Liputan6.com, Aru - Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengecam perbudakan ribuan nelayan dari sejumlah negara di Asia Tenggara yang diduga terjadi di Aru, Maluku. Negeri Paman Sam pun mengancam akan menghentikan impor ikan yang diketahui berasal dari kerja paksa.
"Kami mengecam dengan keras praktik kerja paksa dalam bentuk apapun termasuk di sektor perikanan dan aturan di Amerika Serikat melarang impor barang hasil perbudakan," kata Deputi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat urusan Lingkungan Hidup Catherine A Novelli, yang ditulis pada Sabtu (4/4/2015).
Adanya dugaan perbudakan nelayan di Indonesia menjadi sorotan dunia setelah Kantor Berita Associated Press (AP) menyiarkan hasil investigasi selama satu tahun mengenai nasib ribuan pekerja yang dipaksa mencari ikan oleh PT Pusaka Benjina Resources, perusahaan penanaman modal Thailand di Indonesia.
Para korban yang disebutkan berasal dari Myanmar, Kamboja, dan Thailand itu dipaksa bekerja dalam kondisi menyedihkan oleh seorang kapten kapal asal Thailand. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IMO) menduga bahwa jumlah pekerja paksa diperkirakan mencapai lebih dari 4.000 orang.
Mereka dikabarkan dipaksa bekerja selama 20-22 jam sehari tanpa hari libur. Selama itu juga, mereka dikabarkan minum air kotor. Jangankan upah yang dijanjikan, sekadar makan yang pantas saja tidak diberikan.
"Banyak pemberitaan di Amerika Serikat soal perbudakan nelayan dan ini merefleksikan kepedulian publik di negara kami pada persoalan tersebut," kata Catherine.
Menurut keterangan Novelli, Amerika Serikat sebagai importir ikan terbesar kedua di dunia, sampai saat ini belum menjalin kerja sama dengan Indonesia untuk melacak produk-produk laut ilegal.
Dia juga mengatakan pihaknya belum bisa melacak asal ikan dari hasil perbudakan sehingga ada kemungkinan produk tersebut sampai ke konsumen Amerika Serikat.
Respons Menteri Susi
Terkait hal itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan bahwa pemerintah serius menangani kasus perbudakan anak buah kapal (ABK) yang terjadi di PT Pusaka Benjina Resources (PBR) di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku.
"Kami serius menangani persoalan perbudakan di Benjina. Meski ABK bukan warga negara kita, tapi itu terjadi di wilayah negara kita," ujar Susi saat menghadiri peringatan Hari Nelayan 2015 bersama Torabika di Ketapang Doyong, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, Sabtu (4/4/2015).
Dia menambahkan, penanganan kasus yang terjadi di Benjina merupakan upaya pemerintah untuk menertibkan perusahaan perikanan di Tanah Air. Berdasarkan temuan sementara diketahui bahwa ABK asal Myanmar dan Kamboja yang dipekerjakan PT PBR, telah bekerja 22 jam setiap hari.
Menteri Susi sebelumnya sudah mengeluarkan kebijakan larangan pengiriman hasil ikan milik PT PBR termasuk ke pasar ekspor. Bu Menteri juga meminta seluruh operasional kapal tangkap PBR dihentikan. "Saya juga meminta perusahaan untuk peduli terhadap kesejahteraan nelayan," kata Susi dalam acara peringatan Hari Nelayan.
Sementara itu, pejabat sekda Kepulauan Aru, Maluku, Arens Uniplaitta mengatakan, pihaknya menyayangkan pemberitaan Associated Press terkait isu perbudakan nelayan. Menurut dia, kabar yang kurang bisa dipertanggungjawabkan ini bisa merusak citra Indonesia di mata dunia.
"Saya dan sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) teknis ke Benjina dan melakukan pengawasan, baik di lokasi perusahaan maupun kapal ternyata pemberitaan media massa, terutama laporan investigasi Associated Press, ternyata kurang bisa dipertanggungjawabkan," kata Arens, baru-baru ini.
Dikatakan dia, fakta yang sebenarnya adalah terdapat ruang karantina khusus di Benjina untuk oknum nelayan yang mabuk dan berkelahi di kapal. "Para oknum nelayan itu dikarantina sehingga tidak diperkenankan mengikuti pelayaran kapal penangkap ikan dengan jaminan makanan dan lainnya diatur manajemen PT PBR."
Menurut Arens, PT PBR terkena imbas pemberlakukan moratorium yang digagas Menteri Susi sehingga armada penangkap ikannya berlabuh di Perairan Benjina. "Kami dilaporkan manajemen PT PBR bahwa sebanyak 82 unit kapal ikan terkena pemberlakukan moratorium dengan ABK mencapai 1.000 orang lebih."
Sebelumnya beredar laporan investigasi wartawan AP soal adanya dugaan perbudakan yang terjadi di atas kapal bernama Pusaka Benjina Resources. Kapal yang diketahui berasal dari Thailand itu menangkap ikan di perairan Timur Indonesia.
Laporan berisi wawancara lebih dari 40 anak-anak yang mengaku dijadikan budak. Anak-anak yang sebagian besar dari Myanmar itu dilaporkan dikurung di dalam kandang dan dipaksa menangkap ikan tanpa upah. Selanjutnya ikan-ikan itu dibawa ke Thailand untuk selanjutnya dipasarkan ke seluruh dunia seperti Amerika Serikat. (Ant/Riz/Ein)