Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD mengungkap dugaan transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan dengan nilai total Rp 349 triliun. Sebagian diantaranya diduga tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Bahkan, menurut temuan Mahfud, ada transaksi janggal berupa manipulasi keterangan soal impor emas batangan di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu. Nilainya mencapai Rp 189 triliun, ini masih jadi bagian dari nilai total Rp 349 triliun yang diungkap Mahfud.
Baca Juga
Mahfud memulai cerita dengan menduga ada penutupan akses informasi yang seharusnya diterima Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Ini berkaitan dengan adanya nilai transaksi sebesar Rp 189 triliun.
Advertisement
Menurut Mahfud, yang dijelaskan oleh Sri Mulyani sebelumnya adalah mengacu pada data per 14 Maret 2023, setelah bertemu Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana.
"Sehingga disebut yang terakhir itu, yang semula, ketika ditanya oleh bu Sri Mulyani, 'itu ini apa kok ada uang Rp 189 (triliun)', itu pejabat tingginya yang eselon 1 (menjawab) 'Oh ndak ada bu disini dak pernah ada, ini tahun 2020, ndak pernah ada'," tutr Mahfud MD mengisahkan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI, ditulis Kamis (30/3/2023).
Namun, setelah diteliti, ternyata ada laporan dengan angka yang sesuai sebesar Rp 189 triliun. Ini merupakan laporan dugaan TPPU di lingkup Ditjen Bea Cukai yang kata Mahfud melibatkan 15 entitas.
"Tapi apa laporannya, menjadi Pajak, sehingga kita diteliti, 'oh iya ini perushaaannya banyak hartanya banyak, pajaknya kurang.' Padahal ini Cukai laporannya ini. Apa itu? Emas," ungkap Mahfud.
Manipulasi
Temuan lainnya dikantongi Mahfud MD. Yakni soal manipulasi mengenai impor emas tadi. Menurut temuannya, dalam laporan cukai disebutkan emas mentah.
Padahal, yang diproses adalah emas batangan dengan nilai jauh lebih besar. Setelah ditelusuri, ada pengakuan dari oknum kalau pencetakan emas itu dilakukan di pabrik di Surabaya, yang kemudian tidak ditemukan buktinya.
"Impor emas, batangan yang mahal-mahal itu tapi didalam cukainya itu dibilang emas mentah. Diperiksa, diselidiki dimana 'kamu kan emasnya sudah jadi kok bilangnya emas mentah?' 'Ndak, ini emas mentah tapi dicetak di Surabaya,'. Dicari di Surabaya ndak ada pabriknya. Dan itu nyangkut uang miliaran saudara, ndak diperiksa," ungkapnya.
"Laporan itu diberikan tahun 2017, oleh PPATK bukan tahun 2020, 2017 diberikan tak pakai surat, tapi diserahkan oleh Ketua PPATK langsung kepada Kemenkeu yang diwakili Dirjen Bea Cukai, Irjen Kemenkeu dan 2 orang lainnya, nih serahkan. Kenapa tak pakai surat? Karena ini sensitif, masalah besar," sambung Mahfud menjelaskan.
Transaksi Janggal Rp 349 Triliun
Menteri Koordinator bida Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD membeberkan duduk perkaran dugaan transaksi mencurigakan senilai Rp 349 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan. Bahkan dia membaginya menjadi 3 kelompok.
Masing-masing kelompoknya memiliki nilai transaksi mencurigakan yang melibatkan entitas di Kemenkeu. Mukai dari Rp 35 triliun, hingga Rp 200-an triliun, maka jika ditotal akan berjumlah Rp 349 triliun.
"Nih, transaksi keuangan yang Rp 339 triliun itu dibagi ke 3 kelompok. Satu, transaksi keuanhan mencurigakan di pegawai Kemenkeu, kemarin bu Sri Mulyani di Komisi XI (DPR RI) menyebut hanya Rp 3 triliun, yang benar Rp 35 triliun," bebernya dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI, ditulis Kamis (30/3/2023).
Kedua, ada transaksi mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dengan nilai sekitar Rp 53 triliun. Ketiga, transaksi keuangan terkait kewenangan Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal dan tindak pencucian uang yang belum diperoleh data sebesar Rp 260-an triliun.
"Sehingga jumlahnya Rp 349 triliun, fix. Nanti kita tunjukkan suratnya," sambung Mahfud.
Mahfud menerangkan, kalau keterangan lengkap mengenai laporan itu belum sampai ke tangan Sri Mulyani. Dia juga menduga ada kesengajaan menghalangi informasi ke Sri Mulyani yang dilakukan pejabat dibawa Kemenkeu.
"Nah ketika ditanya bu menteri, bu menterinya kaget, karena tak masuk suratnya. Karena yang menerima surat (laporan lengkap transaksi janggal) by hand itu, ya orang yang ada disitu, yang bilang 'bu ndak ada surat itu'. 'Loh kata PPATK ini ada suratnya'. Baru dijelaskan tapi beda," bebernya.
Advertisement
Ada Perbedaan
Perbedaan yang dimaksud Mahfud adanya soal substansi dari laporan yang termuat. Dalam salah satu surat yang disampaikannya, berbicara mengenai perkara di lingkup Ditjen Bea dan Cukai. Namun, diterjemahkan oleh tim Kemenkeu adalah perkara di lingkup perpajakan.
"Ini laporannya pencucian uang di bidnag Bea Cukai, lalu yang dihitung pajak, ya sedikit dong jadinya (angka yang muncul). Berapa yang terlibat? Nih, yang telribat disini jumlah entitasnya 491 orang," ungkap Mahfud MD.
Dia mengatakan hal ini membuat adanya perbedaan angka yang dijelaskan oleh Menkeu dan menurut temuannya. Mahfud bilang, banyaknya entitas yang terlibat berdasar pada perkara yang ada.
Jika masuk dalam TPPU, maka bisa jadi entitas yang terlibat bisa lebih banyak, maka tidak heran kalau angka dugaan transaksinya pun menjadi lebih besar. Dengan demikian, dia mewajarkan ada perbedaan angka antara data yang disampaikan Menkeu dan dimiliki olehnya.
"Kalau saya ketangkap korupsi, nih istri saya, anak saya, ayah saya, apalagi perusahaan cangkang itu kan banyak itu entitasnya. Nah yang kasus Rp 189 triliun itu saudara adalah ya, itu untuk 15 entitas tapi hanya dikeluarkan (dibahas) 1 entitas, padahal di laporan kami 15, Ini ini ini, lalu diambil 1, 'ini sudaha selesai (urusan) pajak,' katanya," kata Mahfud menganalogikan.
"Kenapa (angkanya hanya) Rp 200 (triliun). Betul Rp 200 (triliun) yang sampai ke kemenkeu. Karena yang Rp 100 (triliun), disampaikan ke LHA lain tapi terkait dengan pajak dan bea cukai cuma langsung ke LHA. Jadi 300 yang terkait dengan itu dimana salahnya? Kan tinggal kita katakan, ini ada yang diserahkan ke kemenkeu sebagai penyidik ada yang langsung ke polisi, KPK, ke Kejagung dan macam-macam," pungkas Mahfud MD.