Liputan6.com, Jakarta - Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 berkisar pada angka 4,7 persen.
“Untuk 2021 kami masih mengharapkan sekitar 3,6 persen. Tapi tahun depan kami mengharapkan di sekitar 4,7 persen,” kata Josua saat Webinar Economic Outlook dikutip dari Antara, Rabu (17/11/2021).
Baca Juga
Pertumbuhan di 2022 tersebut, lanjutnya, tergantung dari bagaimana pemerintah bisa mempercepat implementasi dari UU Cipta Kerja. Jika pemerintah bisa mendatangkan investasi lebih cepat, maka menurutnya pertumbuhan ekonomi pada 2021 bisa mencapai 5 persen.
Advertisement
Kemudian untuk inflasi pada 2022, Josua memperkirakan akan berada pada angka 2,5-2,8 persen dan BI 7 Days Repo Rate berkisar pada 3.75.
“Dengan ekspektasi inflasi yang lebih tinggi, Bank Indonesia berpotensi mempertimbangkan kenaikan suku bunga akhir tahun depan dengan 25 basis poin. Namun, BI dapat memutuskan untuk mempertahankan policy rate ketika inflasi terkendali dan rupiah juga terkendali,” ujar Josua.
Sedangkan untuk nilai tukar rupiah pada 2022, lanjutnya, akan sedikit melemah dibandingkan tahun 2021 karena proses tapering dan tarif pajak yang tinggi.
Ia berharap pada 2022, seluruh industri akan mulai pulih secara bertahap yang sejalan dengan perbaikan ekonomi domestik, penurunan jumlah kasus COVID-19 di banyak negara serta relaksasi dari pembatasan mobilitas masyarakat. Sehingga, akan berdampak pada meningkatnya permintaan terhadap produk industrial.
Kendati demikian, masih ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi industri. Pertama tapering dan kemungkinan kenaikan suku bunga pada 2022 yang berpotensi memperkuat nilai dolar AS.
“Kenaikan dolar AS yang lebih kuat akan menekan kinerja Industri yang mengandalkan bahan baku impor dan produknya ditujukan untuk pasar dalam negeri,” jelasnya.
Tantangan Selanjutnya
Tantangan kedua adalah kenaikan suku bunga yang juga berpotensi meningkatkan beban keuangan industri. Selain itu, harga bahan baku dan energi secara global sedang dalam tren meningkat. Akibatnya, biaya produksi industri akan meningkat dan para pelaku industri dapat terus menaikkan harga bahan baku ke konsumen, yang berujung pada inflasi.
“Namun dalam kondisi pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19, kami memperkirakan kemampuan konsumen menyerap kenaikan harga akan berkurang,” tuturnya.
Kemudian tantangan lainnya adalah masalah rantai pasok di tingkat global yang sepertinya tidak akan berkurang, lalu masalah logistik karena ketersediaan kontainer yang akan menghambat aliran bahan baku di seluruh dunia.
“Pemberlakuan pajak karbon pada 2022 juga diperkirakan akan dapat meningkatkan biaya produksi industri. Selain itu, efek pajak karbon pada industri akan memburuk jika negara lain belum sepenuhnya menerapkan pajak karbon ini,” kata dia.
Advertisement