Liputan6.com, Beijing - Sebelum malapetaka datang, alam diyakini telah memberikan pertanda. Dengan mata kepala sendiri, warga menyaksikan hal-hal aneh terjadi.
Permukaan sumur di luar kota Tangshan di Tiongkok naik turun tiga kali sehari. Di desa lain gas keluar dari sumber air warga.
Tikus-tikus berlarian pada siang bolong, ikan-ikan di akuarium gelisah dan mencoba melompat keluar.
"Cuaca sangat panas, beberapa hari sebelum gempa, anjing dan ayam menolak masuk ke bangunan," kata Yao Guangqing, pegawai pemerintah, seperti dikutip dari situs Danwei, Rabu (26/7/2016).
Sikap manusia pun berubah. Malam sebelum gempa, ada pertunjukan layar tancap. Butuh waktu empat jam untuk menayangkan satu film saja. Orang-orang gelisah dan gampang marah, berkali-kali jalan cerita dihentikan di tengah jalan gara-gara perkelahian antar-penonton.
Sebelum fajar menyingsing, 28 Juli 1976, para peternak di Kaokechuang juga menjumpai hal tak biasa. Kala itu, mereka berniat memberikan pakan sesuai jadwal.
Bukannya makan, kerumunan kuda dan keledai justru mengamuk. Mereka melompat dan menendang sejadinya. Setelah menjebol kandang, hewan-hewan itu lari tunggang langgang.
Beberapa menit kemudian, kilatan cahaya putih menyilaukan terlihat di langit. Gemuruh yang luar biasa keras terdengar saat gempa dengan kekuatan 7,8 skala Richter mengguncang area Tangshan dan sekitarnya, tepat saat jarum jam menunjuk ke pukul 03.42 waktu setempat.
Gempa utama berlangsung 'hanya' 14 sampai 16 detik. Tak lama kemudian giliran lindu 7,1 SR mengguncang.
Baca Juga
Dampaknya sungguh fatal. Kota-kota di sekitar episentrum hancur lebur. Sebanyak 240 ribu orang meninggal dunia -- meski banyak orang yakin, jumlah mereka yang tewas sampai 750 ribu jiwa.
Advertisement
Guncangan juga dirasakan kuat di Beijing, yang memaksa warga malam itu tinggal di luar rumah. Mereka tak berani kembali ke rumah.
Saking kuatnya guncangan, orang-orang dilaporkan terlempar ke udara. Jalan, jembatan, stasiun kereta api, rumah dan pabrik-pabrik remuk bak terbuat dari kardus -- bukan beton.
Gempa juga memutus aliran listrik yang membuat upaya penyelamatan berlangsung sulit. Satu-satunya hal yang bisa disyukuri adalah, lindu melanda pada musim panas. Tak terbayangkan derita yang harus dialami mereka yang selamat jika bencana terjadi pada musim dingin. Niscaya jumlah korban jiwa akan lebih tinggi.
Warga asing yang kebetulan melewati Tangshan setahun kemudian menggambarkan kehancuran yang ia saksikan. "Mirip gambaran dampak terburuk bom selama Perang Dunia II".
Selain gempa Tangshan, tanggal 28 Juli juga menjadi momentum sejumlah peristiwa.
Pada 2010, pesawat Airblue Penerbangan 202 celaka di Margalla Hills, utara Islamabad, Pakistan. Sebanyak 152 orang tewas. Insiden tersebut adalah kecelakaan udara terburuk di Pakistan sekaligus yang pertama melibatkan Airbus A321.
Sementara itu, pada 28 Juli 1957, hujan deras dan tanah longsor melanda Isahaya, Kyusu barat, Jepang. Setidaknya 992 orang tewas dalam peristiwa tersebut.