomi yang efektif pasca pandemi virus corona.

Fabby berkaca dari pengalaman sejumlah negara seperti China, Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat dan Uni Eropa pada krisis ekonomi periode 2008. Negara-negara tersebut memberikan stimulus dan insentif kepada infrastruktur negara bersih.

"China misalnya, memberikan insentif untuk pengembangan kereta, mass transportation. Ujung-ujungnya, selain memangkas waktu perjalanan dia juga memangkas konsumsi BBM. Kita tahu, China salah satu pengimpor BBM terbesar," tuturnya dalam sesi teleconference, Senin (30/11/2020).

"Kita lihat juga European Union memberikan stimulus berupa feed in tarif untuk pengembangan solar. Dan saat ini sejumlah negara di EU cukup berhasil mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS)," dia menambahkan.

Intinya, ia mengatakan, dari hasil stimulus tersebut bisa dilihat bahwa insentif yang diberikan pada pengembangan energi bersih/terbarukan dapat memberikan tingkat pengembalian ekonomi atau investasi yang lebih tinggi. Selain itu, pemberian stimulus tersebut juga bisa menambah lapangan kerja.

Oleh karena itu, pemberian insentif pada sektor energi terbarukan disebutnya sangat penting bagi kondisi di Indonesia saat ini. Fabby melihat ini sebagai sebuah kesempatan, terutama karena Indonesia punya target pada 2025 ingin mencapai 23 persen energi terbarukan.

Menurut perhitungannya, untuk mencapai target tersebut, maka dari kurun waktu 2020-2025 diperlukan tambahan paling tidak 14-15 gigawatt (GW) kapasitas pembangkitan energi baru. Dan ini membutuhkan ivestasi sekitar USD 5-6 miliar per tahun.

"Artinya, kalau dibutuhkan 15 GW untuk mencapai target 23 persen saja, maka tiap tahun dibutuhkan 2-3 GW. Kalau kita ingin mencapai status dekarbonisasi atau alignment dengan Paris Agreement, maka sebenarnya pada 2050 kita perlu tingkatkan pembangunan energi terbarukan hingga mencapai 70 persen dari total kapasitas pembangkit listrik," paparnya.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Indonesia Perkuat Kerja Sama Pengembangan Energi Terbarukan dengan Denmark

Menteri ESDM Arifin Tasrif Buka Jakarta Energy Forum 2020
Menteri ESDM Arifin Tasrif memberikan sambutan dalam pembukaan Jakarta Energy Forum 2020 di Jakarta, Senin (2/3/2020). Jakarta Energy Forum 2020 tersebut mengangkat tema ‘The Future of Energy’. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif bersama Menteri Iklim, Energi, dan Utilitas Denmark, H.E. Dan Jorgensen membahas kerja sama Indonesia - Denmark dalam kerangka Indonesia Denmark Energy Partnership Programme (INDODEPP), kebijakan iklim dan energi lainnya, dan rencana peningkatan investasi Denmark di Indonesia. Kolaborasi kedua negara tersebut terjalin dalam virtual bilateral meeting, Selasa (24/11).

Di samping itu, dalam pertemuan virtual ini juga dilakukan penandatanganan resmi Protokol Amandemen Kedua Indonesia - Denmark bidang Energi Terbarukan, Bersih dan Konservasi Energi yang merupakan pembaruan dari MoU yang ada dan sekaligus memfasilitasi Kerjasama INDODEPP dan kegiatan kerjasama energi lainnya di masa depan.

"Sejak penandatanganan MoU EBT antara Indonesia - Denmark pada tahun 2015 lalu, Denmark telah menjadi negara yang berperan penting bagi Indonesia. Melalui MoU tersebut, bersama-sama dengan Denmark, kami menjalin kerjasama yang strategis di bidang Energi, di antaranya Energy Modelling, Integrasi EBT, dan efisiensi energi," ungkap Menteri Arifin melalui siaran pers, Rabu (25/11/2020).

Menteri Arifin mengatakan, Penandatanganan Protokol Amandemen Kedua Indonesia - Denmark ini, menjadi bentuk keseriusan kedua negara dalam mencapai tujuan INDODEPP 2020 - 2025. Yakni, memenuhi kebutuhan energi nasional Indonesia secara berkelanjutan dalam memenuhi target NDC, target SDG7 dan SDG13; serta pencapaian target 23 persen energi terbarukan pada tahun 2025.

"Sumber energi yang lebih terjamin, serta akses energi yang terjangkau, nantinya akan membuat energi terbarukan memegang peranan penting dalam membantu pemulihan koondisi ekonomi global pasca Pandemi Covid-19 ini, sehingga Indonesia yang kaya akan sumber energi terbarukan dapat menjadi partner kerjasama yang potensial bagi Denmark untuk berpartisipasi dalam pengembangan dan investasi di sektor EBT," tandasnya.

Sementara Menteri Energi, Utilitas dan Perubahan Iklim Denmark, H.E. Dan Jorgensen menyampaikan bahwa kerjasama antara Indonesia dan Denmark dapat menjadi langkah nyata guna meningkatkan perkembangan energi terbarukan.

"Sehubungan dengan meningkatnya jumlah negara yang berkomitmen untuk melaksanakan netralitas karbon dan keuangan internasional mulai beralih dari batubara dan bahan bakar fosil lainnya, kerja sama antara Indonesia dan Denmark akan menjadi contoh untuk meningkatkan energi terbarukan sekaligus mengurangi ketergantungan pada batubara. Dengan perjanjian ini, kedua negara mengambil langkah bersama untuk memerangi krisis iklim global," ungkap Menteri Jorgensen.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya