BI Ramal The Fed Turunkan Suku Bunga hanya Sekali di 2025

Bank Indonesia memprediksi suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) atau Fed Funds Rate (FFR) hanya akan mengalami penurunan sekali pada tahun 2025.

oleh Tira Santia diperbarui 07 Feb 2025, 17:00 WIB
Diterbitkan 07 Feb 2025, 17:00 WIB
irektur Departemen Kebijakan Ekonomi & Moneter (DKEM) Bank Indonesia, Juli Budi Winantya, dalam media brieding di Aceh, Jumat (7/2/2025)
irektur Departemen Kebijakan Ekonomi & Moneter (DKEM) Bank Indonesia, Juli Budi Winantya, dalam media brieding di Aceh, Jumat (7/2/2025). (Dok: Tira)... Selengkapnya

Liputan6.com, Aceh Bank Indonesia memprediksi suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) atau Fed Funds Rate (FFR) hanya akan mengalami penurunan sekali pada tahun 2025. Sementara, penurunan suku bunga ini kemungkinan besar hanya akan terjadi pada semester II-2025.

"Kita berpikirkan juga di Bank Indonesia akan lebih sedikit atau lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan semula. Kita berpikir ke depan FFR akan cut 1 kali di 2025 ini yang dilakukan di semester II," kata Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi & Moneter (DKEM) Bank Indonesia, Juli Budi Winantya, dalam media brieding di Aceh, Jumat (7/2/2025).

Menurut Juli, perlambatan penurunan suku bunga The Fed tersebut imbas dari tiga kebijakan utama yang diterapkan Pemerintah AS.

Tiga kebijakan tersebut diantaranya kebijakan tarif dagang, kebijakan pajak (tax), dan kebijakan tenaga kerja. Ketiga kebijakan ini berpotensi meningkatkan ketidakpastian global.

Prospek Inflasi AS

Ketidakpastian ini berimbas langsung pada inflasi dan prospek kebijakan moneter, termasuk penurunan Federal Funds Rate (FFR), yang diperkirakan akan lebih lambat dari yang sebelumnya diperkirakan.

"Jadi, hal tadi yang saya sebutkan kebijakan tarif, kebijakan tax, kebijakan tenaga kerja, ini mengakibatkan ketidakpastian di global. Akibatnya inflasi tadi akan lebih tinggi. Ekspektasi penurunan FFR ini tentunya berbeda-beda gitu ya. Sehingga kita akan lebih lambat dari perkiraan semula," jelasnya.

 

Dampak terhadap Defisit Fiskal dan Yield

Tukar Uang Rusak di Bank Indonesia Gratis, Ini Syaratnya
Karyawan menghitung uang kertas rupiah yang rusak di tempat penukaran uang rusak di Gedung Bank Indonessia, Jakarta (4/4). Selain itu BI juga meminta masyarakat agar menukarkan uang yang sudah tidak layar edar. (Merdeka.com/Arie Basuki)... Selengkapnya

Selain inflasi, kebijakan pajak yang diterapkan juga berkontribusi terhadap peningkatan defisit fiskal dan yield yang lebih tinggi. Kenaikan yield ini membuat imbal hasil investasi di Amerika Serikat menjadi lebih menarik bagi investor global.

Kondisi ini turut menciptakan ketidakpastian di pasar global, yang berdampak pada pergeseran aliran modal internasional.

"Selain FFR, tadi juga tax itu berdampak ke defisit fiskal dan ke yield, yieldnya juga akan lebih tinggi. Sehingga imbalan hasil di US akan lebih menarik. Dan ini yang mengakibatkan ketidakpastian di pasar global," ujarnya. Dampak Perlambatan Suku Bunga The Fed kepada Aliran Modal Negara Berkembang

Adapun sebagai dampak dari kebijakan ekonomi global yang menciptakan ketidakpastian, Bank Indonesia melihat aliran modal ke negara berkembang cenderung mengalami penurunan.

Investasi dari negara berkembang, yang sebelumnya mengalir ke pasar negara-negara berkembang, kini banyak yang beralih ke Amerika Serikat.

 

Modal Lari ke AS

Dua Penembakan Massal di AS
Bendera Amerika Serikat berkibar setengah tiang di Gedung Putih, Washington DC, Minggu (4/8/2019). Presiden Donald Trump memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang di semua gedung pemerintah untuk mengenang korban tewas dalam dua penembakan massal di El Paso, Texas, dan Ohio. (AP/Andrew Harnik)... Selengkapnya

Dengan yield yang lebih tinggi dan prospek penurunan FFR yang lebih lambat, modal cenderung berfokus ke pasar Amerika Serikat.

Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya aliran modal ke negara-negara berkembang atau bahkan mengalami keluar (outflows) dari pasar negara berkembang.

"Ini berakibat kepada aliran modal negara berkembang. Karena tadi kondisi FFR yang penurunannya tidak sempat terkira, yieldnya juga tinggi. Ini kan harus modalnya tentunya bergeser dari negara-negara ke baik negara maju atau negara berkembang ke Amerika Serikat," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya