Indonesia Justru Rugi Kalau BI Naikkan Suku Bunga Acuan

BI tahan suku bunga acuan setelah melihat inflasi inti. Tercatat, inflasi inti pada Juni 2022 masih di bawah 3 persen atau 2,63 persen.

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Jul 2022, 18:15 WIB
Diterbitkan 25 Jul 2022, 18:15 WIB
BI Turunkan Bunga Acuan 25 BPS Jadi 5,5 Persen
Gubernur BI Perry Warjiyo memberi keterangan kepada media di Jakarta, Kamis (22/8/2019). Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI memutuskan untuk menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,50 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 20-21 Juli 2022 memutuskan untuk mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR) sebesar 3,50 persen suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25 persen.

Kepala Grup Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Wira Kusuma menjelaskan, BI menahan suku bunga acuan setelah melihat inflasi inti. Tercatat, inflasi inti pada Juni 2022 masih di bawah 3 persen atau 2,63 persen.

"Seperti yang saya jelaskan tadi dasar yang membuat kita mempertahankan suku bunga adalah sumber dari inflasi itu," ujarnya dalam Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) di Jakarta, Senin (25/7/2022).

Selain itu, keputusan BI untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 3,50 persen untuk mempertahankan tren pemulihan ekonomi nasional. Sebab, kenaikan suku bunga acuan dikhawatirkan akan menghambat pemulihan ekonomi di tengah situasi penuh ketidakpastian akibat konflik Rusia dan Ukraina serta pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai.

"Kita melihat saat ini proses pemulihan sedang berlangsung. Nah, kalau misalnya pemulihan yang berlangsung terhambat itu akan merugikan perekonomian kita," bebernya.

Sedangkan analis Ibrahim As Suhaimi menilai keputusan yang diambil Bank Indonesia sudah tepat dengan mempertahankan suku bunga acuan di level 3,5 persen. "BI tetap pertahankan suku bunga ini mutlak harus dilakukan karena kondisi ekonomi saat ini cukup bagus," kata Ibrahim.

Menurutnya, saat ini kondisi ekonomi Indonesia masih perlu dukungan untuk pemulihan. Kondisi ekonomi saat ini pun tumbuh cukup baik yang didorong sejumlah indikator.

"Data neraca perdagangan Indonesia bagus, cadangan devisa juga bagus dan (level) manufaktur masih di atas 50," kata dia.

Berbagai indikator tersebut menunjukkan kondisi ekonomi di Asia, khususnya Indonesia cukup berdaya tahan di tengah gejolak yang terjadi di tingkat dunia. Semisal kenaikan suku bunga The Fed yang tinggi dan inflasi tinggi di sejumlah negara.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


BI Prediksi Inflasi IHK 2022 Bisa Tembus 4,6 Persen

FOTO: Inflasi Indonesia Diklaim Terendah di Dunia
Aktivitas perdagangan di Pasar Senin, Jakarta, Rabu (22/6/2022). Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengklaim inflasi Indonesia menjadi yang paling rendah dibandingkan negara lain. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) memperkirakan inflasi 2022, yakni inflasi Indeks Harga konsumen (IHK) di kisaran 4,2 persen hingga 4,6 persen. Sedangkan, inflasi inti diprediksi mencapai 2-4 persen.

Hal itu disampaikan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dalam Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan Bulan Juli 2022 dengan Cakupan Triwulanan, Kamis (21/7/2022).

Perry menjelaskan, harus bisa membedakan antara inflasi IHK dengan inflasi inti. Bulan lalu inflasi IHK di kisaran 4,35 persen tapi inflasi inti sebesar 2,63 persen. Inflasi inti adalah inflasi yang mencerminkan antara keseimbangan permintaan dan penawaran di dalam ekonomi nasional.

“Inflasi inti 2,63 persen menunjukkan meskipun permintaan di dalam negeri itu meningkat tapi masih terpenuhi dengan kapasitas produksi nasional. Disinilah kenapa tekanan-tekanan inflasi dari fundamental yang tercerminkan pada inflasi inti masih terkelola,” kata Perry.

Sementara, inflasi IHK sebesar 4,35 persen terutama diakibatkan oleh kenaikan harga pangan volatile food sebagai dampak dari harga komoditas pangan Global yang tinggi dan gangguan mata rantai pasokan.

“Pada bulan lalu inflasi volatile food mencapai lebih dari 10 persen, administered prices tentu saja tergantung dari kebijakan fiskal dalam hal ini Harga energi, listrik, gas yang disubsidi tidak naik. Tetapi ada kenaikan harga-harga energi yang non subsidi pertamax maupun yang lain-lain,” jelasnya.

Inilah sumber kenaikan inflasi dari IHK, terutama dari inflasi harga pangan karena dampak global dan juga kenaikan harga energi yang tidak disubsidi oleh pemerintah.

 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS


Sisi Penawaran

BI juga memperkirakan tekanan-tekanan inflasi ke depan akan lebih bersumber dari inflasi sisi penawaran yaitu, dari sisi harga pangan dan harga energi yang tidak disubsidi. Dengan perkembangan perkembangan harga komoditas dunia yang terus naik.

“Disinilah kami perkirakan inflasi akhir tahun ini bisa lebih tinggi dari 4,2 persen (bahkan) bisa mencapai 4,5 -4,6 persen itu inflasi IHK. Sekali lagi karena kenaikan harga pangan dan harga energi yang tidak disubsidi oleh pemerintah,” ujarnya.

Sedangkan perkiraan inflasi inti masih dapat terjaga di dalam batas sasaran 2 – 4 persen, dalam arti belum melebihi 4 persen.

 Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

Infografis Prediksi Perekonomian 60 Negara Bakal Ambruk. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Prediksi Perekonomian 60 Negara Bakal Ambruk. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya