Liputan6.com, Jakarta - Menteri Luar Negeri Bangladesh AK Abdul Momen mendorong perusahaan-perusahaan yang mendapat keuntungan dari dampak perang Rusia-Ukraina untuk memberi kompensasi kepada negara-negara miskin yang terkena dampak.
Pernyataan itu disampaikan AK Abdul Momen di sela-sela KTT menteri luar negeri G20 di New Delhi.
Baca Juga
"Dalam perang ini, beberapa perusahaan menghasilkan laba yang tidak terkendali... perusahaan energi dan perusahaan pertahanan," kata AK Abdul Momen, dikutip dari CNBC International, Jumat (3/3/2023).
Advertisement
"Oleh karena itu, kami akan berargumen bahwa perusahaan-perusahaan yang menghasilkan keuntungan tak terkendali, mereka harus mendedikasikan setidaknya 20 persen dari keuntungannya untuk negara-negara yang paling terpengaruh seperti kami," ujarnya, tanpa menyebut nama perusahaan tertentu.
Komentarnya muncul setelah peringatan satu tahun perang Rusia-Ukraina. Beberapa bulan lalu, Bank Dunia memperkirakan ekonomi Ukraina telah menyusut sebanyak 35 persen sejak perang pecah pada Februari 2022.
"Tentu saja, kami membeli energi dari luar negeri. Tapi biaya energi melonjak, mengakibatkan inflasi tinggi. Kami berusaha mengendalikan inflasi dengan memberikan subsidi dan itu merugikan pemerintah," ucap Menlu Bangladesh.
"Oleh karena itu, kami ingin akhir perang. Kami percaya pada negosiasi damai," tuturnya.
AK Abdul Momen lebih lanjut menyerukan negara-negara G20 untuk menjadikan kompensasi dari dampak konflik terrsebut sebagai langkah yang wajib.
"Para pemimpin G20, mereka dapat mewajibkan semua perusahaan itu untuk membayar sebagian dari laba mereka yang tidak terkendali ke negara-negara yang paling terkena dampak," tambahnya.
Menlu Bangladesh : Dampak Perang Rusia Ukraina Rugikan Negara Miskin
Selain itu, Menteri luar negeri Bangladesh juga mengatakan bahwa ketahanan pangan menjadi masalah lain yang sedang diperjuangkan, dan perlu ditangani oleh para pemimpin G-20.
Dia juga mengkritik sanksi Barat yang dikenakan pada Rusia, dengan mengatakan bahwa tindakan tersebut paling merugikan negara-negara berkembang.
"Kami sangat kesal juga karena perang ini…. telah memutus rantai pasokan serta mekanisme transisi keuangan. Dan ini merugikan kita, sangat merugikan negara berkembang yang miskin," tandas AK Abdul Momen.
"Lain kali, ketika mereka datang dengan sanksi dan sanksi balasan, mereka setidaknya harus berkonsultasi dengan orang-orang seperti kita – negara-negara berkembang – untuk mengetahui seberapa besar kerugian yang akan mereka alami. Dan harus menciptakan mekanisme sehingga negara-negara yang akan dirugikan- bahwa mereka harus diberi kompensasi," tambahnya.
Advertisement
Raksasa, Simak Kerugian Ekonomi Global dari Perang Rusia Ukraina
Perang Rusia Ukraina telah merugikan ekonomi global hingga lebih dari USD 1,6 triliun pada 2022 lalu.
Hal itu diungkapkan dari sebuah penelitian yang dirilis oleh German Institute of Economics.
Mengutip Anadolu Agency, Kamis (23/2/2023) penelitian German Institute of Economics juga mengungkapkan bahwa, kerugian produksi global akibat perang Rusia Ukraina dapat bertambah USD 1 triliun atau lebih di tahun 2023 ini.
Penghitungan model lembaga ini didasarkan pada produk domestik bruto (PDB). Prakiraan dari Dana Moneter Internasional (IMF) menjadi dasar perhitungan dan estimasi.
Dalam studi ini, perkembangan aktual PDB pada 2022 dan perkiraan untuk tahun 2023 dibandingkan dengan perkembangan yang dilihat semula sebelum pPerang Rusia Ukraina pada akhir tahun 2021.
Seperti diketahui, konflik Rusia Ukraina telah memicu gangguan pasokan dan produksi di seluruh dunia. Selain itu, harga energi juga meroket. Masalah ini diperburuk dengan lonjakan inflasi di negara negara maju, yang mengurangi daya beli konsumen.
"Mengingat prospek ekonomi yang tidak pasti, kenaikan biaya pembiayaan akibat kenaikan suku bunga di seluruh dunia dan kenaikan biaya barang modal, perusahaan di seluruh dunia menahan investasi mereka," beber studi German Institute of Economics.
Namun untuk tahun ini, penulis studi memperkirakan kerugian absolut akan sedikit lebih rendah daripada tahun 2022.
Alasan dari perkiraan itu adalah, karena adanya pelonggaran pasar bahan baku dan energi global.
Krisis Energi Bisa Bikin 141 Juta Orang Masuk Jurang Kemiskinan Ekstrem
Krisis energi yang dipicu oleh perang Rusia-Ukraina berisiko mendorong 141 juta orang di seluruh dunia ke dalam kemiskinan ekstrem.
Hal itu diungkapkan oleh laporan baru yang diterbitkan dalam jurnal Nature Energy.
Melansir CNN Business, Selasa (21/2/2023) dalam jurnal Nature Energy para peneliti dari Belanda, Inggris, China, dan Amerika Serikat membuat model dampak kenaikan harga energi di 116 negara dan menemukan bahwa pengeluaran rumah tangga meningkat rata-rata hingga 4,8 persen.
Naiknya pengeluaran ini karena harga batu bara dan gas alam melonjak menyusul pecahnya perang Rusia-Ukraina, menambahkan kenaikan pasca pandemi.
Di negara-negara berpenghasilan rendah, laporan tersebut mengatakan rumah tangga miskin yang sudah menghadapi kekurangan pangan yang parah memiliki risiko kemiskinan yang lebih besar karena biaya energi yang tinggi.
Tak hanya itu, rumah tangga di negara-negara berpenghasilan tinggi juga merasakan dampak kenaikan biaya energi, tetapi lebih mungkin untuk menyerapnya ke dalam anggaran rumah tangga, kata laporan itu.
Selain itu, sejumlah negara juga ada yang sangat terekspos dengan lonjakan biaya energi.
Salah satunya, kenaikan biaya energi di Estonia, Polandia, dan Republik Ceko berada di atas rata-rata global, terutama karena negara-negara tersebut lebih mengandalkan industri padat energi. Polandia khususnya mengandalkan batu bara untuk 68,5 persen pembangkit energinya, pada tahun 2020.
Kenaikan biaya energi yang disebabkan oleh krisis di Ukraina juga berdampak pada meningkatnya biaya kebutuhan pangan.
Dibandingkan tahun lalu, harga telur di AS naik 70,1 persen, margarin naik 44,7 ersen, mentega 26,3 persen, tepung 20,4 persen, roti 14,9 persen, gula 13,5 persen dan harga ayam naik 10,5 persen bersama-sama dengan buah, menurut data inflasi yang dirilis Biro Statistik Tenaga Kerja AS bulan ini.
Advertisement