Studi: Gen-X Paling Rentan Jadi Pengangguran saat Ini

Pekerja dari generasi-Z yang berusia 45 ke atas mungkin akan menanggung beban krisis pengangguran terbesar secara global akibat pandemi.

oleh Liputan6.com diperbarui 31 Jul 2021, 06:00 WIB
Diterbitkan 31 Jul 2021, 06:00 WIB
20160223-Ilustrasi-Pengganguran-iStockphoto
Ilustrasi Tidak Bekerja atau Pengangguran (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta Pekerja dari generasi-X yang berusia 45 ke atas mungkin akan menanggung beban krisis pengangguran paling besar secara global akibat pandemi. 

Menurut organisasi ketenagakerjaan nonprofit, Generation, melansir dari CNBC, Sabtu (30/7/2021), peralihan serba digital yang begitu cepat selama pandemi juga turut mempercepat otomatisasi pekerjaan dan mempengaruhi usia pekerja di dunia pekerjaan. Misalnya mempersulit pekerja karir menengah untuk mendapatkan pekerjaan.

Dalam studi global yang berjudul Meeting the World’s Midcareer Challenge, pekerja tingkat dewasa dan menengah antara usia 45-60 tahun menghadapi peningkatan hambatan karena adanya bias antara manajer perekrutan dan keengganan pekerja untuk mempelajari keterampilan baru.

“Ini adalah demografi yang benar-benar dibutuhkan dan begitu sangat jelas. Ketika Anda mencapai usia tertentu, maka peluang untuk bekerja pun semakin sedikit,” ujar CEO Generation Mona Mourshed.

Studi lain yang dilakukan pada Maret hingga Mei 2021, melakukan survei dengan melibatkan 3.800 pekerja dan pengangguran dari usia 18-60 tahun, dan 1.404 manajer perekrutan dari tujuh negara.

Terlepas dari keberagaman jenis pekerjaan internasional⎼dari Amerika hingga Inggris dan India hingga Italia⎼ menemukan secara  umum kelompok usia 45-60 tahun paling diabaikan.

Mengingat, selama enam terakhir, individu yang berada pada usia tersebut telah memiliki persentase cukup tinggi yang masuk dalam kategori pengangguran jangka panjang secara konsisten.

 

 

Temuan Lain

Pengangguran, PHK
Semua pekerja (PHK) yang ikut vokasi berkesempatan upskilling, reskilling, agar bisa kembali bekerja atau jadi wirausaha.

Hal menarik yang ditemukan adalah manajer perekrutan secara umum menganggap kelompok usia 45 tahun ke atas adalah kelompok yang buruk dalam hal kesiapan lamaran, kebugaran/kesehatan, dan pengalaman sebelumnya.

Pernyataan tersebut dibuktikan dari pekerja yang lebih tua cenderung mengungguli rekan-rekan mereka yang lebih muda.

Terdapat 9 dari 10 atau 87 persen manajer perekrutan mengatakan bahwa karyawan berusia 45 tahun ke atas sama baiknya⎼atau lebih baik⎼ daripada karyawan yang lebih muda.

Mourshed mengatakan studi ini menyoroti pada bias yang mendasari lingkungan dari tempat kerja tersebut. “Sering kali suka diidentikan dengan hal-hal yang berbau ‘isme’”, paparnya.

Misalnya, ada kecenderungan manajer perekrutan untuk memilih karyawan dalam kelompok usia tersebut.

Sementara itu, wawancara yang berbasis curriculum vitae (CV) dapat mempersulit kandidat untuk menunjukkan atau memperlihatkan keahlian mereka.

 

 

Tenaga Kerja yang Hilang

Pekerja Kantor. Unsplash/Annie Spratt
Pekerja Kantor. Unsplash/Annie Spratt

Pelatihan dapat menjadi solusi dari permasalahan ini. Namun, pada laporan tersebut juga menyoroti permasalahan tentang keengganan untuk melakukan pelatihan di kalangan pencari kerja yang berusia 45 tahun ke atas.

Lebih dari setengah (57 persen) pencari kerja tingkat pemula dan menengah menolak untuk melakukan pelatihan ulang, sedangkan hanya 1 persen yang menjawab pelatihan tersebut berguna untuk meningkatkan kepercayaan diri saat ingin melamar pekerjaan.

Menurut Mourshed, hal tersebut disebabkan karena kurangnya pengalaman pendidikan, perbedaan tugas dan tanggung jawab yang dikerjakan, dan kurangnya dukungan dan program yang tersedia untuk pekerja karir menengah. 

Namun, ia kembali menegaskan bahwa pelatihan tentu dapat memberikan manfaat yang nyata. Dalam studi tersebut, sebanyak 73 persen dari perubahan karier yang dilakukan usia 45 tahun ke atas mengatakan menghadiri pelatihan baru dapat membantu mengamankan posisi/jabatan baru mereka. 

Inilah yang menjadi salah satu solusi yang diajukan ketika perusahaan dan pemerintah saling berargumen mengenai masalah kurangnya tenaga kerja. Solusi-solusi lain yang dijelaskan antara lain sebagai berikut.

  1. Menghubungkan program pelatihan secara langsung dengan peluang kerja dan memberikan tunjangan kepada pekerja usia 45 tahun ke atas.
  2. Mengubah cara perekrutan untuk mengurangi potensi bias usia.
  3. Menilai lebih baik potensi calon pekerja dengan menggunakan latihan berbasis demonstrasi.
  4. Memikirkan kembali pendekatan pelatihan kerja untuk mengisi kekosongan jabatan dengan pekerja berusia 45 tahun ke atas, dibandingkan menggantinya dengan karyawan baru.

“Mengingat sudah tahun 2021, tenaga kerja antargenerasi harus menjadi kenyataan yang ingin diwujudkan oleh perusahaan, tutup Mourshed.

 

Reporter: Caroline Saskia 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya