Liputan6.com, Jakarta Pertamina disebut mengalami kerugian akibat penjualan bahan bakar minyak jenis Solar. Bahkan, disebutkan nilai selisih cukup tinggi dari solar subsidi ke non-subsidi.
Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P. Sasmita menyebut Pertamina tak seharusnya bicara untung-rugi penjualan solar lebih dulu. Ronny menilai besaran selisih yang disebut Pertamina pun kurang tepat.
Baca Juga
"Direktur Pertamina mengatakan jika subsidi solar, jika berpatokan pada harga dunia saat ini sekitar USD 120 per barel, adalah sekitar Rp 7.800-an per liter, dengan memgambil baseline perhitungan dari harga Dexlite yang sekitar Rp. 12.000 - 1.3000 per liter," katanya kepada Liputan6.com, Sabtu (2/3/2022).
Advertisement
"Namun perhitungan dengan baseline harga jual Dexlite tersebut terlalu dipaksakan, karena harga tersebut sudah termasuk keuntungan untuk Pertamina, selain harga produksi dan transportasi," imbuhnya.
Sebelumnya, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menyampaikan harga jual solar subsidi saat ini masih jauh dengan harga keekonomiannya. Nicke menyebut selisihnya hingga Rp 7.800 per liter.
"Jika berpatokan pada harga Crude Oil saat ini, katakanlah USD 120 per barel, dibulatkan jadi USD 124 dengan biaya shipping dan transpor, total harga Solar ya sekitar Rp 10.500 - Rp 11.000 lah. Jadi ya disparitasnya sekitar Rp. 6000 lah, bukan Rp. 7800, terlalu berlebihan. Jangan dihitung juga margin keuntungan pertamina, karena perbandingannya ke Solar subsidi," kata Ronny.
Mengacu harga patokan yang ada di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) besaran ICP (Indonesia Crude Price) diproyeksi sebesar USD 63 per barel. Menurut hitungannya, nilai ini sudah tepat jika menjual solar subsidi d8 angka Rp 5.500-5.150 per liter.
"Kenaikan harga saat ini bukanlah kenaikan permanen. Ada imbas perang Rusia-Ukraina. Kita belum tau kemana arah perang ini. Namun sinyal ke arah titik temu sudah mulai terlihat. Sementara patokan APBN adalah harga rata-rata untuk satu tahun. Akumulasi harga rata-rata selama dua belas dibagi dua belas bulan. Itulah harga ICP APBN," terangnya.
"Jadi jangan terlalu buru-buru mengatakan Pertamina bakal rugi karena saat ini baru bulan Maret. Boleh jadi nanti median harga ICP 2022 memang USD 63 atau hanya lebih sedikit, misalnya USD 70 atau USD 75. Jadi jangan terlalu berambisi berhitunh untung rugi," tambah dia.
Â
Perubahan APBN
Kemudian Ronny menilai, jika ternyata sampai pertengahan tahun ini trend pergeseran harga memang naik, tentu pemerintah bisa mengajukan perubahan harga ICP dalam APBN perubahan dan mengakomodir kepentingan Pertamina. Namun, jelas tidak berpatokan pada kenaikan harga harian, tapi kepada proyeksi harga tahunan.
"Dan keempat, di saat seperti inilah sebenarnya peran publik Pertamina dibutuhkan. Di saat situasi terkendali, tak ada yang mempermasalahkan keuntungan Pertamina, contohnya saat harga terjun bebas di awal pandemik. Toh tidak ada yang meminta Pertamina menurunkan harga," tuturnya.
Di sisi lain, ia menilai situasi harga tinggi seperti hari ini, maka saatnya Pertamina menjalankan peran publiknya sebagai BUMN.
"Jangan melulu bicara untung, karena Pertamina punya tanggung jawab konstitusional yang berbeda dengan perusahaan swasta. Jadi buat direktur pertamina tahan bicara dulu karena harga minyak dunia hari ini belum tentu harga median untuk tahun ini," tukasnya.
Advertisement